Mohon tunggu...
Zulfika Satria Kusharsanto
Zulfika Satria Kusharsanto Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti Kebijakan Riset dan Inovasi

Lulusan Urban and Economic Geography, Utrecht University. Selalu mencari cara agar bermanfaat untuk sesama.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pengalaman Berharga saat Jalan-jalan dan Salat di Iran

17 Juli 2017   10:19 Diperbarui: 18 Juli 2017   15:12 6426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bisa pergi ke Iran merupakan pengalaman yang boleh dibilang sangat berharga (dan langka) bagi saya. Apalagi kalau ke sananya sendirian saja. Ya, saya pernah ditugaskan oleh kantor saya melakukan perjalanan dinas ke Iran untuk mengikuti pelatihan tentang technopreneurship (kewirausahaan berbasis teknologi) seorang diri. 

Walaupun boleh dibilang saat itu saya merasa ragu dan takut, tapi di satu sisi saya ingin menantang diri saya untuk bisa melakukan perjalanan dinas ini. Saya ingin tahu seperti apa Iran itu!

Kabar yang beredar dan memang benar adanya adalah bahwa Islam Syiah adalah agama terbesar di Iran. Saya yang menganut Islam Sunni sejujurnya khawatir, jangan-jangan nanti saya ditimpukin kalau ketahuan saya penganut Islam Sunni. Boleh dbilang lebay sih, tapi kekhawatiran itu benar-benar saya rasakan. 

Berita di media memang berhasil menggambarkan bahwa konflik Sunni dan Syiah sangat-sangat panas dan menyeramkan. Yaah, bermodal bismillahirrahmanirrahim, saya putuskan berangkat ke Iran dengan niatan misi damai (yaiyalah cuma menjadi peserta training saja kok hehehe). Semoga saya aman di sana hingga saya pulang kembali ke Indonesia. Aaamiin...

Perjalanan dinas saya kali ini resmi tugas negara yang mendapat izin dari Sekretariat Negara, jadi saya diwajibkan melapor ke KBRI di Teheran. Tujuan pelatihan saya sebenarnya ada di Kota Isfahan, sekitar 5 jam menggunakan bus dari Teheran. 

Saya diberi kontak salah satu staf di KBRI bernama Bu Yanti. Alhamdulillah beliau sangat membantu sekali sehingga saya (yang hanya sendirian berpetualang ini) merasa nyaman saat berada di Iran. Kalau dipikir-pikir kenapa juga ya pelatihan technopreneurship sampai jauh-jauh ke Iran? 

Sebenarnya pelatihan ini diadakan oleh ISTIC, sebuah organisasi bidang iptekin berbasis di Malaysia yang berada di bawah pengawasan UNESCO bagi negara-negara berkembang. Nah, di antara negara-negara berkembang ini, kali ini tuan rumah pelatihan dan pertemuan ISTIC diadakan di Iran. Acara pelatihan 5 hari ini pun dibiayai penuh oleh ISTIC kecuali tiket pesawat. Masa sih pelatihan seperti ini saya lewatkan?

Suasana Pelatihan / dokumentasi pribadi
Suasana Pelatihan / dokumentasi pribadi
Yang membuat saya yakin untuk berangkat adalah yang saya ketahui bahwa hubungan bilateral Iran dan Indonesia boleh dibilang sangat baik. Apalagi akhir tahun 2016, Presiden Joko Widodo melakukan lawatan kenegaraan ke Iran. Hubungan ini terbukti saat saya mengajukan visa on arrival (VoA) di Teheran. 

Sebenarnya alasan saya mengajukan VoA adalah karena permohonan visa di Kedutaan Iran di Jakarta lumayan ribet dan memakan waktu lama, padahal waktu yang tersisa untuk persiapan sudah sangat mepet. Sungguh sebuah kenekadan yang entah saya mau banggakan atau sesali hahaha. 

Berbekal saya punya kontak KBRI saya beranikan saja, lagipula mau bagaimana lagi. Saat mengajukan visa di Bandara Imam Khomeini di Tehran, petugasnya tersenyum karena saya berasal dari Indonesia, kemudian saya pun diberikan biaya visa istimewa yang lebih murah daripada biaya visa turis regular. Alhamdulillah... aman, saatnya masuk ke negeri Persia ini. 

Impresi yang saya rasakan di Iran adalah orangnya sangaaaaat ramah. Kebetulan saat itu tidak ada staf KBRI yang bisa mengantar saya sampai Isfahan sehingga staf KBRI meminta tolong penduduk lokal yang menjadi penumpang bus juga untuk memandu saya sampai saya tiba di Isfahan. 

Penduduk lokal itu pun benar-benar menemani, mengajak ngobrol, dan mengantar saya sampai hotel, padahal kalau dipikir-pikir kami berdua belum pernah saling kenal. Saya sejujurnya kagum dengan keramahan penduduk Iran. Sangat berbeda dari bayangan saya yang ada di media-media (atau saya yang memang kuper). 

Masyarakat Iran juga selalu berpakaian tertutup. Semua wanita wajib berhijab termasuk turis. Bagi turis non muslim, diperbolehkan memakai penutup kepala saja layaknya scarf (bukan hijab syar'i). Saat pelatihan dimulai, alhamdulillah saya berkenalan dengan peserta lain, mayoritas dari negara-negara muslim seperti Azerbaijan, Tunisia, Turki, Malaysia, Oman, Irak, dan Sudan. Ada juga peserta dari India dan Tiongkok. 

Saya senang karena bisa berteman baik dengan bapak-bapak dari Turki, Tunisia, dan Irak. Seperti yang saya utarakan tadi, saya butuh teman sesama penganut Sunni supaya saya punya teman beribadah sholat. Oya, tapi saya sejujurnya malah lebih bersahabat dan ke mana-mana bareng sama teman dari India karena seumuran hehe :D 

Rekan-rekan Pelatihan dari Tunisia, Irak, dan Turki
Rekan-rekan Pelatihan dari Tunisia, Irak, dan Turki
Perlu diketahui kalau beberapa rukun ibadah Syiah dan Sunni memang berbeda. Perbedaan yang bisa saya amati dari Islam Syiah adalah seperti adzan ditambah tentang kalimat mengagungkan Ali bin Abi Thalib RA dan tidak meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dan di bawah dada saat sholat (berdiri sempurna sambil menunduk). Selain itu, bagi penganut Syiah, ibadah sholat memakai batu turbah yang diletakkan di titik sujud. 

Batu turbah
Batu turbah
Perbedaan paling kentara saya rasakan saat saya melakukan sholat Jumat di sana. Awalnya saya merasa keberatan untuk sholat Jumat. Bukan apa-apa, saya masih merasa was-was dengan status saya sebagai Islam Sunni yang minoritas. Tapi ternyata rekan dari Tunisia dan Turki (notabene mereka adalah bapak-bapak yang selisihnya jauh di atas saya) mengajak saya untuk Sholat Jumat. Hmmm... karena ada temannya, okelah saya berangkat saja. 

Kami pun meminta tolong panitia untuk mengantar kami ke masjid yang mengadakan Sholat Jumat (tidak semua masjid mengadakan Sholat Jumat berjamaah, sila klik artikel dari Kompas ini untuk lebih jelasnya). Mas panitia pun meyakinkan kalau kita benar-benar mau ikut sholat Jumat. Dia menanyakan kurang lebihnya, "Kalian Sunni kan? perlu kalian ketahui kalau tata cara sholat Syiah dan Sunni berbeda. Walaupun sebagian besar sama, tapi saya perlu pastikan kalau kalian tidak masalah dengan itu". 

Rekan saya dari Tunisia pun menimpali "Tidak masalah, kita sama-sama bersyahadat, sama-sama menyembah Allah SWT, jadi saya rasa tidak masalah perbedaan itu". Saya yang muda ya cuma mengangguk-angguk saja. 

Untungnya Masjid Shah yang merupakan masjid agung di Isfahan tidak jauh dari lokasi pelatihan. Begitu tiba di masjid, terlihat jamaah sudah berbondong-bondong masuk ke masjid. Uniknya, seperti yang saya utarakan di atas, di pintu masjid dibagikan batu-batu turbah untuk digunakan jamaah. 

Saya pun mengambil saja, walaupun entah nanti akan saya pakai atau tidak. Plus, karena Sholat Jumat merupakan ibadah "istimewa", di berbagai sudut banyak aparat keamanan yang berjaga-jaga. Saat masuk tak disangka kami bertiga dibawa panitia ke semacam shaf VIP yang berada di belakang imam. 

Saya namakan VIP karena shaf tersebut diberi pembatas khusus dan dijaga ketat oleh aparat keamanan. Perasaan saya campur aduk antara merasa tersanjung tapi juga khawatir. Ah ya sudahlah, saya niatkan mau sholat Jumat biasa saja. 

Khutbah Sholat Jumat tentu saja disampaikan dengan bahasa Persia yang saya tidak paham. Yang saya pahami hanya ketika disebut nama Muhammad SAW, jamaah menimpali bacaan sholawat dengan sangat lantang. Begitu halnya ketika nama Sayyidina Ali disebut (saya tidak ingat apa yang diucapkan jamaah). 

Setelah kutbah, tibalah waktu untuk sholat berjamaah. Inilah yang menurut saya kentara perbedaannya. Sholat Jumat berjamaah yang saya lakukan tiap gerakan diberikan instruksi, misal "Sujud!" kemudian semua jamaah sujud, "Ruku!" kemudian semua jamaah ruku, dsb. Mungkin ada perbedaan lain yang tidak saya pahami, wallahu a'lam.. (Saya tidak mendalami perbedaan Syiah dan Sunni alias hanya turis biasa sih hehehe). 

Sebenarnya setelah Sholat Jumat, saya merasa khawatir "Apakah yang tadi saya lakukan masih diperbolehkan? Apakah amal Sholat Jumat saya diterima? dsb dsb...". Ketika saya ceritakan ke rekan saya, mereka menghibur saya "Yang penting kita melakukan rukun sesuai yang kita imani, abaikan saja gerakan-gerakan tambahan tadi. Yang penting hati dan niat kita masih ikhlas sholat menyembah Allah SWT". Yaah alhamdulillah saya pun lebih tenang..

Besoknya saya dikabari teman-teman pelatihan saya yang asli Iran kalau saya kemarin Jumat masuk tivi. Walah, ternyata Sholat Jumat disiarkan di tivi lokal. Apalagi saya ada di shaf VIP jadilah kesorot kamera dengan jelas. Hahaha saya kok jadi malu. Tapi unik juga ya Sholat Jumat sampai diliput segala. 

Tibalah waktu saya harus kembali ke tanah air. Lagi-lagi karena kunjungan saya ke Iran ini merupakan perjalanan dinas, jadi saya tidak bisa berlama-lama di sana. Saya hanya punya 1 hari free untuk mengeksplor Iran, lebih tepatnya Kota Isfahan. Dengan hanya berjalan kaki, saya mengunjungi bazaar di sekitaran Masjid Shah untuk membeli beberapa oleh-oleh, berfoto dan menikmati taman kota di Naqsh-e Jahan (bangunan bekas istana kerajaan), ke Jembatan Khaju, dan sekadar berfoto-foto dengan gedung-gedung historis di Isfahan yang sangat eksotis. 

Nashq-e Jahan di Isfahan, spot turis terkenal
Nashq-e Jahan di Isfahan, spot turis terkenal
Alhamdulillah, cuaca di Isfahan saat itu (bulan Mei) sangat bersahabat, tidak panas tetapi juga tidak dingin. Berjalan kaki seorang diri pun juga sangat aman dan nyaman. Kota Isfahan relatif sangat bersih dan teratur. Untuk berkeliling jarak jauh, kita bisa gunakan jasa taksi (tarifnya borongan sesuai tujuan) atau ada juga BRT seperti TransJakarta. Ah, tapi sejujurnya jika kita menginap di pusat kota, semua tujuan wisata bisa dicapai dengan berjalan kaki kok. Setelah selesai mengeksplor Isfahan, saya naik bus eksekutif jarak jauh menuju ke Teheran. 

Tiket Bus Eksekutif, cuma IRR 275.000. Berapa Rupiah hayo? dokumentasi pribadi
Tiket Bus Eksekutif, cuma IRR 275.000. Berapa Rupiah hayo? dokumentasi pribadi
Oya sekadar selingan, mata uang Rial Iran memiliki denominasi yang lebih besar daripada Rupiah lo. IDR 1 = IRR 2,45. Baru kali ini saya menikmati uang Rupiah lebih "perkasa" dari mata uang negara lain hahaha. Uniknya, kata "Rial" jarang disebut oleh masyarakat. Mereka lebih sering menyebut "Toman". Ternyata Toman ini sama dengan mengurangi 1 Nol dari nominal Rial. Misal 100.000 Rial berarti 10.000 Toman. Hasil dari saya kepo ke teman pelatihan dan googling, penggunaan kata Toman lebih kepada alasan historis. 

Sejujurnya saya sangat sangat puas mengunjungi Iran. Orang Iran pintar-pintar dan lagi mereka semua ramah-ramah. Saya merasa suasana pelatihan yang saya ikuti benar-benar hidup, banyak diskusi, dan banyak kunjungan lapangan sehingga kita benar-benar paham tentang kemajuan Iran. Dari sisi wisata, saya senang karena bangunan-bangunan di Isfahan benar-benar berarsitektur kuno dan eksotis, tapi masih bisa berbaur dengan modernitas. 

Terlebih lagi, ternyata perbedaan Sunni dan Syiah tidak selebay yang diceritakan. Buktinya saya aman dan tidak dikucilkan meskipun panitia tahu saya Islam Sunni. Andai saya ada kesempatan lagi ke Iran, saya pastikan saya mau lagi! (apalagi kalau dibayarin hehehe). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun