"Kita terakhir tangkap (ikan paus) bulan Agustus. Setelah itu tidak ada lagi," kata Pak Ivan, nelayan Lamalera yang sehari-harinya juga berprofesi sebagai pengrajin souvenir dari tulang ikan paus.
Di toko kecil samping rumahnya, Pak Ivan memajang beberapa contoh souvenir hasil kerajinan tangannya. Ada anting, cincin, kalung, dan kerajinan tangan lainnya.
"Mulai bulan Maret sudah tidak ada wisatawan karena corona. Setelah Agustus mulai ada tamu yang datang, tapi hanya dari daerah sekitar sini, bukan wisatawan luar daerah apalagi luar negeri," terangnya.
Baleo dan berkah Tuhan bagi Lamalera
Keesokan paginya saya menuju pantai Lamalera dimana terdapat deretan gubuk tempat meletakkan perahu-perahu pemburu paus. Matahari pagi muncul sempurna dari sisi kiri desa nelayan ini.
Sebuah tempat ibadah sederhana berdiri di antara deretan gubuk perahu tadi. Beberapa lukisan salib dan Yesus terpajang di atas perahu yang diparkir menunggu musim berburu tiba.
Sejumlah pemuda tampak berkumpul dan tak lama kemudian bersama-sama mengeluarkan kapal dan mendorongnya ke laut. Ada sekitar lima sampai enam orang yang ikut di atas kapal, lengkap dengan bambu-bambu panjang di atas kapal sederhana tersebut.
"Mereka tidak berburu paus, hanya cari ikan seperti biasanya saja," terang bapak Manuel yang pagi itu sibuk membetulkan jaring. "Kalau sudah bulan seperti ini (November) sudah tidak ada paus yang datang," lanjutnya.
Sebagai kampung pemburu paus, tulang belulang paus menghiasi beberapa sudut desa. Bahkan salah satu gerbang di desa terbuat dari tulang paus. Tulang-tulang ikan paus tersusun rapi di hampir tiap sudut rumah.