[caption caption="Abudzarr memilih dan memilah buku"][/caption]Hari ini, saya dan istri membawa si kecil Abudzarr ke perpustakaan umum di Kota Ames, Ames Public Library. Perpustakaannya modern, hampir seluruh sistemnya telah terkomputerisasi. Setelah registrasi online yang hanya sekitar 5 menit, kami diberikan tanda keanggotaan berupa kartu dan gantungan kunci.
Koleksi di perpustakaan dua lantai ini cukup lengkap. Bahkan, jika buku atau artikel yang anda inginkan tidak tersedia di tempat ini, mereka akan mencarikannya, baik membeli ataupun meminjamkan melalui salah satu dari 19.000 perpustakaan lain yang merupakan jaringan mereka yang tersebar diseluruh Amerika.
Namun yang paling membuat saya kagum bukanlah teknologi maupun koleksinya, tetapi formatnya yang dibuat sangat nyaman bukan saja untuk orang dewasa, tetapi juga anak kecil, bahkan balita!!
Lantai satu perpustakaan ini disusun khusus untuk anak dan remaja. Di salah satu pojok terdapat arena khusus balita. Ditempat tersebut, rak-rak berisi sejumlah buku untuk anak-anak berjejeran dengan rapi. Menariknya, tinggi rak buku disesuaikan dengan tinggi anak yang berusia satu tahunan. Ini dilakukan agar si kecil bisa menjangkau seluruh buku dan bebas memilih sendiri buku apa saja yang ia sukai untuk dibacakan oleh orang tuanya.
[caption caption="Membawa buku yang disukai ke orang tua"]
Setelah si kecil memilih bukunya, kita bisa memilih beberapa titik di arena ini untuk membaca buku bersama anak. Bentuknya beragam, ada yang kursi dilengkapi dengan meja, ada yang hanya kursi saja, ada yang melantai dengan bantalan ala jepang (seperti yang dipilih oleh Abudzarr), bahkan ada pula yang hanya berupa ranjang untuk tiduran. Sepertinya, pengelola perpustakaan ini paham betul psikologi anak kecil yg suka membaca buku pada posisi bagaimanapun yg ia rasakan nyaman. Suasananya benar-benar diformat agar si anak merasa seperti membaca di rumah sendiri.
[caption caption="Duduk melantai bersama mama"]
Namun, yang namanya anak kecil, apalagi balita, mereka umumnya tidak betah berlama-lama untuk satu aktifitas saja. Oleh karena itu, jika si anak bosan, ia juga bisa bermain di arena ini sebab terdapat beberapa permainan yang cukup mengasah otak seperti puzzle dan building blocks sehingga ia tidak jenuh. Dengan format demikian, Abudzarr yang biasanya lekas bosan pun betah hingga dua jam lebih membaca dan bermain bersama anak-anak lain di tempat ini. Bahkan, jika si kecil lapar, atau orang tua ingin sholat, perpustakaan ini juga menyediakan quite room yang dapat digunakan secara privacy.
[caption caption="Bermain building blocks menghilangkan kejenuhan"]
[caption caption="Bermain puzzle untuk mengasah otak"]
[caption caption="Istirahat sambil makan"]
Lebih jauh, perpustakaan ini juga mengadakan beberapa aktifitas khusus untuk meningkatkan minat anak untuk berkunjung ke perpustakaan seperti mendongeng, puppet show, membaca bareng, wah banyaklah pokoknya program agar anak gemar berkunjung dan membaca di tempat ini.
Pengalaman berada di perpustakaan tersebut cukup menjawab pertanyaan saya selama ini tentang mengapa oang-orang Amerika amat gemar membaca. Di kafe-kafe, bus, taman, bahkan ketika berdiri di antrian pun, orang-orang baik dewasa maupun remaja yg membaca buku bukanlah pemandangan langka. Beberapa kawan mahasiswa juga menghabiskan waktu senggangnya dengan membaca novel atau sastra kesukaannya. Jika melihat aktifitas di perpustakaan tersebut, saya yakin bahwa kegemaran membaca mereka memang telah dipupuk sejak usia dini. Buku telah menjadi makanan utama mereka.
Saat ini Indonesia menempati urutan ke-124 dunia untuk minat baca. Minat baca kita memang masih kurang sebab aspek pendukung untuk merangsang minat tersebut juga masih minim. Saya teringat, beberapa perpustakaan yang pernah saya kunjungi masih cukup banyak yang seakan kehadirannya formalitas belaka. Hanya sekedar menunjukkan kepedulian dengan menghadirkan ruang baca di sebuah kota, sedangkan esensi dari keberadaan perpustakaan sebagai corong pengetahuan dan magnet minat baca justru terabaikan. Beberapa contoh misalnya suasana ruangan yang redup bahkan menyerupai rumah hantu, buku-buku yang telah usang dan lapuk di rak lemari, hingga literatur yang begitu jarang diupdate. Perpustakaan kita masih minim program yang menitikberatkan pemupukan minat baca utamanya bagi anak usia dini. Alhasil, ketika remaja, sebagian besar siswa membaca buku dalam bentuk transaksional, hanya dilakukan untuk menghafal isi pelajaran menjelang ujian sekolah. Padahal, jika merujuk contoh diatas, pengelolaan perpustakaan yang baik justru yang menjadi fondasi utama untuk masyarakat pencinta buku. Memang, mungkin akan dibutuhkan investasi yang cukup besar untuk menjadikan perpustakaan menarik bagi anak-anak, sebab perlu bukan hanya dukungan infrastruktur, tetapi juga pengelola perpustakaan yang profesional agar bisa menjadikan perpustakaan sebagai magnet.
Namun, dampak jangka panjangnya akan jauh lebih berguna. Sebab dengan begitu, kita tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar untuk mengajak masyarakat membaca, apalagi melalui kegiatan seperti gerakan gemar membaca dsb, sebab buku telah menjadi hobby bagi masyarakat kita.
Â
Kegiatan lain di Kota Ames
Belajar Ketahanan Pangan dari Relawan Lokal di Amerika; Because Sharing is Caring
Antara Kupu-kupu di Reiman Gardens dan di Bantimurung
Ketika Keluarga Indonesia Merayakan Thanksgiving di Amerika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H