Sejauh ini, kita hanya bisa punya satu asumsi bahwa apoteker tidak dilibatkan sebagaimana mestinya sesuai dengan tupoksi dan tanggung jawabnya menurut praktik kefarmasian. Hal ini bisa kita asumsikan dari pernyataan-pernyataan Ketua IAI.
Pesan-pesan edukatif yang dibangun beliau seperti “Tanya obat, tanya apoteker”, sekali lagi menegaskan bahwa organisasi profesi ini sepertinya belum mendapatkan tempat yang layak dalam arti bahwa peran apoteker belum dimaksimalkan untuk melakukan praktik kefarmasian sesuai konstitusinya terutama di rumah sakit. Jika benar, maka pernyataan Ketua IAI soal “Tanya obat, tanya apoteker” akan kontraproduktif dengan pesan deklarasi pernyataan sebelumnya, “Sampai saat ini belum ada apoteker yang terlibat dalam kasus ini, dan mudah-mudah tidak pernah ada.” Hal ini juga sekaligus menggugurkan pesan deklarasi untuk mendukung integritas apoteker tadi. Sebab, dalam kasus ini tidak ada pembuktian integritas apoteker. Pembuktian integritas apoteker ada jika ada pengujian integritas itu sendiri dalam kasus vaksin tersebut. Sedangkan dalam hal ini, dari pesan edukatif “Tanya obat, tanya apoteker”, sekali lagi saya menyimpulkan bahwa ada kecenderungan kalimat ini disampaikan dikarenakan peran apoteker tidak dilibatkan. Maka, hal ini dengan sendirinya menyampaikan satu kesimpulan dari premis-premis berikut: ketidakhadiran apoteker mengakibatkan tidak adanya pengujian integritas. Tidak adanya pengujian integritas berarti tidak adanya pembuktian integritas.
Saat ini kita belum bisa memastikan apakah jika peran apoteker dilaksanakan secara komprehensif di rumah sakit, apakah akan tetap teguh dengan integritasnya sesuai dengan sumpah profesinya atau justru sebaliknya. Saya tidak akan menggiring pembaca untuk menyangsikan integritas apoteker. Tapi, saya akan mengutip salah satu nasehat dari sahabat diskusi saya, Bapak Syahrir Hannanu, yang mengatakan banyak di antara kita yang dianggap berkompeten justru melanggar integritasnya. Seorang penegak hukum justru tersandung kasus hukum. Seorang wakil rakyat justru mengibulin rakyat. Seorang penggiat norma agama justru melanggar larangan agama.
Masyarakat farmasi mungkin bersyukur akan tidak adanya keterlibatan apoteker dalam kasus vaksin palsu. Namun, dalam kesadaran penuh kita semua tahu bahwa ada kelalaian di dalamnya. Kejahatan bukan hanya karena ada niat dari pelakunya, tetapi juga karena kesempatan. Kelalaian dalam pengawasan dan pemastian mutu sediaan farmasi adalah kesempatan yang mendukung niat pelakunya. Lantas, kelalalain apa atau siapa? Anda yang simpulkan.
Setidaknya, semoga tulisan ini bisa mengingatkan kita kembali akan tanggung jawab dan integritas kita. Wassalam.