Mohon tunggu...
Zulham Mahasin
Zulham Mahasin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

..adalah seorang mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Iowa State University, Amerika. Juga aktif sebagai tenaga pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jangan Melabel Jika Tidak Ingin Dilabel; Islamophobia di Amerika

10 Agustus 2016   01:14 Diperbarui: 10 Agustus 2016   19:05 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semester lalu, seorang kawan sesama mahasiswa muslim menceritakan pengalamannya sebagai narasumber pada sebuah dialog lintas-agama bertema Islamophobia (anti-muslim) di kampus kami.

Ada satu catatan menarik buat saya yakni ketika kawanku itu berpendapat bahwa umumnya non-muslim di Amerika menerima informasi sepihak, dan tidak mencari informasi pembanding dari sumber-sumber Islam langsung. Oleh karenanya, stereotype buruk mengenai Islam pun terbentuk. Ia mengambil contoh berita-berita tentang kekejaman ISIS dan terorisme. Ini berdampak pada labeling Islam sebagai agama kekerasan. Ia amat bersyukur bahwa kehadirannya sebagai narasumber muslim setidaknya membantu mengklarifikasi berita-berita negatif tersebut.

Ringkasnya, banyak yang keliru memandang Islam sebab umumnya mereka menerima informasi dari sumber bukan Islam (bahkan anti-Islam), sehingga kesimpulan mereka pun amat prematur. Dan oleh karena itu, kebencian mereka terhadap orang-orang muslim semakin menumpuk, sehingga melahirkan sikap bigot dan anti-muslim. Puncaknya terjadi utamanya setelah peristiwa peledakan gedung WTC di New York (juga disebut peristiwa 9/11), dimana saat itu kekerasan terhadap muslim meningkat beberapa kali lipat.

Nah, sampai disini, saya (dan mungkin juga anda) setuju dengan kawan ini. Berjamurnya media-media yg berat sebelah, plus keenganan konsumer berita untuk mengklarifikasi informasi yang mereka terima melalui sumber-sumber terpercaya, itulah biang kerok stereotype buruk terhadap Islam.

Ironisnya, sebenarnya sikap "enggan klarifikasi" itu pun sering kita (umat muslim) lakukan, entah sadar atau tidak.

Sekira sepuluh tahun lalu, saya bertemu kawan masa kecil yang cukup lama tak bersua. Saat itu ia (melalui penampilan maupun kata-katanya) sedang mendalami agama Islam. Obrolan kami akhirnya sampai pada persoalan issu-issu menarik saat itu. Saya katakan bahwa saya sedang membaca buku berisi kumpulan ceramah-ceramah Quraish Shihab yang saya pinjam dari seorang teman (saya lupa judulnya).

Mendengar jawabanku, kawan itu tiba-tiba merespon dengan suara cukup tinggi; "Tidak! Tinggalkan buku-buku Quraish Shihab, itu buku-buku menyesatkan" ujarnya. "Kamu sebaiknya hanya membaca buku si fulan, si fulan dan si fulan, jangan sampai kamu ikut-ikutan sesat gara-gara dia". Kemudian saya tanya baliklah padanya, memang kamu sudah baca buku itu? Dan dugaan saya benar. Jangankan baca, dia malah belum pernah melihat sampulnya.

Beberapa tahun sebelumnya, saya sebenarnya termasuk orang yang alergi dengan nama-nama cendikiawan muslim sekaliber (almarhum) Gus Dur ataupun Cak Nur. Saya sudah telanjur melabel mereka dengan sebutan antek liberal. Sesat sekafir-kafirnyalah pokoknya. Padahal, jangankan mendalami pemikiran mereka, hanya sekedar membaca tulisan pendek mereka seperti kolom opini di koran saja saya belum pernah. Saya melabel mereka hanya bermodalkan cerita-cerita sumbang dan kabar-kabar burung yang mampir di kuping . Ah jika ingat masa-masa itu, rasanya saya pengen sowan minta maaf pada beliau-beliau.

Prilaku seperti ini, sadar atau tidak sadar, mungkin saja seringkali kita lakukan bukan? Cobalah ingat-ingat, sudah berapa kali anda memberi label buruk terhadap seseorang, golongan, ras, ideologi, mahzab, bahkan agama lain yg berbeda dengan anda, tanpa pernah sekalipun bersentuhan langsung dengan sumber aslinya. Sudah berapa banyak orang-orang yang anda kafirkan, sesatkan, hingga menjatuhkan vonis neraka jahannam kepada mereka, meski hanya bermodal bacaan meme, gambar-gambar brosur di internet, ataupun media-media berat sebelah yang bahkan redaksinya saja tidak jelas.

Jika pernah, sebenarnya anda sudah melakukan hal yang sama dengan orang-orang barat yang anti-Islam, yakni memberi label secara sepihak. Dengan kata lain, suka atau tidak suka, anda adalah orang yang "berstandar ganda"; enggan jika agama sendiri dilabel buruk akibat media berat sebelah, tapi kalau urusan melabel golongan lain melalui sumber media yang tidak jelas, ia bisa secepat kilat menyambar tombol share.

Perlulah kita sama-sama merefleksi diri, sudah cukup ber-tabayyun-kah kita menerima informasi? Jangan sampai kita terlalu asik meratapi kezaliman media terhadap kita sementara disisi lain kita mengusik orang lain dengan kezaliman yang sama. Dengan begitu, kita akan semakin berhati-hati dalam memberi label kebencian terhadap orang maupun golongan lain. 

Namun, jika Anda masih tetap ngeyel, ngotot membenci si anu beragama anu atau golongan anu, sebenarnya anda tidak perlu melabel mereka dgn sebutan kafir sesat yg pantas tinggal didasar neraka. Sebab surga-neraka itu hak prerogatif Tuhan. Anda cukup berdoa saja dengan yakin dan sedikit percaya diri; "Ya Tuhanku, jikapun Engkau memasukkan kami semua ke dalam surgamu yg maha luas itu, mohon saya jangan tinggal sekompleks dengannya ya..". Beres kan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun