Bencana Covid yang melanda seluruh dunia mengakibatkan banyak negara mengambil langkah langkah dan kebijakan ekonomi dalam menyelamatkan negaranya, tak terkecuali Indonesia.Â
Negara Negara besar seperti jerman menggelontorkan danaya sebesarUSD  810 M, dimana perusahaan kecil mendapat subsidi sebesar 15.000 Euro dan perusahaan besar sebesar 400 M Euro untuk jaminan Kredit, China USD 424 Milyar  dan 3 T Yuan dialokasikan kepada pengusaha, Malaysia USD 62, 9 M dialokasikan untuk pengusaha dan pekerja yang terdampak, Thailand USD 43,3 M digunakan untuk pembayaran angsuran kredit selama 6 bulan serta bantuan Pekerja .Â
Sedangkan Indonesia melalui APBN dalam rangka PEN (pemulihan Ekonomi Nasional) sebesar Rp 600 an T yang dilalokasikan kepada Rp.172 T kepada Bansos,Dukungan Pajak Rp123 T, subsidi bunga Rp. 34,15 T, Subsidi BBN B-30 Rp. 2.78 T, Penyertaan modal negara Rp. 25.27 T, Penempatan dana pemerintah untuk restrukturisasi Rp. 87,59 T,PenjaminanRp. 1 T.
Talangan untk Garuda dan karakatu steel sebesar 19,65 T dan Pariwisata Rp. 1.8 T, perumahan Rp.1.3 T. Ada dua komponen yang cukup mengejutkan yakni dana subsidi BBN-30 sebesarRp. 2.78 T dan talangan investasi kepada Garuda dan karakatu Steel (yang saat ini bermasalah dengan cash flow sebelum terjadinya covid).Â
Namun yang kita bahas adalah penggunaan subsidi B-30 sebesar Rp.2.78 T, apa sebennarnya B-30 ini , B30 adalah pencampuran antara bahan bakar diesel atau solar dengan FAME (Fatty Acid Methyl Ester). Komposisinya yaitu 70% solar dan 30% FAME, dan apa itu FAME Â bila kita berbicara tentang Minyak sawit atau CPO dimana CPO tersebut cenderung untuk terurai menjadi asam lemak dan gliserin.Â
Walaupun asam lemak bukanlah asam yang kuat, tetapi dalam jangka panjang akan membuat korosi pada peralatan. Oleh sebab itu perlu diubah menjadi senyawa lain yang lebih stabil, yaitu Fatty Acid Methyl Ester disingkat FAME.Â
Disini CPO Â direaksikan dengan methanol. Â Dalam rekasi dengan metanol terdapat biaya tambahan yang cukup tinggi, dimana Harga FAME selalu lebih tinggi dari CPO. harga FAME di spot market. Berdasarkan data 3 tahun terakhir, harga rata-ratanya sekitar $900 per ton. Sedangkan CPO sedikit di bawah $700 per ton, atau 25% lebih rendah dari FAME. Heating value FAME sedikit lebih rendah dari CPO, yaitu sekitar 38 MJoule. Atau sekitar 4% lebih rendah dari CPO.,Â
Jadi dalam satuan kcal, kilo kalori, harga FAME sekitar 30% lebih mahal dari diesel. Salah satu bahan baku untuk membuat FAME adalah methanol. Dan methanol harus diimpor.Â
Produksi dalam negri terlalu kecil untuk menutupi keperluan untuk membuat FAME. Tetapi ini mungkin hanya faktor yang kecil, karena methanol yang dibutuhkan sekitar 15% dari biodiesel saja dan harganyapun hanya sekitar 70% dari CPO. Untuk meningkatkan kapasitas FAME tentu diperlukan pabrik dan salah satunya Pemasok bahan bakar nabati terbesar ke Pertamina adalah Grup Wilmar, yaitu PT Wilmar Nabati Indonesia sebesar 1.373.794 kiloliter dan PT Wilmar Bioenergi Indonesia sebesar 1.148.269 kiloliter, Namun untuk bahan metanol sebagaian masih impor dan hal membuat defisit perdagangan melebar. Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa setiap persen diesel akan diganti oleh FAME dengan jumlah yang sama, tetapi harganya lebih mahal. Dengan kata lain, mengurangi impor diesel dan menggantikannya dengan FAME yang lebih mahal tentu saja akan melebarkan defisit perdagangan.
Dari sudut pelestarian alam pun perkebunan sawit bukan bisnis yang ramah lingkungan. Untuk membuka kebun sawit, telah terjadi pembabatan hutan, penggusuran satwa liar langka seperti harimau, gajah dan orang utan. Dan juga pembakaran hutan sebagai cara yang murah untuk membuka lahan. Belum lagi, bahwa sawit sangat menuntut banyak pupuk.
Lalu untuk apa? Pasti harus ada kelompok yang diuntungkan. Kalau dilihat mata rantainya, yang diuntungkan adalah: