Mohon tunggu...
Zulham Hidayah Pardede
Zulham Hidayah Pardede Mohon Tunggu... Jurnalis - Pelancong

Fastabiqul Khoirot

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Afiza dan Martabak untuk Kehidupan yang Rukun

26 Januari 2023   10:13 Diperbarui: 26 Januari 2023   10:34 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Afiza Amarida Pard (foto: instagram/nabilaptrsrg)

"Apa itu?" Afiza bertanya dalam hati, sedikit berharap bungkusan itu untuknya.

Dan ternyata, Afiza salah. Bungkusan berisi kotak martabak yang lezat sekali itu bukan untuknya. Itulah satu-satunya hal yang membuat suasana hati Afiza terganggu. Gestur cerianya hilang, berganti cemberut yang sangat jelas ia tunjukkan.

"Bagaimana mungkin seorang tamu datang membawa makanan lezat namun tak dibagi pada tuan rumah. Selain seagama, sesama perempuan mestinya Nabila paham kalau aku sangat suka hadiah" ia menggerutu dalam hatinya, yang sialnya Nabila tak perduli. Bahkan ia melahapnya tepat di depan Afiza.

Nabila terbahak-bahak, entah bagaimana ia tega dan bahagia melihat raut wajah cemberut Afiza.

"Afiza sabar ya, makanan ini bukan untukmu" katanya sambil mengunyah martabak coklatnya.

Tapi, lagi-lagi. Afiza yang sejak lahir memang terdidik dengan laku yang purna dapat menerima keadaan dan menguasai emosi. Ia pulih cepat, dan menyaksikan Nabila menyantap makanannya. Afiza sadar, bahkan untuk urusan makanan dengan sesama manusia bila tidak dapat saling menerima akan dapat merusakan kenyamanan hidup.

Lagi pula Afiza sadar, toleransi yang selama ini ia jalani tertib bersama para tetangganya tak semua dimiliki orang. Mungkin. Nabila ini salah satunya. Tapi, sebelum pikirannya terlalu jauh menyudutkan Nabila yang masih sibuk dengan martabaknya. Ia tersadar, badannya terasa melayang, seperti diangkat seseorang dengan lembut namun kokoh.

"Afiza, putri mama. Asik banget ya lihat ibu Nabila makan martabak. Nanti ya, setelah Afiza besar makan martabak. Yok sayang, mama mandikan dulu biar badannya segar" ucap Novi, mamanya Afiza.

Novi dengan lugas mencopoti satu persatu pakaian Afiza yang masih melihat Nabila menyantap martabaknya. Entah bagaimana, Afiza sudah berada didalam bak mandi, dan Nabila sudah berlalu dipikirannya. 

Ia tersadar, selain menerima perbedaan dengan sesama manusia. Ada hal yang lebih penting, yaitu mampu menerima kenyataan diri, menerima segala yang termaktup dalam diri sendiri adalah modal hidup utama, dan hidup bermasyarakat, lintas generasi, antar suku dan antar agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun