Salah satu Prasyarat mewujudkan kedaulatan rakyat adalah melalui Pemilihan Umum. Pemilihan Umum untuk memilih eksekutif (Presiden, Wakil Presiden, gubernu, Walikota dan Bupati) dan Memilih Legislatif (DPR,DPRD dan DPD). Syarat Mutlak demokrasi melalui pemilihan umum adalah adannya Supremasi Hukum. Supremasi hukum merupakan bentuk ketertundukan setiap elemen Masyarakat dan Negara terhadap aturan hukum dan adanya kesamaan dimata Hukum(Equality before law). Penjaminan terhadap tegaknya aturan Kepemiluan telah diurai melalui pemberian mandad negara kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Semenjak lahirnya UU nomor 22 Tahun 2007 tentang penyelenggara Negara, Bawaslu telah diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran-pelanggaran Pemilu, mulai dari tingkat nasional hingga ketingkat paling rendah yaitu pengawas TPS (PTPS).
Kemudian melalui UU Nomor 15 tahun 2011 tentang penyelenggara Pemilu, kekuatan Bawaslu semakin dipertajam. Bawaslu bersifat tetap (Definitif) sampai ketingkat provinsi. Lalu puncaknya adalah mempertajam kekuatan Bawaslu melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dimana Bawaslu dijadikan sebagai lembaga tetap sampai ketingkat kabupaten/kota. Kemudian melalui UU tersebut Bawaslu dan KPU telah sama statusnya menjadi lembaga tetap hingga tingkat kabupaten/kota. persoalan yang kemudian muncul adalah dengan adanya putusan MK yang mengatur Norma bahwa Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah (Baca-Pemilihan) itu berbeda Putusan MK (Nomor: 72 -- 73/PUU-II/ 2004 dan Nomor: 97/PUU-XII/2013). Bahwa pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dilaksanakan secara demokratis berada dalam Bab VI Pemerintahan Daerah (bukan dalam bab VIIB: Pemilu) UUD NRI 1945.
Perbedan Nomenklatur Bawaslu dan Panwaslu
Setelah pelaksanaan pemilihan umum 2019 selesai, dalam rangka mempersiapkan diri untuk Pemilihan Kepala Daerah serentak 2020. Bawaslu memiliki persoalan dalam hal status. Perbedaan nomenklatur pada Undang-undang Pemilu yang menggunakan penyebutan Pengawas Pemilu di tingkat Kabupaten/kota adalah Badan dan Bersifat tetap. Akan tetapi pada Undang-Undang pemilihan Kepala Daerah Nomor 10 Tahun 2016 menyebutkan nomenklatur Pengawas Pemilu ditingkat Kabupaten/kota adalah Panitia (Ad Hoc). Hal ini kemudian menjadi persoalan dalam pelaksanaan kewenangan yang dimiliki oleh Bawaslu di tingkat Kabupaten/Kota.
 Menurut Wilma Erida, S.Hi (Koordinator Divisi Hukum, Penindakan Pelanggaran Bawaslu Kota Sawahlunto), dalam hal perbedaan yang paling terlihat adalah dalam proses penindakan pelanggaran, dalam UU Nomor 7 Tahun 2017  dijelaskan perbedaan mendasar atas nomenklatur ini adalah kewenangan dalam penyelesaian pelanggaran administarasi. Bawaslu Kabupaten/kota memiliki Kewenangan dalam menyelesaiakan pelanggaran administrasi melalui sidang adjudikasi.  Sedangkan dalam UU Pilkada, Panwaslu kabupaten/kota tidak memiliki Kewenangan tersebut. Sehingga dalam proses penyelesaian pelanggaran administrasi Pemilihan oleh Panwaslu hanya bisa memberikan rekomendasi.
Tantangan Bawaslu atau Panwaslu Kabupaten Kota
Perbedaan nomenklatur juga membatasi ruang gerak Panwaslu kabupaten/kota. Dalam hal pelaksanaan Pemilihan kepala daerah, Panwaslu tidak memiliki penegasan dalam pencegahan Pelanggaran pemilu, yang ada hanya menerima dan menindaklanjuti laporan dan Temuan terkait dugaan pelanggaran pemilihan. Sedangkan Bawaslu kabupaten/kota memiliki Tugas dan kewenangan terkait hal pencegahan. Penegasan dari perbedaan nomklatur panwaslu dan Bawaslu kabupaten/kota tersebut adalah dalam tugas "Pengawasan dan Pencegahan". Panwaslu hanya mengawasi sedangkan Bawaslu mencegah dan menindak Pelanggaran serta Sengketa Proses Pemilu.
Perbedaan Panwaslu dan Bawaslu kabupaten lebih Lanjut Menurut Ketua Bawaslu Provinsi Sumatera Barat, Suarya Efitrimen ialah Panwaslu hanya bersifat sementara atau ad hoc sementara Bawaslu bersifat tetap atau permanen dengan masa jabatan 5 tahun. Sementara dari sisi jumlah, yang sebelumnya ditetapkan dalam UU Pilkada Komisioner Panwaslu hanya 3 Orang di tingkatan Kabupaten/Kota. Faktualnya hari ini sudah ada Bawaslu kabupaten dan kota yang ada jumlahnya 5 pengawas dan ada juga Bawaslu yang jumlahnya 3 orang pengawas.Selain itu, dampak lainya ialah Ada satu kondisi dimana Panwaslu Kabupaten dan Kota tidak dapat menandatangani Nota Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) anggaran pelaksanaan Pilkada karena bukan dianggap sebagai Bawaslu kabupaten dan kota. Dikutip dari https://otda.kemendagri.go.id (18/9/2019).
kemudian perbedaan juga terjadi dalam hal penindakan pelanggaran, waktu penanganan pelanggaran melalui UU Pilkada yaitu 3+2 Hari Kalender, sedangkan dalam UU Pemilu, Pelaksanaan penanganan pelanggaran, Bawaslu memiliki waktu 14 hari kerja.
Persiapan Bawaslu Kabupaten Kota dalam menghadapi Pemilihan kepala Daerah Serentak 2020