Mohon tunggu...
Zul Hendri Nov
Zul Hendri Nov Mohon Tunggu... Freelancer - Belajar Menjadi Penulis

Belajar Menulis... Akun lama saya : https://www.kompasiana.com/zul_hendri_nov

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Melihat Pasal Karet dalam Persoalan Hukum

21 Februari 2019   21:19 Diperbarui: 21 Februari 2019   21:50 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Munculnya polemik dalam penegakan Hukum di Indonesia membuat masyarakat terkadang menjadi Bingung.  Kebingungan muncul akibat berbenturanya azas kepastian Hukum dan Azas Keadilan. Di satu sisi Pentingnya kepastian Hukum untuk menjamin tertib berhukum namun di sisi lain keadilan sebagai tujuan hukum  sering di kesampingkan. 

Indonesia yang merupakan Negara Hukum (Pasal 1 Ayat 3, UUD 1945) tentunya menjadikan Hukum sebagai panglima untuk menciptakan keadilan dan ketertiban. namun realitanya, Bak ibarat api yang jauh dari panggang, Penegakan beberapa persoalan Hukum terkesan tebang pilih bagi sebagian kelompok masyarakat dan dianggap tidak menyasar guna melahirkan keadilan. Akibat perbenturan tersebut juga menimbulkan reaksi beragam dari masyarakat dan Penegak Hukum dalam menjalankan Tugasnya. 

Sebab dalam hal penegakan Hukum, Aparat Penegak Hukum melakukan Tugasnya berlandaskan Kepada Sumber Hukum yaitu UU dan Aturan Terkait yang diatur setelahnya. Akibatnya seringkali dalam penegakan Hukum, Aparat Penegak Hukum di Cemooh dan tak sedikit dalam Prosesnya harus berbenturan dengan rasa kemanusiaannya.

 Munculnya rasa tidak percaya dari Masyarakat terhadap hukum. Masyarakat hanya Melihat Hukum dianggap sebagai alat kekuasaan atau alat politik. Hukum di Identikan dengan mereka yang punya uang. Penegakan Hukum yang terkesan tebang pilih, dan seringkali dalam penegakanya hukum tumpul ke atas dan runcing kebawah.

Persoalan keadilan dan kepastian Hukum menjadi PR bagi Piranti Hukum (Pembuat, Pelaksana Dan Penegak Hukum). Dalam beberapa Kasus, alibi dalam penegakan Hukum selalu dipilih. Bagi sebagian kasus pertimbangan Kepastian Hukum menjadi alasan untuk memutuskan suatu perkara, sehingga dianggap menghilangkan rasa Keadilan. Keadilan yang terkesan sebatas formil tidak melahirkan keadilan yang substantif dan Proporsional.

Sebagai contoh kasus pidana yang belum lama ini menimpa Ibu guru Nuril. Ibu guru Nuril diadili, karena dianggap melakukan pencemaran nama baik terhadap seorang Kepala sekolah yang merupakan atasanya. ibu nuril sebanarnya merupakan Korban atas perbuatan asusila yang dilakukan oleh atasanya. Namun karena ibu nuril mengupload percakapan Mesum atasanya dengan maksud untuk membagikan ceritanya, malangnya sekarang ibu nuril diadili dan dijadikan terdakwa atas pencemaran Nama baik. 

Lalu ada kasus Ecky Lamoh Vokalis Edane. Ecky Harus Menanggung pesakitan menunggu Putusan Pengadilan, Terkait Perbuatan tidak Menyenangkan yang dilaporkan Oleh Kakak Iparnya Sendiri, karena membuata Status Di Facebook. Dan ada lagi kasus Florence Sihombing yang menulis Status Di Path dan Yang terbaru adalah Kasus Ahmad Dani Prasetyo (ADP) yang di tangkap setalah membuat Cuitan yang dianggap bermasalah Oleh Pelapornya.  

Ada banyak kasus lagi yang sebenarnya bila penulis uraikan maka tidak akan cukup ruang untuk disampaikan. Persoalan Hukum sebatas Legis-Formil sebenarnya telah mendapat kritikan oleh beberapa Akademisi maupun praktisi Hukum.

Bila Hukum hanya dijadikan "alat" untuk memidanakan Seseorang hanya karena dianggap Melakukan Perbuatan Pencemaran Nama Baik Melalui UU ITE tersebut. Tentu ini akan berdampak sistemik dalam ruang demokrasi Berbangsa. Sebab salah satu roh dari demokrasi adalah Menympaiakan Pendapat. Akan menjadi lebih berbahaya lagi, bila hal ini dimanfaatkan guna Kepentingan Politik atas Nama Negara untuk memidanakan Orang-Orang yang berseberangan dengan Kekuasaan.

Hukum Mendatangkan Keadilan, Kesejahteraan Dan Kebahagiaan

Mengutip pernyataan dari salah satu guru besar Ilmu Hukum Undip Prof. Satjipto Rahardjo (Alm) "Hukum seharusnya dibuat  untuk Manusia, bukan malah sebaliknya". Salah satu adagium yang disampaikanya dalam setiap Buku yang ia tulis. Menurutnya Hukum seharusnya mendatangkan Keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat. 

Di lihat dalam praktiknya hari ini, tak satupun dari ketiga hal tersebut dapat terlaksana. Seringkali, sebagian kita mempersoalkan kesadaran Hukum masyarakat yang rendah. Atau kita menyalahkan aparat Hukum yang sering abai dengan rasa kemanusiaan dalam proses penegakan Hukum.

Namun dalam perspektif lain, Penulis melihat masyarakat tidak sepenuhnya salah dalam meningkatkan upaya sadar berhukum. Sebab, hukum yang di cita-citakan untuk mengatur dan sarana untuk mengontrol masyarakat cendrung tidak diterima dan bisa diterapkan dalam masyarakat. 

Karena Hukum yang lahir dianggap tidak relevan dan Mampu menjawab persoalan yang hadir ditengah masyarakat. selanjutnya Penegak Hukum Juga tidak bisa di salahkan sepenuhnya, karena Amanat Undang-undang terhadap mereka dalam bekerja untuk menegakan Hukum, walau terkadang harus menyampingkan Perosalan kemanusiaan.

Bagi aparat Penegakan Hukum, Moto Fiat Justitia Ruat Caelum ( Hendaknya menegakan Keadilan walupun langit akan runtuh). Persoalan Penagakan Keadilan telah diatur tata caranya berdasarkan peraturan Perundang-Undangan. Oleh Karenanya perlu harmonisasi dalam Merumuskan Hukum agar Kepastian Hukum dalam Upaya Penegakan Hukum, Melahirkan Keadilan. 

Melihat Perbentuan Kepastian Hukum dan Keadilan Tersebut pertanyaan yang Muncul berikutnya dalam persoalan hukum hari ini adalah, apakah dalam proses perumusan aturan Oleh si Pembuat aturan telah melihat aspek-aspek lain seperti, psikologi, Sosiologi, Philosofisnya?

Akar Persoalanya terdapat dalam proses perumusan Hukum sebagai Norma Hukum. Perumusan Hukum menjadi Suatu Undang-Undang di Awali dengan Pemberian Teks atau Naskah akademik. Namun sayangnya dalam proses elaborasi teks Akademik dan Aspirasi yang disampaikan Oleh Pembuat Hukum cendrung tidak Beririsan. Sebabnya adalah Pasal-Pasal pesanan.

Pentingnya Legislator memahami Persoalan Hukum

Baru-Baru Ini beberapa anggota DPR RI mengkritisi Pasal karet yang ada didalam UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi  dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal 27 ayat 3 "Setiap Orang dilarang dengan sengaja dan tampa hak Mendistribusikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik. Lucunya Kritikan Muncul, ketika ada anggota dari kelompok Politik mereka yang terjebak oleh pasal Karet Tersebut.

Jika dilihat dalam Pernyataan anggota DPR RI yang hadir dalam Acara ILC, 5 Ferbuari 2019. mereka menyatakan Spirit awal dari perumusan UU ITE ini adalah Transaksi elektronik. Mengakomodir kepentingan Masyarakat dalam bertransaksi (E-Comerce) guna mengimbangi kemajuan Teknologi. Namun, Lagi-lagi mereka Melupakan, Spirit awal tersebut tidak di dasari Aspek-Aspek Hukum lainya. 

Seringkali perbenturan dalam Frasa yang terdapat pada Pasal Undang-Undang yang dilahirkan Oleh DPR RI, harus Uji Kembali melalui Mekanisme Judicial Review Di Mahkamah Konstitusi. Dengan tidak sedikitnya pasal yang dibatalkan Oleh MK, membuktikan Ketidak Mampuan DPR RI dalam Merumuskan Persoalan Hukum dengan Baik.

Pasal-Pasal Karet dalam UU ITE yang telah memakan cukup Banyak Korban sebaiknya ditinjau Kembali. Prosedur perumusan dan Pembentukan Hukum dalam UU ITE seharusnya melihat aspek-aspek lain. Sehingga, aturan yang dibuat seharunya benar-banar Mendatangkan Keadilan, Kebahagiaan dan Kesejahteraan. Sebab Hukum adalah Sarana untuk mengakomodir masyarakat. Hukum bukan alat untuk menjatuhkan Lawan-Lawan Kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun