Mohon tunggu...
Penggemar Rahasia
Penggemar Rahasia Mohon Tunggu... Auditor - Seorang ayah

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Roman

Hai, Maafkan Aku

18 November 2024   03:19 Diperbarui: 18 November 2024   04:27 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Usianya 22 tahun, masih cukup muda untuk berperilaku sedewasa itu. Tidak seperti gadis lain, ia tumbuh dengan kepribadian ulung, mungkin karena itu, ia digemari oleh banyak orang, bahkan dicemburui oleh banyak gadis seusianya.

Dyah, begitu namanya dikenal. Gadis bergaun anggun dengan jilbab menjulur menutup dada. Kulitnya putih, hidungnya cukup mancung, dua mata dengan kelopak kehitam-hitaman tipis menjadi penghias sempurna wajahnya yang kemerahan saat tersenyum pun tersipu malu.

Selain periang dan mudah bergaul dengan siapapun, Dyah hidup dengan jiwa kompetisi yang konsisten sejak kanak-kanak. Sebab itu mungkin, kenapa di usia 22 tahun ia telah meraih berbagai prestasi regional yang sulit ditiru banyak orang. Terakhir, 2 tahun berturut dia pernah menjadi juara MTQ di kategori dewasa wanita.

Ada satu hal yang mungkin bagi banyak orang tidak tahu tentang Dyah. Meski sehari-hari Dyah hidup dengan wajah riang apalagi saat sedang minum "macha dengan es" ternyata Dyah adalah orang yang sangat usil, sesekali bahkan jahil.

Seperti misalnya kemarin, Dyah memasak goreng tempe yang hendak diberi pada seseorang. Yang semua tahu, proses goreng tempe itu tidak akan lebih dari 30 menit. Namun, proses menyerahkan tempe goreng tersebut ke orang yang dia maksud hampir memakan waktu 3 jam lebih.

Bayangkan, berapa banyak drama yang terjadi saat penyerahan tempe goreng masakan Dyah itu. Yang sebenarnya, Dyah menikmati bagaimana orang penasaran, bagaimana orang tak sabaran, bagaimana orang tak karuan, sementara Dyah menikmati momennya dengan tertawa lepas.

Ternyata benar kata para tetua. Selalu ada sisi istimewa dari setiap orang, sisi dimana hanya akan keluar pada orang-orang yang terpilih dan beruntung. Mungkin, si penerima tempe goreng tersebut termasuk orang yang beruntung melihat sisi jahil Dyah.

Sependek ingatan mengenal Dyah, mendengar cerita dari mulut ke mulut orang-orang yang pernah secara sengaja atau tidak berinteraksi dengan Dyah. Dyah punya julukan gadis idaman yang dicemburui gadis-gadis kleopatra, yang hatinya lembut mengalahkan sutera, tuturnya santun, tingkahnya anggun menjadi sumber kata-kata penyair di kota.

Jika Dyah dikonversi menjadi nilai IPK, maka Dyah setara dengan IPK 3,9, hampir sempurna jika para bidadari tak pernah tercipta.

Semua keistimewaan yang ada pada Dyah tak membuatnya jumawa. Tak pernah ia terlihat sombong bahkan untuk 1 detikpun, segala pujian yang datang padanya hanya dijawab dengan memuja Tuhan, Allah SWT. Sadar betul Dyah, bahwa yang ada pada dirinya hanyalah titipan dan ujian yang kelak akan dipertanggungjawabkan.

Mungkin karena semua kebaikan itu, aku merasa sangat terpukul dan menyesal telah membuat segores, bukan segores, aku telah membuat wajahnya murung walau seketika.

"Dyah gapapa, lupakan saja" begitu Dyah menjawab. Padahal aku tahu, lebih dari itu telah dia rasakan karena kecerobohan lidahku.

Meski hanya sesaat, tetapi rasa menyesalku tak kurang melihat Dyah termenung karena lisanku yang tak terdidik. Yang aku, meski tanpa sengaja telah membuat gadis riang nan cantik dengan pipi kemerahan itu bersedih.

"Jujur, tadi Dyah sedih. Tapi sudah gapapa. Jangan dipikirkan" sambungnya. Yang kalimat itu kian membuatku tersadar, ternyata seluas itu hatinya, selembut itu jiwanya dan aku masih tak bersyukur, tega mencoretnya dengan noda.

Hai Dyah, aku salah dan sangat menyesal. Meski beribu-ribu kali meminta maafpun, rasa menyesalku tak habis-habis. Aku malu padamu, merasa iri dengan keluhuran hatimu yang memaafkan aku seketika saja. Harusnya aku kau hukum.

Hai Dyah, melalui tulisan ini. Yang sebenarnya tak begitu penting bagimu. Biarlah lagi-lagi aku meminta maaf. Tulisan ini akan menjadi saksi, bahwa inginku, tak akan ku gores luka sekecil apapun. Bahwa harapku, tulisan ini menjadi pengingat agar tak mengulang kesedihan di wajahmu yang permai.

Tulisan ini, aku buat saat tak tertidur meski sudah mencoba sejak 3 jam lalu. Aku menyesal dan meminta maaf. Hai, Maafkan Aku. (END)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun