Mohon tunggu...
Rani Zulfiani
Rani Zulfiani Mohon Tunggu... -

sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerpen Pertamaku - Panggil Aku Rani

5 Februari 2010   10:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:04 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Rani Novalia. Sebuah nama yang sangat sederhana namun mengandung makna yang sangat dalam bagiku, walaupun aku tahu kedua orang tuaku tidak sampai mengadakan syukuran dengan bubur putih dan merah untuk memberi nama itu padaku.

Konon ketika aku lahir, enam belas tahun yang lalu, ayah dan ibu bertengkar hebat, gara-gara keduanya sudah mempersiapkan sebuah nama untuk bayi baru mereka, aku. Entah benar atau tidak, yang jelas dan yang pasti, Rani Novalia adalah namaku, pilihan ibu dan ayah.

“Nym, beliin rokok di warung Bi Lilis.” Kakak laki-lakiku selalu begitu, menyuruh bin merintah. Dasar pemalas. Dan yang paling membuatku sebal adalah panggilan ‘Nym’ yang selalu dilontarkannya tatkala memanggilku.

“Panggilan sayang dari kakakmu ya ‘Nym’.” Jawab ibu ketika kutanya alasan kak Arif memanggilku seperti itu.

Panggilan sayang? Kenapa nggak ‘De’ aja sih? Kan lebih kelihatan sayangnya. Atau Ani, seperti ibu dan ayah.

Kuraih uang lembar sepuluh ribu dari tangannya. “Kembaliannya buat Ani, buat beli batagor.” Kataku sambil berlari. Terdengar kata-kata protes dari mulutnya. Aku cekikikan, tak peduli. Habis siapa suruh nyuruh adik bungsunya yang lagi kelaperan…he…he…he.

Berbeda dengan kak Arif, mbak Sofi lebih parah. Dia selalu memanggilku ‘On’. Sebal. Kenapa nggak off aja sekalian (eh jadi ketularan gini sama mbak Sofi).

“Abis waktu kecil kamu oon sich.” Jawab mbak Sofi ketika aku minta jangan panggil aku ‘On’ lagi. Jawabannya yang menurutku tidak nyambung itu diikuti ledakan tawa dari mulutnya. Menyebalkan sekali.

***

“Pagi, On?” sapa Septi, teman sebangkuku, diikuti tawa teman-teman sekelasku yang sudah datang.

What she said that? On? Aku kaget sekali. Darimana dia tahu?

Septi masih tertawa. Aku baru ingat, kemarin sore ketika aku sedang mandi, mbak Sofi memanggilku karena ada telepon dari Septi. Dan seperti biasa ‘On’ kembali menggema. Sepertinya Septi mendengarnya dari seberang melalui gagang telepon dan dia menyebarkannya pada teman sekelas. Dasar ember.

Kulangkahkan kaki ke meja kolom empat baris tiga, dimana disitulah aku duduk.

“On, bajurinya mana?” Leo si badung berceloteh. Anak-anak yang lain tertawa. Jadilah sekelas ribut dengan plesetan ‘On’ yang ditujukan tak lain dan tak bukan adalah padaku.

“Ih kok On sih, lebih bagus ‘Ndut, lebih pas ma badan dia noh! Ha...ha...ha.” Bian dan beberapa anak laki-laki, memang sejak awal masuk SMU memanggilku ‘Ndut. Padahal badanku nggak gendut-gendut amat kok.

Aku mendelik padanya. Dia dan teman-teman tertawa keras, terlihat puas sekali.

“Apaan sih, Septi.” Kataku pura-pura tidak tahu.

“Udah lah On, jangan pura-pura.” Septi nyengir.

“Plis, Sep, don’t call me like that.”

Septi tertawa. “Kenapa? Bagus lagi, Ran. Jarang-jarang ada kakak yang manggil adiknya kayak kakakmu itu. It’s so unique you know? Emang apa sich maksudnya dia manggil kamu ‘On’?”

“Udah ah, jangan bahas itu. Buang-buang waktu aja.” Aku jengkel sekali dengan kedua kakakku. Membuat aku hopeless aja di depan konco-konco sekelas.

“Eh, Once udah pulang dari tour Dewa.” Kata Kusnadi yang baru datang. Kulempar patahan kapur tulis yang ada di kolong mejaku ke arahnya. “Aduh ampun Oneng, ampun.” Katanya dengan derai tawa yang sangat puas. Menyebalkan.

***

Alasan kak Arif memanggilku ‘Nym’ dan mbak Sofi memanggilku ‘On’, ternyata keduanya bersambung, Onym. Nama panggilan ketika aku masih cadel, tak bisa mengatakan Ani, apalagi Rani. Hanya gara-gara itu? Plis dong, sekarang aku udah nggak cadel lagi kali.

“Tapi ada cerita lain lagi, Nym.” Kata kak Arif.

“Dulu kamu kan pernah sakit panas and nggak turun-turun. Keringet kamu terus ngalir, ibu bingung. Ya udah kepalamu diplontosin.”

Aku cekikikan mendengar cerita kak Arif yang tak masuk akal itu.

“Terus?” tanyaku masih cekikikan

“Ya terus kamu dipanggil Onym, dasar oon.” Jawab mbak Sofi, membuatku berhenti cekikik.

“Apa hubungannya?” tanyaku ilfil.

“Nggak ada.” Jawab kedua kakakku berbarengan sambil ngakak. Menyebalkan. Kalian tuh yang oon, eh...astaghfirulloh.

***

Aku tidak peduli dengan panggilan ‘Onym’ yang dilontarkan kedua kakakku. Tapi kalau teman-teman sekelasku? Aku berusaha tutup kuping aja, dan menganggap mereka radio butut yang sudah nggak bisa manggil Rani. Yang jelas namaku adalah Rani Novalia.

“Nym...”

“Rani.” Kuralat panggilan Yanti, menyebutkan namaku dengan penekanan.

Dia tersenyum, “Jangan lupa ada syuro ba’da ashar di madrasah al-Muslim.” Tanpa menyebutkan Rani, dia mengingatkanku.

“Iya, aku nggak lupa kok.” Padahal sebenarnya aku lupa dan hampir saja menerima ajakan teman-teman sekelas nomat di BIP.

“Kalau begitu ilaliqo. Assalamualaikum.”

Kujawab salamnya dengan tak semangat. Heran, anak rohis juga memanggilku ‘Onym.’. Apa mereka tidak mengerti pada hadits yang menyebutkan “Barang siapa mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik, kalau tidak bisa, diamlah.”?*

***

Aq plg dl, ntar ba’da ashar i-4WI dah ada d al-Muslim.

Kukirim sms untuk Yanti, temanku di rohis.

Oks onym cayaaaank :)

Tuh kan. Menyebalkan sekali. Kutaruh kembali ponselku di saku tas yang agak tersembunyi. Namun belum juga mencapai tempat itu kurasakan vibra dari ponselku. Ada sms.

Aslmkm Ukhti, klo da wkt tlg ba’da ashar k mdrsh. Ana g bs ngjr, mo da perlu dl k prwkrt.mdhn2an anti bs gntin ana u/ hr ni ja.wslm

Aku terasa melayang ke bintang tsuraya. My soulmate baru saja sms. Astaghfirulloh, aku segera mengusap wajahku. My soulmate? Darimana pula aku tahu kak Andri adalah soulmateku. Mmm...tapi yang membuatku senang adalah, dia tidak memanggilku ‘Onym’.

i-4WI ana akan k mdrsh.smg ursn akhi d prwkrt lncr.

Kubalas sms dari kak Andri itu.

Selain di sekolah, aku mengikuti kegiatan remaja masjid di dekat rumahku. Dan kak Andri itu adalah salah satu ikhwan yang juga ikut remaja masjid. Dan (kata teman-temanku di kegiatan ini) diantara akhwat, akulah yang paling dekat dengan ikhwan yang menjadi rebutan itu. Ups, astaghfirulloh. Tapi benar kok.

“Hei, Atun ya?” tiba-tiba aku mendengar suara yang sepertinya sangat aku kukenal, dulu.

Kubalikkan badanku. Benar saja itu kan Sunar, teman SD-ku.

“Wah benar ya, Atun. Masih gendut aja nih. Apa kabar?”

Idih, pernyataan Sunar itu membuat aku kurang bersyukur aja sih punya badan agak lebih berlemak. Tak kujawab pertanyaannya.

“Dooo...selain gendut sekarang judes pula.” Katanya lagi.

Aku berusaha tersenyum. “Duluan ya, Nar.” Kataku sambil membalikkan badan dan dengan maju langkah gegas.

Tak kugubris kata-katanya setelah aku melangkah pergi. Kenapa sih dia tidak lupa pada julukanku ketika SD, Atun? Hanya gara-gara aku gendut, disamain sama Atun. Itu tuh adiknya Bang Doel di sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Sinetron yang melejit ketika pertengahan 90-an.

***

Setelah melaksanakan sholat ashar, aku bersiap-siap ke madrasah untuk mengajar TPA sore, menggantikan kak Andri.

“Assalamu`alaykum.” Salamku ketika memasuki kelas.

“Wa`alaykumussalam.” Jawab anak-anak TPA serempak.

“Kak Andri sekarang tidak bisa hadir, jadi Kak Rani yang gantiin.” Kataku.

“Yaaa.” Anak-anak kecewa. Tapi aku segera melakukan sesuatu agar anak-anak tidak kecewa lagi. Bercerita tentang hikayat para nabi atau wali. Itulah keahlianku (maaf tidak ada maksud unuk riya).

Anak-anak langsung terdiam memperhatikanku yang mulai bercerita. Belum tiga alinea ceritaku, terdengar salam dari arah pintu.

“Kak Andri!” seru anak-anak yang terlihat gembira.

“Wah seru ya, diceritain sama bu guru. Ayo, Ukhti terusin ceritanya, ana juga mau dengar.” Katanya sambil melemparkan senyum mautnya. Membuatku tak berkutik. Bukannya dia harus ke Purwakarta? Jangan-jangan...GR ku kumat.

“Ayo, Kak Ran, terusin.” Pinta anak-anak.

“Oh ya, mmm...sampai di mana tadi?” tanyaku pada anak-anak. Padahal aku benar-benar lupa sedang bercerita tentang apa.

Kurasakan getaran dari saku gamisku. Ada yang menghubungiku lewat ponsel. Walau penasaran dari siapa dan mau apa, tak kuhiraukan getar ponsel yang selama sepuluh menit dengan jeda, terus menggelitik pahaku.

“Tadi sampai Nabi Musa melemparkan tongkatnya dihadapan Fir’aun, dan tongkatnya itu berubah jadi ular yang besar.” Yuda, salah satu anak mengingatkanku.

“Oh ya baru sampai situ ya, kemudian...” kuteruskan ceritaku dengan agak salting. Habis kak Andri lihatin terus. Duh GR nih. Astaghfirulloh, ampun Ya Alloh. Akhi, ghodlul bashor dong! Protesku yang menggema hanya dalam hati.

“Anti berbakat ya menjadi pencerita.” Kak Andri tiba-tiba sudah ada di sisiku, menjajari langkahku.

Aku hanya tersenyum. Sungguh, dalam hati yang paling dalam kuakui berjalan berduaan sama ghoir muhrim tidak boleh. Tapi, mau gimana lagi? Sepertinya setan dan malaikat bertengkar diantaraku. Aku benar-benar bingung.

Sepanjang jalan perjalanan, aku hanya meng-iya atau menidakkan perkataannya. Tak berani bertanya kenapa dia ada di sini, bukankah seharusnya dia ke Purwakarta? Duh, akhi, pergi gih, tapi jangan ding. Aduh...astaghfirulloh, Alloh ampun.

Pergolakan malaikat dan setan dalam hatiku berhenti tatkala kak Andri belok kanan memasuki rumahnya.

“Duluan, Ukhti. Hati-hati. Assalamu`alaykum.”

Kujawab salamnya dengan hati kecewa sekaligus senang hehe...

Kupercepat langkahku, aku sangat lapar. Kubayangkan sayur asam yang tadi siang dimasak ibu. Mmm, lezatnya.

Ponselku bergetar. Aku baru ingat, tadi di madrasah ada yang menghubungiku lewat ponsel. Segera kuraih barang berhargku itu dari saku gamis. Tadi karena laparnya, aku tak sempat mengambilnya dari saku gamis yang langsung kugantungkan setelah pulang dari madrasah.

Ada empat sms dan satu remainder Wow, banyak amat. kubuka inbox, dan semua sms itu dariYanti. Seiring kubaca namanya di inbox, aku lansung ingat, seharusnya ba’da ashar aku ikut syuro di madrasah al-Muslim. Astaghfirulloh, aku lupa.

Segera ku-reply sms dari Yanti, dan menyebutkan alasan yang sebenarnya tidak logis. Lupa. Masa bisa lupa, kandi-remainder, mungkin begitu jawaban Yanti nanti. Soalnya, Yantilah yang me-remainder ‘ada syuro ba’da ahar d al-Muslim, On’ di ponselku.

Smsku tak dibalas. Mungkin Yanti marah. Langsung aku menuju ruang keluarga.

“Tuh kan, Bu, padahal udah dikasih hp, tapi tetep aja masih nelpon dari telepon rumah. Dasar oon.” Kak Arif mulai kumat jahilnya.

“Jangan lama-lama ya, Ni. Bulan kemarin aja hampir dua ratus, kalian nggak ada yang ngaku makai.” Ayah mengingatkan.

“Oks, Dad.” Kataku sambil membuat huruf O dengan telunjuk dan ibu jariku.

Aku menelepon Yanti, khawatir dia marah. Daripada di sms tidak dibalas, mending langsung nelepon.

“Oh, Onym. Ada apa?”

Duh judes banget sih.

“Yan, afwan dong, aku bener-bener lupa. Tadi aku gantiin kak Andri ngajar TPA.”

“Ya udah, GPP, kan syuronya juga udah lewat. Btw buat seminar muslimah nanti kamu jadi danlap.”

“Oks. Jangan marah lagi dong, Yan.”

“Mmm...gimana ya, ha...ha...ha, aku nggak marah kok, Onym cayang.”

Kututup telepon dengan muka cemberut. Dasar Yanti si jayus woman.

“On, mau nggak?”

Cemberutku berubah menjadi sumringah. Kak Arif menawarkan dua batang coklat toblerone. Duh, kalau sudah begini dipanggil apa pun aku mau deh.

***

“Duh Annisa baru dateng.” Sambut Neni, temanku di madrasah.

Aku bingung. Who? Annisa? Who is she?

“Annisa siapa? Emang ada santri baru ya?” tanyaku.

Bukan menjawab Neni malah tertawa, begitu pun ketiga teman yang lain, Siti, Wulan dan Novi.

“Kok pada ketawa sich?”

“Abis, kamu lucu banget sich. Sok bilang nggak suka sama kak Andri, padahal mesra banget lo di sms.” Kata Novi, sepupu kak Andri.

Aku bengong. Mesra? Di sms? Perasaan kami, aku dan kak Andri, hanya saling tukar sms hadits atau kata-kata bijak. Mesra di mananya, gals?

“Duh, akhwat yang satu ini diam-diam ya?” Siti bersuara.

“Udah lah Ran, eh...Annisa, jangan pura-pura. Ayo sekarang cerita. Kamu jadian ya sama kak Andri?” Tanya Wulan dengan pandangan menyelidik.

“Jadian? Akhwatiy fillah yang semoga dilindungi Alloh...”

“Amin.” Jawab mereka serempak.

“Kok kalian tega menuduh diriku yang bukan-bukan. Nggak mungkin kali aku jadian. I know there’s no pacaran-pacaran in islam, eh...kecuali udah nikah, baru boleh pacaran sama suami.” Kataku berapi-api.

So? Limadza anti suka ngirim sms yang mesra ke kak Andri? Terus nama anti di hp-nya disamarin lagi. Annisa. Biar nggak ketahuan tuh.” kata Neni dengan penekanan pada kata Annisa.

“Sms mesra? Apa sms hadits and kata-kata hikmah itu termasuk sms mesra? Ih ngaco deh kalian.”

“Duh ukhti, ya iyalah. Hadits atau kata-kata hikmah kan kandungan mesranya tinggi bagi santri kayak kita. Itu tandanya kak Andri ingin mempersiapkanmu jadi pendampingnya.”

Jess. Hatiku berdesir tak menentu. Benarkah?

“Karena kalian berdua ngerti agama, jadi kalian melakukan ‘pacaran’ dengan cara lain.” Kata-kata Siti menohok hatiku.

“Iya, di hp kak Andri nama kamu bukan Rani, apalagi Onym...”

Dih ilfil deh kalau sampai kak Andri manggil aku ‘Onym’.

“Itu tandanya dia nggak mau diketahui pengirimnya, ya paling nggak kamu di-spesialin deh sama kak Andri. Untung aja aku hapal nomor hp kamu. Jadi aku tahu Annisa itu kamu.”

Aduh. Kok perasaan orang-orang pada nggak tahu namaku ya? Woi my name is RANI. Bukan Annisa, Onym, ‘Ndut, Atun atau apa pun. Memang ibu pernah mengatakan bahwa orang-orang yang memanggilku tidak dengan nama asliku itu artinya mereka sayang dan punya perhatian khusus padaku. Tapi kan aku diberi nama agar orang-orang mengenalku, dan memanggilku sesuai dengan namaku.

Hear me I’m RANI. Ingin sekali kulisankan kata hatiku itu. Tapi aku sudah kehilangan cara. Walaupun sudah diberi tahu, orang-orang yang dekat denganku lebih menyukai sebutan lain untukku daripada nama asliku. Termasuk kak Andri, walau ehm...sebutanku darinya lebih indah. Astaghfirulloh.

Ruang Inspirasi, 26 Desember 2005

*H.R.Bukhari.

***

Cerpen ini kutulis berdasarkan kisah nyata hehehe... afwan kalau ada yang tersindir, karena ternyata rata rata memang begitulah adanya hihihi.... :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun