Mohon tunggu...
Alex Journey
Alex Journey Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Travel writer

Menulis perjalanan, budaya, dan wisata Indonesia dan Asia.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Pandemi dan Sisa Baleo di Lamalera, Pulau Lembata

16 November 2020   20:32 Diperbarui: 17 November 2020   02:20 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langit senja awal bulan November kemarin perlahan berubah warna dari jingga menjadi kemerahan saat saya tiba di Lamalera, sebuah desa nelayan di pesisir selatan Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur.

"Selamat datang di Lamalera," sapa Ibu Siska, wanita berusia 40an tahun yang sehari-harinya mengelola salah satu homestay di kawasan pantai Lamalera.

Lamalera terkenal dengan perburuan paus tradisional yang telah dilakukan turun-temurun. Perburuan paus biasanya dilakukan sekitar bulan Mei sampai November, yang merupakan bulan migrasi paus dari Laut Banda menuju Samudera Hindia, melewati Laut Sawu di selatan Lamalera.

Salah satu gerbang dari tulang paus di Lamalera. (foto: Alex)
Salah satu gerbang dari tulang paus di Lamalera. (foto: Alex)

Dalam satu rombongan paus yang bermigrasi, ada beberapa jenis paus yang tidak boleh diburu. Salah satunya adalah paus biru yang dianggap sakral oleh masyarakat Lamalera.

Para pemburu paus di Lamalera menggunakan kapal kayu atau paledang yang didayung beramai-ramai. Jika ada paus yang lewat, maka juru tombak atau lamafa melemparkan tombak ke arah paus tersebut.

Sepi wisata sejak pandemi virus corona

Tahun 2020 ini terasa beda bagi masyarakat Lamalera. Tak hanya perburuan paus yang terhenti sejak bulan Agustus, tapi juga kunjungan wisata yang menurun drastis karena pandemi Covid-19.

"Bulan April lalu ada sekitar 30 bule yang mau menginap di sini, tapi kami tolak. Kami khawatir corona. Apalagi di sini puskesmas jauh dan kalau ada yang kena corona tentu seluruh desa yang kesusahan," kata Bu Siska.

Saya merasakan sendiri bagaimana "perjuangan" menuju Lamalera. Jalanan mulus beraspal dari Lewoleba - ibu kota Kabupaten Lembata sekaligus kota pelabuhan dan bandara utama di pulau ini - hanya sepanjang kurang lebih 17 kilometer hingga Pantai Mingar. Selebihnya, jalanan naik turun bukit berupa tanah dan batu sejauh kurang lebih 30 kilometer.

Tulang-tulang paus dapat kita temui di tiap sudut Lamalera. (foto: Alex)
Tulang-tulang paus dapat kita temui di tiap sudut Lamalera. (foto: Alex)

"Kita terakhir tangkap (ikan paus) bulan Agustus. Setelah itu tidak ada lagi," kata Pak Ivan, nelayan Lamalera yang sehari-harinya juga berprofesi sebagai pengrajin souvenir dari tulang ikan paus.

Di toko kecil samping rumahnya, Pak Ivan memajang beberapa contoh souvenir hasil kerajinan tangannya. Ada anting, cincin, kalung, dan kerajinan tangan lainnya.

"Mulai bulan Maret sudah tidak ada wisatawan karena corona. Setelah Agustus mulai ada tamu yang datang, tapi hanya dari daerah sekitar sini, bukan wisatawan luar daerah apalagi luar negeri," terangnya.

Baleo dan berkah Tuhan bagi Lamalera

Keesokan paginya saya menuju pantai Lamalera dimana terdapat deretan gubuk tempat meletakkan perahu-perahu pemburu paus. Matahari pagi muncul sempurna dari sisi kiri desa nelayan ini.

Sebuah tempat ibadah sederhana berdiri di antara deretan gubuk perahu tadi. Beberapa lukisan salib dan Yesus terpajang di atas perahu yang diparkir menunggu musim berburu tiba.

Sejumlah pemuda tampak berkumpul dan tak lama kemudian bersama-sama mengeluarkan kapal dan mendorongnya ke laut. Ada sekitar lima sampai enam orang yang ikut di atas kapal, lengkap dengan bambu-bambu panjang di atas kapal sederhana tersebut.

"Mereka tidak berburu paus, hanya cari ikan seperti biasanya saja," terang bapak Manuel yang pagi itu sibuk membetulkan jaring. "Kalau sudah bulan seperti ini (November) sudah tidak ada paus yang datang," lanjutnya.

Potongan daging ikan paus yang dijemur di pantai Lamalera. (foto: Alex)
Potongan daging ikan paus yang dijemur di pantai Lamalera. (foto: Alex)

Sebagai kampung pemburu paus, tulang belulang paus menghiasi beberapa sudut desa. Bahkan salah satu gerbang di desa terbuat dari tulang paus. Tulang-tulang ikan paus tersusun rapi di hampir tiap sudut rumah.

Beberapa potongan daging kering dari ikan paus tampak dijemur rapi di depan gubuk-gubuk perahu tadi. Beberapa di antaranya seperti jerohan yang masih meneteskan minyak ikan.

Bagi masyarakat Lamalera, paus dipercaya sebagai berkah dari Tuhan. Paus yang berhasil ditangkap dibawa ke pantai dan dibagikan oleh tokoh masyarakat. Sisanya dibelanjakan dan ditukar bahan kebutuhan pokok.

Siang harinya sebelum meninggalkan Lamalera, saya berhenti sejenak di atas bukit gapura selamat datang. Terik. Sepi. Hanya ada suara hembusan angin laut selatan dan awan yang mulai membentuk kumpulan mendung.

Tentunya suasana akan berbeda apabila tiba-tiba terdengar teriakan "baleo... baleo..." tanda kemunculan paus, dan seketika para nelayan Lamalera mengeluarkan paledang, berburu paus dengan penuh suka cita, seperti yang dilakukan leluhur mereka selama ratusan tahun lamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun