Mohon tunggu...
Zulham Mahasin
Zulham Mahasin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

..adalah seorang mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Iowa State University, Amerika. Juga aktif sebagai tenaga pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Makassar bukan Kota Kasar

2 Januari 2013   03:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:39 1905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Makassar bukan Kota Kasar

Kota Makassar, Sejarah Penamaan dan Budayanya

Tahun baru 2013, saya membaca sebuah berita di detik(dot)com mengenai tawuran pemuda di Makassar pada saat merayakan malam tahun baru. Sebagai orang yang lahir dan besar di Makassar, saya cukup terkejut membaca komentar respon beberapa pembaca mengenai berita tersebut. Salah satu komentar mengatakan “ga heran gua, uda namanya kasar”. Juga ada komentar lain seperti “makassar diganti aja namanya jadi maramah… biar orang2nya jadi ramah!!!” dan beberapa lagi komentar sejenis. Tiba-tiba saja saya teringat peristiwa 10 tahun yang lalu di Jogja. Waktu itu saya mengikuti musyawarah nasional Ikatan Mahasiswa Teknologi Pertanian se-Indonesia (IMTPI) di kampus Universitas Widya Mataram Jogjagarta. Saat senggang, ketika saya ngobrol bersama kawan-kawan mahasiswa dari daerah lain, seorang teman asal Lampung bertanya kepada saya, “Mengapa kota Makassar dinamakan seperti itu? Bukankah nama itu identik dengan kata kasar?”. Waktu itu saya cukup kesulitan (bahkan tidak bisa) menjawab pertanyaan kawan tersebut akibat keterbatasan pengetahuan saya terhadap masalah itu. Sepulangnya dari Jogja, saya mencoba menelusuri referensi mengenai sejarah penamaan Kota Makassar yang akhirnya mengantarkan saya pada beberapa literatur, dimana salah satunya adalah buku yang berjudul ‘Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah, 1510-1700’ yang ditulis oleh Professor H.A.Mattulada, seorang budayawan Sulsel yang juga guru besar Unhas. Buku ini dapat dijadikan rujukan sebagai pembanding agar kita tidak salah memahami asal penamaan kota Makassar sehingga kita terhindar dari kesalahan penafsiran sejarah, budaya, maupun prilaku orang Makassar.

Terdapat beragam sejarah mengenai asal-usul penamaan Makassar. Ada yang menyebut bahwa kata Makassar telah dikenal sejak abad ke-14 oleh pelaut dan pedagang-pedagang portugis pada saat berlayar ke timur jauh. Sejarawan mencatat, pada waktu itu Makassar dikenal sebagai salah satu dari 20 kota besar dunia dengan penduduk 100.000 orang (lebih besar dari Amsterdam dan Paris). Diantara keragaman cerita itu, terdapat satu sejarah unik yang ditelusuri melalui cerita rakyat. Diceritakan bahwa perihal penamaan ‘Makassar’ memiliki hubungan dengan sejarah masuknya Islam di Sulawesi. Konon dijaman dahulu, dataran yang luas yang sekarang dikenal dengan nama Makassar dan sekitarnya ini adalah wilayah kekuasaan kerajaan Gowa-Tallo, kerajaan yang pernah dipimpin oleh Sultan Hasanuddin, salah satu pahlawan nasional yang aslinya bernama I Mallombassi Daeng Mattawang. Pada waktu itu, kerajaan Gowa-Tallo dipimpin oleh raja Gowa yaitu I Mangari Daeng Manrabbia, kakek dari Sultan Hasanuddin. Hanya saja karena usia beliau masih muda ketika itu (7 tahun), kepala pemerintahan sementara dijabat oleh raja Tallo bernama I Mallingkang Daeng Mannyonri Karaeng Katangka. Kerajaan Gowa-Tallo sendiri adalah hasil merger antara dua kerajaan, kerajaan Gowa dan kerajaan Tallo, sehingga melahirkan kerajaan kembar Gowa-Tallo yang dipimpin oleh dua raja yaitu rajanya dari kerajaan Gowa dan Mangkubuminya dari kerajaan Tallo.

Penamaan Makassar sangat erat kaitannya dengan proses masuk dan berkembangnya agama Islam ke tanah Sulawesi. Diceritakan bahwa pada suatu malam, sebuah kapal merapat di bibir pantai pelabuhan kerajaan Gowa-Tallo. Di kapal tersebut terdapat tiga orang asing yang melakukan gerakan-gerakan aneh, yang diduga oleh sejarawan sebagai gerakan sholat. Yang membuat penduduk sekitar takjub, ketiga orang tersebut konon mengeluarkan cahaya yang mengagumkan. Kabar tentang ketiga orang asing ini akhirnya sampai juga ditelinga baginda Karaeng Katangka yang memutuskan untuk pergi menemui ketiga orang tersebut. Ketiga orang tersebut belakangan diketahui sebagai tiga Datu (baca-Datuk) dari Minangkabau, yaitu Datu ri Bandang, Datu di Tiro, dan Datu Patimang. Baginda akhirnya bergegas ke pantai untuk menemui ketiga Datu. Ditengah perjalanan, baginda dihadang oleh seorang bersorban hijau dan berbaju putih di alun-alun kerajaan. Terjadilah perbincangan antara lelaki bersorban hijau dengan baginda Karaeng Katangka. Baginda menjelaskan kepada lelaki itu bahwa beliau akan menemui tiga orang bercahaya yang melakukan gerakan aneh di pantai. Lelaki bersorban hijau tersebut kemudian menuliskan sesuatu di telapak tangan baginda, dan meminta baginda untuk memperlihatkan tulisan itu kepada tiga Datu. Setelah itu, lelaki tersebut menghilang. Baginda Karaeng Katangka pun bergegas melanjutkan perjalanannya. Tiba di pantai, baginda Karaeng Katangka bertemu dengan ketiga Datu dan berbincang perihal tujuan mereka datang ke tanah Sulawesi. Datu ri Bandang menjelaskan bahwa tujuan utama pengembaraan mereka adalah untuk menyebarkan agama Islam. Ditengah perbincangan, baginda Karaeng katangka tiba-tiba teringat peristiwa pertemuan beliau dengan lelaki bersorban hijau. Baginda menceritakan pengalamannya tersebut kepada Datu ri Bandang dan menunjukkan telapak tangan beliau kepad Datu ri Bandang, sesuai dengan petunjuk lelaki bersorban hijau. Tulisan itu kemudian dikenali oleh Datu ri Bandang sebagai lafaz dua kalimat syahadat (dalam literatur lain dikatakan Surah Al-fatihah) dalam tulisan arab. Datu ri Bandang kemudian berkata, bahwa sebenarnya sebelum beliau mengislamkan baginda, Rasulullah sendirilah yang menjelmakan dirinya untuk mengislamkan baginda Karaeng Katangka. Sejak peristiwa itu, baginda Karaeng Katangka pun memeluk Islam dan mendapatkan gelar Sultan Awalul Islam. Gelar yang menunjukkan keawalan beliau dalam memeluk Islam di daratan Gowa. Sedangkan raja Gowa yang masih belia, I Mangari Daeng Manrabbia mendapatkan gelar Sultan Alauddin. Konon, peristiwa dan tempat menjelmanya Rasulullah saw itulah yang dijuluki Makassar, diderivasi dari kalimat ‘akkasaraki nabiyya’ (Nabi menampakkan diri). Jadi, berdasarkan cerita rakyat diatas, penempatan kata ‘kasar’ pada Makassar sebenarnya lekat kepada wujud kasar (nampak) sebagai anonim dari wujud halus (tidak nampak). Lebih jauh dijelaskan secara etimologi, kata Makassar berakar pada kata Mangkasarak yang terdiri dari dua morfem ikat ‘mang’ dan morfem bebas ‘kasarak’. Morfem ‘mang’ memiliki arti; memiliki sifat seperti yang dikandung kata dasarnya, menjadi seperti yang dinyatakan kata dasarnya. Sementara ‘kasarak’ berarti terang, nyata, jelas, tegas.

Dapat disimpulkan bahwa kata kasar dalam Makassar tidak ada hubungannya sama sekali dengan ‘kasar’ dalam arti prilaku yang kasar, barbar, tidak tahu aturan, berfikiran sempit dan sinonim-sinonim lain yang meggambarkan sifat-sifat negatif. Sayangnya, masih banyak masyarakat kita diluar kota Makassar yang tidak mengetahui sejarah ini sehingga seringkali konsumsi berita-berita mengenai Makassar diplesetkan kepada sifat kasar seperti pada komentar-komentar berita di detik(dot)com. Lebih disayangkan lagi, karena bahkan publik Makassar sendiripun mungkin masih banyak yang tidak memahami sejarah ini.

Sebenarnya, banyaknya komentar yang mengidentikkan Makassar dengan sifat kasar adalah salah satu dampak dari framing media. Tidak berimbangnya pemberitaan antara tawuran dan kehidupan harmonis masyarakat Makassar, menciptakan stereotype bahwa orang yang tinggal di Makassar adalah kasar dan suka berkonflik. Hal ini mungkin karena repetisi pemberitaan konflik horizontal yang sering membawa nama Makassar. Padahal, data yang dirilis oleh Peace Building Institute memperlihatkan bahwa jumlah konflik tahun 2009 di Sulsel sebenarnya masih dibawah propinsi-propinsi lain di Indonesia yang memiliki kota-kota besar seperti DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatra Utara (meskipunpada tahun 2010 mengalami peningkatan). Bisa dikatakan bahwa masalah serupa juga ditemukan di sejumlah kota besar di Indonesia. Tanpa berkmaksud membela ataupun melakukan justifikasi berlebihan, tetapi faktanya memang begitu. Hanya saja, fokus peliputan media nasional yang berulang-ulang terhadap konflik di Makassar selama ini telah mengkonstruksi cara pandang masyarakat umum tentang Makassar. Oleh karena itu, inilah juga yang harusnya disadari baik oleh publik luar Makassar, dan utamanya publik Makassar sendiri. Dengan mengerti sejarah Makassar, orang luar akan memahami bahwa sebenarnya sejarah kata Makassar itu memiliki sejarah religious, kultur bahkan nilai-nilai dan pemaknaan yang luhur sehingga terlalu kejam jika dikait-kaitkan dengan stereoptype negative. Dan bagi publik Makassar sendiri, dengan menyadari sejarah ini, setidaknya tanggungjawab moral bahwa keluhuran nilai budaya masa lampau mengenai kota Makassar akan lebih meningkatkan kedewasaan baik cara berfikir maupun bertindak sehingga tidak terjerumus dalam aksi kekerasan yang justru menenggelamkan keluhuran nama Makassar itu sendiri. Masyarakat Makassar mesti sadar dan berbenah, bahwa persepsi publik akan nama Makassar bisa diubah oleh usaha publik Makassar sendiri. Menunjukkan bahwa dalam nama Makassar yang luhur, selaras dengan prilaku masyarakatnya yang luhur. Sebagaimana dalam penggalan bait salah satu lagu Makassar, alusu’ ri kana-kana, alusu’ ri panggaukang. ma’baji’ ampe’, adatta’ ri Mangkasarak.. yang berarti; halus dalam perkataan, halus dalam perbuatan.. berkelakuan baik, adat kita di Makassar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun