Kincir angin Vermeer di Pella, Iowa
Ini bukan di Belanda, melainkan di Pella, sebuah kota kecil bernuansa "Hollandia" di Amerika. Kota Pella didirikan oleh 800 pengungsi asal Belanda sekitar 169 tahun silam. Kami berkunjung untuk menonton Festival Musim Tulip yang diadakan setiap tahun pada minggu pertama bulan Mei. Selama 3 hari, penduduk lokal mengenakan pakaian tradisional Belanda dan berparade memperkenalkan segala seluk-beluk tentang Belanda. Untuk mengenang tanah asal leluhurnya, penduduk Pella membuat berbagai macam replika khas Belanda seperti taman bunga tulip, kanal air, jalan-jalan bata berwarna merah maron, dan tentunya, kincir angin bernama "Vermeer Mill" yang tampak dibelakang kami ini.Â
Kincir yang dipesan khusus dari Belanda ini bukan hanya sekedar pajangan. Memanfaatkan tenaga angin, ia berfungsi sangat baik untuk menggiling tepung untuk dijadikan asesoris. Hingga saat ini, Vermeer Mill menjadi kincir angin tradisional terbesar di Amerika.Â
Namun, bukan kincir angin ini yang memikat perhatian saya saat itu, melainkan nama yang melekat padanya.
Nama Vermeer diambil dari nama sebuah keluarga terpandang di Pella. Pada tahun 1948, seorang petani jagung bernama Gary Vermeer menciptakan kereta angkut yang praktis untuk memindahkan muatan hasil panennya. Terkesan dengan hal ini, petani lain pun meminta Gary untuk membuatkan mereka kereta yang sama. Kabar tentang kereta Gary lalu menyebar dari mulut ke mulut.Â
Permintaan semakin banyak. Bukan hanya di Pella, petani-petani dari daerah lain pun tertarik untuk menggunakan kereta ciptaan Gary. Dibantu sepupunya, Gary mendirikan perusahaan keluarga bernama Vermeer. Selama puluhan tahun, Vermeer mendesain dan menjual berbagai macam alat-alat dan mesin pertanian (alsintan). Memasuki tahun 2000-an, pasar global pun ditembusnya. Di Indonesia, Vermeer berkantor pusat di Gedung Wisma Raharja, Jakarta Selatan.
Menarik bukan? Bermula dari ide-ide kreatif yang sederhana dari seorang petani lokal, tercipta perusahaan global dengan keuntungan jutaan dollar.
Kisah tentang Gary Vermeer mengingatkan saya tentang beberapa cerita petani-petani kreatif di Indonesia yang pernah saya baca. Jafriandi misalnya, seorang petani di Sumatera Barat, menciptakan penangkal hama wereng dengan bahan-bahan alami. Melalu pengetahuan yang ia peroleh secara otodidak, ia mendesain alat sederhana yang terbuat dari sabut kelapa. Lebih jauh, ia bahkan membuat perangkap hama tikus, pelubang mulsa, hingga alat perata tanah. Kini, oleh pemerintah setempat ia dijadikan mitra untuk mendesain alat penggaris tanam Jajar Legowo untuk memudahkan penanaman padi.
 Beberapa contoh lain misalnya Arifin, seorang petani asal Jambi yang menciptakan sepeda bermesin untuk membantu mobilisasinya ke sawah yang sulit dijangkau kendaraan bermotor. Kemudian di Boyolali, sejumlah petani kreatif memodifikasi pompa air berbahan bakar bensin dan menggantinya dengan gas elpiji yang lebih efisien. Bahkan, bukan hanya perangkat keras, seringkali petani pun cukup kreatif dalam manajemen kelompok. Di Sudiang, Makassar, sejumlah petani memperkenalkan manajemen pengelolaan traktor untuk anggota kelompok tani. Caranya sederhana; setiap petani boleh meminjam traktor sesuai kebutuhannya, namun ketika mengembalikan traktor tersebut mesti dalam keadaan bersih dan full tangki. Banyak lagi kisah-kisah kreatif dan inovatif yang jarang terpublikasi.Â
Sayangnya, seringkali petani dianggap sebagai kelompok terbelakang yang butuh disuapi pengetahuan dari luar. Paradigma penyuluhan pertanian kita memang lebih condong kepada model transfer teknologi, dimana petani dipandang sebagai kelompok penerima semata. Jika ditelusuri, kata "penyuluhan" itu sebenarnya diadopsi dari bahasa belanda; "voorlichting" yang berarti menerangi jalan didepan. Kata ini digunakan sejak era kolonial dimana petani merupakan pihak yang mesti nurut menggunakan teknologi untuk memenuhi kebutuhan produksi.Â
Dalam tradisi transfer teknologi, petani lebih dianggap sebagai kelompok yang membutuhkan intervensi pihak luar desa yang membawa "cahaya penerang" (suluh/obor) dalam bentuk teknologi. Padahal, bisa jadi sumber-sumber cahaya justru berasal dari dalam desa. Bahkan, cukup banyak bukti yang menunjukkan bahwa teknologi yang diciptakan petani lokal lebih mudah menyebar sebab telah teruji dan terbukti dikalangan petani, serta kompleksitasnya yang lebih rendah karena proses ujicoba alami berulang-ulang yang sesuai konteks lokal.
Oleh sebab itu, mungkin sudah saatnya kita lebih sering berjalan menyusuri desa-desa untuk mencari, menemukan, dan mendukung peneliti-peneliti alami seperti Pak Jafriandi atau Pak Arifin. Dengan begitu, mungkin akan ada suatu masa dimana kita tidak hanya menemukan produk luar seperti Vermeer yang menguasai pasar kita, melainkan juga teknologi lokal yang lahir dari rahim para teknokrat desa.
Lainnya:
Belajar Ketahanan Pangan dari Relawan Lokal di Amerika; Because Sharing is Caring
Alasan Mengapa Orang Amerika Gemar Membaca
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H