Mohon tunggu...
Zulham Mahasin
Zulham Mahasin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

..adalah seorang mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Iowa State University, Amerika. Juga aktif sebagai tenaga pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Nikmatnya Wisata Ramadhan di Kota Nabi Yusuf A.S

22 Juni 2014   19:46 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:49 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_330294" align="aligncenter" width="490" caption="salah satu sudut kota fayoum"][/caption]

Hei, Cina!!”, panggil seorang remaja belasan tahun yang lagi nongkrong di pojok jalan sambil bercengkerama dengan beberapa rekannya. Seorang bocah merespon dengan berlari kencang mendekati kami dari belakang, mendahului, lalu berusaha menatap wajahku yang berjalan santai ditemani Hashim, seorang rekan kuliah asal Pakistan. Anak itu menatap dengan seksama, lalu tersenyum mantap, seakan puas menjawab pertanyaan dibenaknya seperti apa penampakan orang Cina itu. Hashim tertawa terbahak-bahak, dia berkata bahwa sepertinya saya sudah menjadi ‘artis hongkong’ di kota ini. Ya, ini memang bukan kali pertama saya dikira orang Cina oleh orang lokal. Sejak awal saya heran, kenapa bisa wajah saya yang bermata bulat, tidak juga berkulit putih, bagi orang Fayoum saya dianggap orang Cina. Kata Hashim, mungkin mayoritas orang Fayoum tidak pernah bertemu langsung dengan orang Cina maupun orang Indonesia, sehingga konsepsi mereka tentang orang asing manapun selain bule adalah orang Cina. Padahal, selama tinggal di Eropa, saya malah lebih sering dikira orang Filipina, malah pernah disangka orang Venezuela bahkan orang Spanyol (ehm). Namun jangan salah sangka, sebab panggilan itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa orang Fayoum itu rasis, tetapi justru menunjukkan keramahan orang-orangnya yang selalu ingin dekat bergaul dengan orang yang mereka anggap asing.

Beberapa minggu sebelum menuju Mesir, sedikitpun tidak pernah terpikirkan bahwa saya akan berkunjung ke negaranya Cleopatra sang ratu kharismatik ini. Awal mulanya, saya hanya mendiskusikan topik penelitian dengan supervisor saya di Belanda yang memang dikenal enerjik dan seringkali punya ide-ide menantang. “Zul, teman-temanmu sudah siap berangkat ke negara masing-masing untuk thesis. Saya rasa itu sudah biasa. Tidak ada tantangannya. Yang tidak biasa itu jika meneliti bukan negara kita”, ujarnya ketika itu. “I challenge you Zul, apa kamu berani thesis di negara lain, dimana adat, budaya dan bahasanya tidak kamu pahami sama sekali?”. Pertanyaan itulah yang akhirnya membawa saya dan Hashim untuk penelitian tentang sekolah lapang petani (farmer field school) di Fayoum, kota yang terletak sekitar 100 km arah selatan Kairo, ibukota Mesir.

Saya dan Hashim tiba di Mesir hanya beberapa hari menjelang bulan ramadhan, dan pulang meninggalkan Mesir setelah Idul Fitri. Alhasil sebagian besar waktu kami lewatkan dengan berpuasa di negeri para nabi ini. Berpuasa di timur tengah saat musim panas sungguh sangat menantang, apalagi disertai dengan tugas fieldwork. Selain waktu puasa yang lebih panjang dari Indonesia (dari jam 2 pagi hingga jam 7 malam), tantangan lain adalah cuaca. Saat itu suhu udara di Fayoum mencapai 41°C. Menariknya, pernah suatu kali kami mengeluhkan cuaca panas ini kepada seorang teman asal Kuwait, yang suaminya pernah bekerja di pengeboran minyak di Indonesia. Namun Ia malah balik meledek, “Menurutmu ini panas? Menurutku ini surga, sebab Kuwait jauh lebih panas daripada Fayoum”. Saya hanya merespon dalam hati, “Tidak sekali-kali saya akan ke Kuwait pada musim panas”. Meski begitu, panas di Fayoum sangat berbeda dengan di Indonesia. Di Indonesia, meski suhu udara 32°C, panasnya minta ampun, sangat menyengat, terasa menembus kulit hingga membuat kulit kemerahan. Di Fayoum, meski temperatur lebih tinggi dan hawa terasa panas, sengatan mataharinya tidak menyakitkan kulit. Mungkin karena intensitas panasnya lebih pada siang yang lama dibanding jarak matahari, entahlah. Yang jelas, orang-orang Fayoum meski hidup didaerah panas masih dominan berkulit putih.

[caption id="attachment_330322" align="aligncenter" width="490" caption="Suasana prasar tradisional di Fayoum"]

1403412486960096553
1403412486960096553
[/caption] [caption id="attachment_330347" align="aligncenter" width="490" caption="Penjual pernak-pernik khas mesir di Fayoum"]
1403415512803168572
1403415512803168572
[/caption]

Sejarah Al-Fayoum (Kota Seribu Hari); Dari Takwil Mimpi Sang Nabi

Alkisah, di jaman ketika Nabi Yusuf as dipenjara akibat fitnah Zulaikha, Raja Amenemhat III yang merupakan fir’aun keturunan keduabelas di Mesir memimpikan tujuh lembu gemuk yang dimakan oleh tujuh lembu kurus. Atas usulan pesuruh raja yang juga mantan sahabat Yusuf as dalam penjara, raja meminta Yusuf as untuk menakwilkan mimpi tersebut. Berkata Yusuf as bahwa dalam waktu dekat wilayah kerajaan akan mengalami tujuh tahun panen melimpah. Namun tujuh tahun berikutnya akan ada masa paceklik sehingga makanan yang diperoleh selama tujuh tahun sebelumnya tak tersisa. Yusuf as menghimbau raja untuk mengajak rakyat berhemat dan menyimpan makanan pada masa panen melimpah dan menyisakan benih untuk menghadapi masa paceklik, agar terhindar dari bencana kelaparan. Ringkasnya, raja yang terkesima dengan tafsir Yusuf as akhirnya membebaskan beliau dari penjara, merehabilitasi nama beliau dari segala tuduhan, lalu mengangkat beliau sebagai pejabat kerajaan.

Nabi Yusuf as diberi otoritas untuk mengembangkan pertanian Mesir, dimana salah satu programnya adalah pembangunan kanal sepanjang 15 km yang berinduk di sungai nil. Kanal ini dibangun untuk 3 tujuan; mengalirkan luapan sungai nil untuk mencegah banjir, menyimpan cadangan air untuk musim panas, serta irigasi pertanian untuk meningkatkan produksi. Disekitar kanal terdapat kota tua bernama Crocodilopolis, kota yang dulu rakyatnya memuja dewa buaya (crocodile) bernama Sobek.

Menurut cerita rakyat Fayoum, kanal tersebut dibangun oleh Nabi as hanya dalam waktu 60 hari. Raja dan pejabat lain takjub, pembangunan kanal yang mereka perkirakan akan memakan waktu 1000 hari ternyata dapat diselesaikan jauh lebih cepat oleh Yusuf as. Konon, atas prestasi itulah kota disekitar kanal tersebut kemudian dinamakan Alf-Youm (seribu hari), yang kini disebut Al-Fayoum. Kanalnya dinamakan Bahr Yusuf, atau kanal Yusuf. Kini, Fayoum dikenal sebagai daerah pertanian andalan yang paling subur di Mesir, bahkan menjadi daerah percontohan untuk pembangunan daerah pertanian di timur tengah dan Afrika.

[caption id="attachment_330293" align="aligncenter" width="490" caption="Bahr Yusuf; Kanal yang dibangun oleh Nabi Yusuf as"]

14034097361057080067
14034097361057080067
[/caption]

Peninggalan Nabi Yusuf as salah satunya dapat kita lihat di kanal tersebut, yaitu kincir air yang terletak dijantung kota Fayoum. Ada yang mengatakan bahwa kincir tersebut hanya replikanya saja. Tetapi banyak juga yang percaya bahwa kincir air tersebut asli buatan nabi Yusuf as ribuan tahun lalu. Kini, kincir air itu menjadi ikon kota Fayoum kebanggaan penduduk lokal.

[caption id="attachment_330323" align="aligncenter" width="490" caption="Icon kota Fayoum, kincir air yang konon berusia ribuan tahun"]

14034126051174236844
14034126051174236844
[/caption]

Kota Seribu Keramahan, Keindahan, dan Seribu Lentera

Fayoum memang bukanlah daerah pariwisata yang dikenal luas oleh wisatawan mancanegara. Pelancong lebih senang berkunjung ke Kairo untuk melihat pyramid, sphinx, maupun citadel Salahuddin Al-Ayyubi, atau kota Alexandria untuk menikmati pesisir laut tengah, atau bahkan lebih jauh ke selatan Mesir, ke kota Luxor yang merupakan lokasi artefak dan reruntuhan istana megah raja-raja fir’aun. Fayoum hanyalah kota kecil berpopulasi sekitar 300.000-an penduduk yang populer sebagai kota pertanian. Namun, dampak positifnya, sisi-sisi keramahan Fayoum masih belum tergerus oleh budaya kota besar yang penduduknya cenderung individualis dan kompetitif. Terkucilnya Fayoum dari wisatawan membuat warga lokal sangat jarang bersua dengan turis mancanegara, sehingga orang asing bagi mereka adalah tamu yang mesti dilayani. Ada kejadian menarik ketika saya dan Hashim berjalan menyusuri kota Fayoum diawal kedatangan kami di Fayoum. Waktu itu saya masih sangat berhati-hati membawa kamera DLSR yang jika dibawa kemana-mana terlihat sangat menonjol dibanding kamera saku. Saat itu Mesir masih dalam masa krisis politik yang menjatuhkan Husni Mubarak dari puncak kuasanya, sehingga saya cukup was-was ketika ingin memotret kota Fayoum. Kadang-kadang saya khawatir, penduduk kota akan tersinggung jika gambarnya saya abadikan dengan kamera yang terlihat seperti kamera wartawan. Dugaan saya salah besar. Orang-orang Fayoum ternyata malah senang difoto, apalagi bersama orang asing. Sudah berkali-kali penduduk baik laki-laki maupun perempuan meminta saya untuk mengambil gambar mereka.

[caption id="attachment_330342" align="aligncenter" width="490" caption="Masyarakat Fayoum yang ramah"]

1403414296568791898
1403414296568791898
[/caption]

[caption id="attachment_330329" align="aligncenter" width="490" caption="Gaya anak-anak Fayoum"]

14034128671091154790
14034128671091154790
[/caption]

1403412787135738752
1403412787135738752

Namun kawan saya Hashim masih tetap merasa gelisah jika objek fotonya adalah wanita. Ia khawatir jika kerabat si wanita akan marah jika wanitanya difoto. Maklum saja, Hashim berasal dari Pakistan yang ketika itu sedang berkutat dengan Al-Qaeda dan Taliban yang cukup ekstrim mengenai issu wanita. Bahkan, ketika kami mengunjungi sekolah lapang khusus wanita, peserta pelatihan yang seluruhnya wanita justru meminta kami untuk memotret. Satu diantara mereka malah menunjukkan ekspresi lucu-lucuan ketika kamera diarahkan padanya. Suasana yang cukup menghibur apalagi ditengah panas dan keringnya udara mesir yang makin terasa saat berpuasa.

[caption id="attachment_330330" align="aligncenter" width="490" caption="Ibu-ibu kreatif dan ramah di Fayoum"]

1403412947687400956
1403412947687400956
[/caption]

Lain waktu, ketika saya mengambil beberapa gambar di kanal Yusuf, dua orang pemuda tampan malah mengajak foto bersama. Tak lupa sebelum berfoto mereka bergaya dulu dengan mengenakan kacamata keren.

[caption id="attachment_330332" align="aligncenter" width="490" caption="Gaya remaja Fayoum, the Bodyguards"]

14034130341255806949
14034130341255806949
[/caption]

Hal ini sangat berbeda dengan orang Mesir di kota besar Kairo. Orang-orang Mesir di Kairo tidak seramah di Fayoum. Beberapa kali ketika berpuasa di Kairo saya melihat pertengkaran di jalan-jalan di Kairo. Bahkan, saya dan Hashim kerap berselisih dengan orang-orang yang berseliweran di tempat pariwisata di Kairo. Seperti ketika mengunjungi Pyramid di Giza, penjual pernak-pernik sering memaksa kami untuk membeli dagangannya. Juga para pemandu yang rebutan hingga meloncati taxi yang kami tumpangi. Malah kadang terjadi pertengkaran sesama mereka untuk rebutan wisatawan. Kami juga mengalami nasib sial di kawasan pyramid ketika kusir bendi yang kami tumpangi tiba-tiba menaikkan tarif hingga dua kali lipat dari kesepakatan awal. Katanya tarifnya dinaikkan sebab dia menemani kami bercerita sepanjang perjalanan. Di jembatan sungai Nil di Kairo, saya pernah memotret rombongan pemuda Mesir yang sedang berkumpul. Mereka mengejar mobil yang kami tumpangi dan hendak merebut kamera. Untungnya seorang teman bisa menjelaskan bahwa saya hanya pelancong biasa, bukan wartawan. Suasana kota Kairo saat itu memang sangat sensitif, apalagi terhadap wartawan.

Menurut beberapa kawan Indonesia, dulu sebenarnya orang-orang Kairo tidak seperti itu. Revolusi Mesir yang terjadi sejak 2011 memukul cukup telak ekonomi dan pariwisata mereka. Jumlah wisatawan menurun drastis, dan pekerjaan semakin sulit membuat kompetisi makin sengit. Orang-orang di kota besar menjadi sedikit ‘biadab’ terhadap wisatawan. Dalam hati, saya berdoa semoga Mesir dapat pulih dan kembali nyaman untuk dikunjungi oleh wisatawan asing. Bagi saya, Mesir bukan hanya sekedar tujuan wisata, tetapi juga perpustakaan alam bagi arkeolog, sejarawan, budayawan, dan penganut ilmu sosial lainnya bahkan ilmu alam. Sayang rasanya jika perpustakaan ini tak lagi menarik.

Kondisi di Kairo jauh berbeda dibandingkan Fayoum. Di kota kecil ini, saya dan Hashim merasa cukup beruntung bisa merasakan keramahan orang Mesir. Meski revolusi Mesir juga melanda kota ini, tensi tidak setinggi di Kairo yang merupakan kutub politik. Penduduk Fayoum masih cukup giat dengan aktifitas pertanian dan jasanya. Di kota Fayoum ini kami banyak bersosialisasi baik dengan staf pemerintahan, akademisi, hingga praktisi pertanian. Penelitian kami seputar sekolah lapang memperkenalkan kami dengan beberapa penyuluh pertanian. Salah satunya bahkan mengajak kami berbuka puasa ala Mesir dirumahnya. Buka puasa dimulai dengan memakan beberapa biji kurma dan segelas karkadeh, teh ekstrak kembang sepatu yang sangat umum di Mesir. Karkadeh bahkan disediakan oleh para penduduk di pinggir jalan bagi para musafir yang berbuka puasa dijalan. Dan ini diberikan cuma-cuma alias gratis!! Setelah sholat maghrib, kami lalu disajikan dengan berbagai santapan menggiurkan. Uniknya, kami tidak menggunakan piring. Tuan rumah menyajikan seluruh makanan diatas nampan besar. Untuk menyantap makanan tersebut, kami masing masing mengambil satu ‘Isy (baca-Eis), roti tipis khas arab yang terbuat dari gandum. Karena tidak menggunakan piring, ‘Isy ini diletakkan disisi nampan dihadapan kita masing-masing. Umumnya, ‘Isy menjadi menu utama pengganti nasi, dimakan bersama dengan lauk seperti foul medames, sup khas arab dengan kacang merah, atau dengan dukkah, sayuran mint yang dicampur dengan berbagai bumbu. Ada juga ‘Isy yang telah berisi bumbu. Ini dinamakan to’miyah, makanan yang konon sering dirindukan oleh alumni-alumni Universitas Al-Azhar di Indonesia. ‘Isy sangat mudah didapatkan. Hampir disetiap lorong di Fayoum terdapat industri rumah tangga yang memproduksi ‘Isy. Harganya pun murah. Saking murahnya, beberapa warung makan menggratiskan ‘Isy bagi pengunjungnya. Meski begitu, tidak selamanya makanan utama Mesir berupa roti. Juga terdapat koshary, nasi yang dicampur dengan makaroni, mie dan miju, lalu topingnya berupa taburan bawang goreng yang renyah. Koshary ini sangat mudah didapatkan di pedagang kaki lima di Fayoum. Tidak ketinggalan, tuan rumah menjamu kami dengan masakan berempah kuat seperti kaware (sup kikil) dan lahma (semur daging). Seluruh makanan itu disajikan diatas satu nampan besar. Kami memakannya rame-rame bersama seluruh keluarga tuan rumah. Setelah itu kami disajikan makanan penutup. Berbeda dengan makanan utama yang didominasi rasa asin, hidangan penutup orang Mesir sangat didominasi manis. Favorit saya adalah kunafa, irisan gandum panggang (seperti mie kering) dicampur madu dan kismis yang rasanya sangat manis. Malam itu rasanya kami berpesta kecil-kecilan sambil belajar adat Mesir. Pertanyaan yang paling dominan kami ajukan adalah “Ini namanya apa?”. Dan untungnya tuan rumah serta seluruh keluarganya sangat tabah menjawab pertanyaan-pertanyaan kami. Tak lupa kami juga memperkenalkan masakan dari negara masing-masing jika ada yang serupa dengan makanan mereka.

[caption id="attachment_330343" align="aligncenter" width="490" caption="koshary"]

14034148421152011638
14034148421152011638
[/caption]

[caption id="" align="aligncenter" width="250" caption="Roti Isy. sumber gambar: http://awankecil25.blogspot.com"]

Roti Isy.
Roti Isy.
[/caption]

Selain itu, makanan kesukaan kami adalah ayam panggang khas Fayoum. Ohya, bicara tentang ayam, Fayoum juga terkenal dengan ayam lokalnya. Salah satu ayam yang berasal dari fayoum ini adalah Fayoumi chicken. Ayam fayoum berukuran kecil, berekor tegak, dan berbintik hitam putih. Yang khas dari ayam yang sulit dijinakkan ini adalah daya tahannya terhadap penyakit. Konon ayam fayoum ini telah diternakkan di Fayoum selama berabad-abad.

The City of Light

Ada juga budaya yang unik saat ramadhan di Fayoum (dan Mesir pada umumnya) yaitu fanous, lentera yang menerangi malam ramadhan di Mesir. Fanous, yang secara harfiah berarti ‘lilin’, dinyalakan sepanjang malam didepan rumah-rumah penduduk. Ini mengingatkan saya pada ‘malam tumbilotohe’ di Gorontalo, dimana orang-orang Gorontalo menyalakan lentera didepan rumah untuk memandu orang-orang yang beribadah di tiga hari terakhir ramadhan. Bedanya, jika di malam tumbilotohe lentera hanya dinyalakan sejak malam ke-27 ramadhan, di Fayoum lentera menerangi sejak malam pertama ramadhan. Fanous membuat kota Fayoum nampak senantiasa berderang dan tidak pernah lelap. Di Eropa, Paris dikenal dengan semboyan ‘the city of light’, kota cahaya yang berderang oleh kilauan lampu. Tak salah jika pada bulan ramadhan, Fayoum juga kami juluki demikian.

[caption id="" align="aligncenter" width="399" caption="pedagang fanous. sumber gambar: http://www.familyholiday.net"]

[/caption]

Terdapat banyak versi mengenai asal muasal fanous ini. Salah satunya menceritakan bahwa budaya lentera ini telah dimulai sejak jaman Dinasti Fatimiyah. Saat itu sang khalifah memasuki Mesir tepat di bulan ramadhan. Penduduk pun menyambut khalifah dengan menyalakan fanous. Kini, fanous bukan hanya semakin populer, tetapi juga sudah mengalami ‘modernisasi’. Suatu kali saya mendekati toko di sebuah pasar malam di Fayoum yang menjual fanous, dan kaget sebab lentera yang dijual sudah dilengkapi lampu dan baterei.

Al-Quran di Siang Hari, Tarawih di Malam Hari

Sebagai daerah muslim, masyarakat kota Fayoum umumnya mengisi ramadhan dengan banyak beribadah, salah satunya dengan membaca kitab suci Al-Quran. Hampir disetiap tempat orang-orang membawa mushaf Al-Quran sebesar saku hingga mudah dibawa kemana-mana dan dapat dibaca kapan saja. Pernah saya menumpangi Tramco (jenis angkutan di Mesir) dari Fayoum ke Kairo, dimana sepanjang perjalanan yang kurang lebih 2 jam, disekitar saya seluruh penumpang membaca Al-quran masing-masing. Suasana hening karena semuanya larut dalam bacaannya. Dimalam hari, masyarakat berbondong-bondong ke Masjid untuk melaksanakan sholat tarawih. Sholat tarawih di Fayoum sangat panjang. Meski ‘hanya’ delapan rakaat, ayat-ayat suci yang dibacakan menghabiskan 1 juz setiap malamnya.

Namun ada juga pemandangan unik lainnya. Orang-orang Mesir di masjid ternyata kerap membawa sandal dan sepatunya hingga kedalam masjid ketika sholat, bahkan saat sholat berjamaah. Sandal diletakkan bukan hanya di pinggir tembok dalam ruang masjid, tapi hingga di pilar-pilar Masjid sehingga cukup ‘merusak’ nilai estetika masjid dan tentunya, bau. Katanya, ini untuk menghindari kehilangan alas kaki yang juga kerap terjadi di Masjid. Nah lho.

Kota Pertanian, Buah segar dimana-mana

Saat berbuka puasa, saya dan Hashim menyenangi buah-buahan. Sebagai daerah pertanian, Fayoum memiliki cukup banyak buah-buahan lokal yang segar dan lezat. Favorit saya adalah anggur, buah tin, serta jus mangga. Untuk urusan anggur, saya berani katakan bahwa saya belum pernah mencicipi anggur semanis anggur Fayoum. Sulit dipercaya, rasanya seperti memakan gula saja. Saking nikmatnya, setelah balik ke Belanda, anggur-anggur di Belanda rasanya hambar semua. Dan tentunya yang utama adalah harganya yang sangat murah. Jika dirupiahkan, harga sekilo anggur manis hanya 10.000 rupiah!! Untuk urusan anggur, Hashim sangat pandai memilih. Katanya ia sudah terbiasa belanja buah anggur di negaranya. Saking hobbinya kami terhadap anggur Mesir, di kulkas tempat kami tinggal tidak pernah seharipun tidak berisi anggur. Jika tidak ada undangan buka puasa, kami berbuka dengan anggur dan jus mangga. Untuk nama yang belakangan ini juga tidak kalah nikmatnya. Selain manis, serat mangganya juga masih sangat terasa di kerongkongan. Membuat saya yakin bahwa jus mangga ini memang benar-benar dari mangga murni. Jus mangga di Fayoum dijual bebas dan cukup terjangkau harganya. Kami biasanya membeli satu jerigen ukuran sedang. Ada juga jus mangga yang dicampur dengan buah lainnya dijajakan dipinggir jalan. Yang saya senangi jus mangga disiram sirup, lalu dicampur apel dan anggur, lalu topingnya berupa es krim mangga, kata orang Makassar, anynyamanna. Konon, bibit mangga yang dikembangkan di Fayoum dibawa oleh mantan presiden Soekarno ketika berkunjung ke Mesir dijaman Anwar Sadat, sahabat beliau. Mangga tersebut dibudidayakan dan dikembangkan sebagai salah satu komoditi andalan Mesir saat ini.

[caption id="attachment_330345" align="aligncenter" width="305" caption="Jus mangga campur buah"]

1403415261256738015
1403415261256738015
[/caption]

Namun, dantara buah-buahan tersebut, yang paling berkesan bagi saya adalah buah kaktus. Orang mesir menyebutnya teen shouky, dan orang barat menamakannya prickly pear (pir berduri). Berada di Fayoum memberi peluang bagi saya untuk menikmati buah kaktus. Saya diperkenalkan pada buah ini oleh Mohamed, seorang staf yang bekerja pada project Fayoum Farmer Field School. Warnanya yang kuning membuat saya awalnya mengira buah mangga. Tapi setelah mencicipi, rasanya beda. Selain manis, buah kaktus juga mengandung banyak air. Buah ini sangat umum dijajakan dipinggir jalan oleh penjual gerobak. Konon, teen shouky berkhasiat menurunkan gula darah. Buah ini tumbuh di sisi batang kaktus dan berbuah banyak pada bulan tertentu. Kata teman-teman kami di Fayoum, kami beruntung bisa datang ke Fayoum tepat pada musimnya.

[caption id="attachment_330346" align="aligncenter" width="391" caption="Buah teen shouky yang dijajakan dipinggir jalan"]

1403415342132263921
1403415342132263921
[/caption]

Bagi saya pribadi, perjalanan ke Fayoum bukan sekedar perjalanan thesis, tapi juga menjawab rasa penasaran yang terbawa selama puluhan tahun. Sewaktu SD dulu, almarhum bapak memiliki buku jadul yang berjudul ‘Kisah 25 Nabi dan Rasul’. Sudah tidak terhingga berapa kali saya membaca buku tersebut berulang-ulang. Kisah Nabi Yusuf as merupakan salah satu favorit dalam buku tersebut. Buku itu pula alasan saya menggemari sejarah. Mengunjungi langsung situs sejarah di Fayoum memantapkan keyakinan saya akan kisah sang Nabi. Namun, beberapa minggu di Fayoum rasanya memang tak cukup untuk menjelajahi seluruh misteri di kota ini. Meninggalkan Fayoum masih bertumpuk rasa penasaran yang belum terjawab. Rekan saya, Ahmed mungkin membaca gelagat saya tersebut, sehingga beberapa hari sebelum meninggalkan kota Fayoum, Ahmed berkata “Zulham, ini bukan perpisahan, semoga kamu kembali ke Fayoum suatu hari nanti”. “Fayoum, I’ll be back.”, batinku.

Baca Juga;

Andalusia: Pesona Sejarah dan Budaya Bangsa Spanyol

Isi Dapur Indonesia Laris Manis di Belanda

Lantunan Angklung Bercerita tentang Budaya Indonesia di Belanda

Pasar Malam Indonesia di Belanda Perkenalkan Tari Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun