Pulau Rote terletak di bagian selatan Pulau Timor, sekitar tiga jam naik ferry dari Kupang, ibu kota Nusa Tenggara Timur. Di selatan Rote terdapat Pulau Ndana yang merupakan pulau paling selatan Nusantara.
Lautan biru dan gulungan ombak yang menjadi incaran surfer dari penjuru dunia, lagoon dengan air sebening kristal, deretan pantai landai berpasir putih, dan bentang alam yang unik menjadi ciri khas wisata alam Pulau Rote.
Tapi pandemi Covid-19 membuat wisata di Pulau Rote seperti kota mati, tak ada lagi wisatawan atau surfer yang hilir mudik mengejar ombak, terutama di kawasan Nembrala dan Oeseli.
Villa, resort, dan hotel yang buka bisa dihitung dengan jari. Rumah makan dan cafe-cafe tepi pantai pun tutup. Perahu-perahu yang dulunya membawa surfer berburu ombak, kini dibiarkan terikat begitu saja di pohon-pohon kelapa sepanjang pantai Nembrala.
Normalnya, wisata di Pulau Rote memang memasuki periode off-season mulai bulan Desember sampai Maret atau April. Tapi tahun ini beberapa akomodasi "terpaksa" tetap buka, berharap pada wisatawan lokal.
Salah satu penjaga homestay yang saya temui di Nemberala pada awal Desember 2020 kemarin menceritakan kondisi wisata di pulau Rote yang terpukul oleh pandemi. "Mulai bulan Maret sudah tidak ada tamu, lokal maupun asing. Waktu itu di sini lockdown, orang luar tidak boleh masuk. Kapal yang datang hanya bawa bahan pokok saja,"
"Karyawan hotel dan cafe banyak yang pulang kampung dan belum kembali karena memang masih tutup. Orang kapal sudah tidak ada tamu, sekarang kembali tangkap ikan saja," lanjutnya.
Di tengah banyaknya akomodasi yang tutup, ada beberapa resort dan villa yang baru buka di Nembrala dan Oeseli. Umumnya akomodasi ini dimiliki oleh warga asing.
"Kami sudah buka mulai bulan Agustus, tapi memang belum banyak wisatawan ke Rote. Tamu kami umumnya pejabat atau orang instansi dan karyawan yang berkunjung ke Rote," kata salah satu manajer resort yang baru buka di Nembrala.