[caption id="attachment_88210" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption] Beberapa hari terakhir ini, telinga dan mata kita sedang dibombardir oleh media dengan gejolak politik di kawasan Timur Tengah. Dengan motif yang secara mendasar sama: melawan tirani pemimpin otoriter yang menyengsarakan rakyat, rakyat lalu mengadakan revolusi jalanan. Sejauh ini Tunisia sudah berhasil, dengan jatuhnya Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali yang sudah berkuasa selama lebih dari 23 tahun. Kini pendulum revolusi tersebut sedang mengarah ke Mesir. Negeri ini selama lebih dari 30 tahun terakhir dipimpin oleh seorang Hosni Mobarak, yang sudah banyak diketahui gaya kepemimpinannya pun tidak kalah otoriter. Dari sudut ilmu komunikasi. Pembicaraan lalu bergeser kepada medium perjuangan rakyat. Media baru, khususnya Facebook berperan begitu penting. Di Tunisia, Facebook menjadi tempat diskusi keresahan antar warga, sekaligus jadi medium untuk menyebarkan undangan melawan rezim. Bisa jadi ini sangat benar adanya, karena pemerintah Mesir yang sedang digoyang rakyatnya kemudian memblokir Facebook, Twitter dan bahkan Youtube (Tempo Interaktif, 27 Januari 2011).
Saya kemudian teringat dengan skripsi saya yang lama. Skripsi tersebut sebenarnya ingin bercerita mengenai gerakan sosial di dunia maya (judul tepatnya "Gerakan Sosial dan Media Baru: Studi Kasus Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad di Situs Jejaring Sosial Facebook"). Tapi karena satu dan lain hal, saya terpaksa mengambil judul lain. Agak sedih, tapi mungkin ini demi kebaikan saya sendiri (#curhat).
Fenomena tersebut membenarkan tesis bahwa komunikasi adalah tulang punggung dari demokrasi, karena seluruh proses demokrasi menggunakan komunikasi sebagai alatnya. Begitu pula dengan teknologi komunikasi. Karena itu, di dunia yang mengalami revolusi teknologi komunikasi, segala sesuatu dapat berubah dengan sangat cepat. Fenomena media baru dan keterlibatan politik rakyat lewat perkembangan teknologi dapat dirunut dari pemikiran Everett Rogers (1986) tentang "electronic politics". Model politik ini membuat warga lebih leluasa untuk mengomentari pemerintahan. Sekaligus mampu memfasilitasi komunikasi antar warga untuk berbagi pendapat tentang suatu permasalahan politik. Bahkan tidak hanya warga, para aktor politik pun dapat menggunakan media baru untuk menyuarakan opininya. Sederhananya, semua bebas dan terbuka untuk berkomentar di wilayah media baru. Inilah era baru berpolitik! Merunut ke belakang. Berbicara tentang revolusi rakyat, tentu tidak boleh dilupakan Revolusi Iran 1979 yang sudah jadi monumen abadi. Mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa Revolusi Iran pun sangat bergantung pada adanya teknologi komunikasi. Banyak yang tidak tahu bahwa di balik "perang" antara para mullah melawan Rezim Shah Iran ada perang media. Shah Iran, mirip dengan Soeharto di Indonesia, adalah model pemimpin yang memahami pentingnya mengontrol media. Sehingga media massa ketika itu dikontrol sepenuhnya oleh rezim. Sebaliknya, para mullah yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini menggunakan media-media alternatif, non media-massa. Penggunaan teknologi baru seperti telepon, rekaman tape, dan mesin foto kopi (xerox) menjadi senjata para mullah . Dari ketiga media alternatif itulah, serangan oposisi kepada Rezim Shah pada tahun 1978 berjalan dengan massif . Walhasil, tumbanglah rezim Shah Iran pada April 1979. Peristiwa ini pula sekali lagi sejalan dengan pemikiran Rogers (1986)  yang menyatakan bahwa model komunikasi yang berbasis teknologi dan saluran interpersonal akan efektif untuk menggerakkan massa, walaupun harus berhadapan dengan media mainstream seperti televisi dan media cetak. Kekuatan tersembunyi media baru sederhananya. Jo Freeman dalam On The Origins of Social Movement menyebutkan bahwa salah satu penggerak dari gerakan sosial adalah rangkaian krisis yang mendorong orang-orang untuk terlibat dalam gerakan. Dalam beberapa kasus gerakan sosial, eskalasi krisis lah yang menjadi alasan utama lahirnya sebuah gerakan. Di Tunisia misalnya, eskalasi krisis dimulai oleh aksi bunuh diri pemuda bernama Mohamed Bouazizi. Ketika Tunisia memanas dan berhasil menggulingkan presidennya, momentum inilah yang lalu menginisiasi terjadinya gerakan rakyat di Mesir. Eskalasi krisis yang memuncak inilah yang kemudian harus segera diorganisir. Krisis pada dasarnya hanya akan mempercepat terbentuknya jaringan komunikasi. Setelah itu, individu yang berada di dalamnya tidak boleh dibiarkan bergerak sendiri-sendiri, melainkan harus dihubungkan oleh seseorang yang berpengaruh (atau memiliki wewenang). Seorang organisator ataupun pemimpin dalam sebuah gerakan menempati posisi yang signifikan, mirip posisi Amien Rais pada 1998 atau Ayatullah Khomeini 1979.  Sebagai simbol gerakan, tokoh ini akan membantu mengorganisir massa gerakan kepada suatu tujuan yang telah disepakati bersama: perubahan. Selanjutnya apa? Pada akhirnya, tujuan gerakan berupa terjadinya perubahan itulah yang harus dikejar. Di Mesir hari ini tujuannya sudah jelas: Hosni Mobarak harus mundur. Itulah kenapa meski kabinet sudah dibubarkan dan dipilih Wakil Presiden dan Perdana Menteri, massa belum berhenti bergerak dan menuntut. Dari sisi media, media baru pada dasarnya hanyalah alat untuk menggalang suara. Roem Topatimasang pernah menyatakan bahwa gerakan apa pun yang muncul dari media baru sebenarnya hanyalah cikal bakal gerakan. Di sana yang terkumpul baru sebatas suara, bukan komitmen untuk bergerak bersama. Itu belum cukup. Karena gerakan sebenarnya bukan berada di dunia maya, tapi di dunia nyata, kawan! Terus bergerak, Mesir!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H