Mohon tunggu...
ZULFIAN SYAH
ZULFIAN SYAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Alam Takambang Jadi Guru

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pantaskah Disebut Golput(?)

17 April 2019   09:17 Diperbarui: 17 April 2019   09:33 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, (Rabu, 17 April 2019) merupakan puncak dari "Pesta Demokrasi" bangsa Indonesia. Sebagai wujud langkah awal dari penentuan pemimpin baru bangsa ini untuk lima tahun yang akan datang. 

Hal itu tentunya melalui proses demi proses yang bisa dikatakan tidak singkat dan tanpa tantangan serta hambatan. Beragam kendala menghiasi jalan dan proses agar terlaksananya "Pesta" ini. 

Mudah-mudah hal ini mampu menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang cerdas dan dewasa dalam menyaring informasi serta bijak dalam menentukan pilihan. Sebab hal ini akan berpengaruh setidaknya terhadap kebijakan lima tahun mendatang.

Meski sudah direncanakan sedemikian rupa, namun kendala-demi kendala tetap menghiasi. Salah satunya timbul dari kesempatan untuk memilih. 

Penulis merupakan seorang mahasiswa yang (sebenarnya sudah harus) memiliki hak untuk memilih, namun sedikit terkendala, sehingga tidak bisa menyalurkan haknya dalam "Pesta Demokrasi" saat ini. 

Hal ini berawal ketika penulis tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019 yang bisa dicek melalui situs Lindungi Hak Pilihmu (namun sekarang tidak bisa diakses) ataupun aplikasi KPU RI PEMILU 2019. 

Setelah penulis memasukkan data berupa nama lengkap dan Nomor Induk Kependudukan (NIK), muncul tanggapan berupa "Anda belum terdaftar atau kombinasi NIK dan nama salah".

Dokpri
Dokpri

Dokpri
Dokpri

Alhasil, hal ini membuat langkah penulis terhenti setelah memperjuangkan hak tersebut mulai dari pengurusan Formulir A5 di Kantor Kelurahan serta pelayanan pengurusan yang difasilitasi pihak kampus. Namun, lagi dan lagi karena penulis tidak terdaftar di DPT Pemilu 2019, membuat penulis tidak bisa mengurus Formulir A5.

Ketika penulis mendatangi Kantor Kelurahan Dinoyo, Kecamatan Lowokwaru, Provinsi Jawa Timur 65144, salah seorang pengurus mengatakan bahwa, "Jika Mas tidak terdaftar di DPT, bisa memilih (tetapi harus) di TPS terdekat dari alamat yang tertera pada KTP." 

Hal ini membuat penulis bimbang sebab penulis yang merupakan seorang mahasiswa di salah satu universitas di Kota Malang yang berasal dari Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat 26254. 

Dengan segala pertimbangan, mulai dari waktu dan biaya perjalanan, penulis tidak bisa pulang. Dengan kata lain tidak bisa untuk menyalurkan hak pilih tersebut.

Kira-kira ada berapa warga negara ini yang memiliki kasus yang sama dengan penulis? Maka sebanyak itu pula suara yang tidak bisa disalurkan pada "Pesta Demokrasi" ini. Lalu pantaskah hal ini disebut dengan Golput (???)

Sebenarnya ada alternatif yang terlintas di benak penulis terkait kebijakan untuk menyikapi ha ini. Yakni membuat semacam kebijakan untuk pemilih yang tidak berdomisili di daerah asal dan (kebetulan) tidak terdaftar dalam DPT Pemilu 2019. 

Hal ini berupa pemberian kesempatan pemilihan di TPS terdekat dengan daerah domisili. 

Untuk menghindari kemungkinan mendapatkan kesempatan lebih dari satu kali dengan berbagai macam tipu muslihat, KPU bisa mendata peserta yang berada dalam payung kebijakan tersebut melalui satu situs yang terkoneksi ke segala penjuru negeri. 

Dari situs tersebut, pihak KPU bisa mengecek dan mengetahui apakah yang bersangkutan benar-benar belum atau sudah melakukan pencoblosan. 

Dengan demikian, kecurangan demi kecurangan dapat diminimalisasi serta hak-hak mereka yang sedikit terkendala dapat tersalurkan.

Permasalahan pertama sebenarnya terletak pada pendataan di daerah. Hal ini mengindikasikan bahwa pendataan yang dilakukan kurang cermat dan teliti. Entah bagaimana sistem dan cara yang ditempuh. 

Apa sekedar menggunakan data "lama" atau mendatangi rumah-rumah terkait pendataan warga yang sudah memiliki hak untuk memilih sesuai dengan syarat dan ketentuan. Mendatangi bukan berupa serangan fajar ya. Hahaaa... Jangan sampai nanti setiap salinan KTP dihargai dengan nominal rupiah. Mudah-mudah kasus ini tidak terjadi lagi di masa mendatang.

Bagaimanapun, hari ini penulis hanya bisa berdoa setelah sebelumnya berusaha, mudah-mudahan bangsa ini dipimpin oleh orang baik (Penjabarannya bisa ditulis di komentar; orang baik menurut pembaca dan penulis). 

Dengan demikian, negara ini bisa menjadi semakin baik pula dengan berbagai kebijakan yang memperhatikan segala aspek kehidupan bangsa dan segala lini yang berkaitan dengannya. 

Mudah-mudah tulisan ini bermanfaat serta bisa menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan selanjutnya agar segala kemungkinan yang kurang baik dapat diminimalisasi hingga tidak terjadi lagi di negara ini serta hak-hak warga negara dapat dinikmati oleh warga negara itu sendiri demi terciptanya keselarasan serta keharmonisan dalam kehidupan. 

Mudah-mudahan para pemimpin tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, melainkan memikirkan apa yang diamanahkan kepada mereka. Ingat, saudara adalah wakil rakyat.

Mohon maaf atas segala kesalahan dan terima kasih, Wassalam...

#SudahMemilihTapiTidakBisaMemilih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun