Kata tindak pidana berasal dari terjemahan kata Strafbaar feit, yang menggunakan bahasa Belanda. Tindak pidana adalah perilaku yang melanggar aturan hukum dan dapat dijatuhi ancaman sanksi pidana[1]. Tindak pidana juda dapat dibilang sebagai istilah resmi yang digunakan dalam undang-undang pidana Indonesia, seperti yang tercantum pada Undang-Undang tindak pidana korupsi Nomor 31 Tahun 1999. Istilah lain yang terkadang digunakan berasal dari bahasa latin delictum. Menurut pendapat Andi Hamzam, dalam bukunya Asas-Asas Hukum pidana, delik berarti sesuatu perilaku yang terlarang dan diancam dengan sanksi yang diatur dalam undang-undang pidana[2].
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa tindak pidana berasal dari terjemahan Strafbaar feit, beberapa ahli hukum mengemukakan definisinya yaitu[3]:
- Menurut Pompe, “Strafbaar feit” diartikan sebagai sebuah bentuk melawan norma dan mengganggu tata terbib, baik diperbuat secara sengaja maupun tidak sengaja yang kemudian pelaku dijatuhi sanksi agar terjaminnya kepentingan hukum.
- Menurut Van Hamel, “Strafbaar feit” yaitu perbuatan orang yang diatur dalam perundang-undangan, yang kemudian melanggar hukum dan dapat dipidana jika dikerjakan dengan kesalahan[4].
- Menurut Indiyanto Seno Adji, Tindak pidana adalah perilaku seseorang yang dikenai sanksi pidana, atas perilakunya yang melanggar hukum dan kesalahan pelaku dapat dipertanggung jawabkan.
- Menurut E. Utrecht “Strafbaar feit” dikaitkan dengan kejadian tindak pidana yang biasa disebut delik. Peristiwa tersebut merupakan bentuk perbuatan tidak positif atau melalaikan, serta akibatnya.
- Menurut Moeljatno, tindak pidana adalah sebuah perilaku yang dilarang dan dijatuhi dengan sanksi pidana bagi yang melanggar.
- Menurut Vos, adalah perilaku seseorang yang mana menurut perundang-undangan pidana dikenani sanksi pidana.
- Menurut wirjono prodjodikoro, adalah sebuah perbuatan yang pelakunya dikenai hukuman pidana.
- Tresna, memakai istilah peristiwa pidana yaitu perilaku manusia yang berlawanan dengan undang-undang, terhadap perbuatan mana yang dijatuhi tindakan hukuman.
- Diantara pengertian diatas, yang paling kompleks adalah pengertian dari Simons, yang menyebutkan tindak pidana sebagai berikut: “tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang bertentang dengan hukum diancam dengan pidana oleh undang-undang perbuatan mana yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan dan dapat dipersalahkan terhadapa si pelaku[5].”
- Unsur-unsur Tindak Pidana
- Dalam tindak pidana menganut dua aliran tentang pengertian dan unsur tindak pidana. Aliran yang pertama disebut sebagai pendirian aliran monistis, yaitu berpandangan dalam tindak pidana tercantum perbuatan dan akibat, juga pertanggung jawaban pidana dari kesalahan si pelaku. Dalam aliran monistis telah dipenuhi syarat pemidanaan atau penjatuhan pidana. Sedangkan, aliran kedua disebut dualistis, yaitu memisahkan tindak pidana dari pertanggung jawaban pidana. Kesalahan sebagai titik ukur utama berat ringannya pidana yang diancam meliputi dua hal, yaitu membuktikan kepada perilaku yang tercela atau actus reus, yaitu melawan standar norma masyarakat yang telah dibentuk dalam undang-undang sebagai delik. Pertanggung jawaban pidana atau mens rea, yaitu sikap batin atau perihal tentang mental si pelaku dan diatur menurut nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, serta sebaiknya hal tersebut diperbuat atau tidak diperbuat oleh pelaku, akan tetapi dilanggar[6].
Secara keseluruhan unsur tindak pidana sebagai berikut[7]:
- Unsur Perbuatan Manusia
- Dalam hal ini Van Hamel membagi perilaku manusia menjadi 3 definisi. Pertama, terjadinya kejahatan (tindak pidana), contohnya pengeroyokan, pencurian, pemungutan liar, dan lain-lain. Kedua, perilaku yang didakwakan, contohnya penuntutan terhadap perbuatan yang dikerjakan oleh orang lain atas dasar merugikan lainnya. Ketiga, perbuatan material, yaitu perilaku yang tidak terkait dengan hal yang salah dan terlepas dari akibat.
- Sifat Melanggar Hukum (Wederrechtelijk)
- Dalam ilmu hukum terdapat beberapa defiisi melanggar hukum seperti[8]:
- Menurut Simons, melanggar hukum yang didefinisikan sebagai “bertentangan dengan hukum”, tidak hanya tentang perilaku yang merugikan orang lain secara objektif tetapi juga dalam administrasi dan perdata.
- Menurut Noyon, melanggar hukum berarti “bertentangan dengan hak orang lain secara subjektif”
- Menurut Hoge Raad, dengan kebijakannya melanggar hukum artinya “tanpa kewenangan”
- Menurut Vos, Moeljatno, dan Tim Pengkajian Bidang Hukum pidana (BPHN), memberikan artian berlawana dengan sesuatu yang dibenarkan oleh hukum atau norma masyarakat yang menilai hal tersebut dilarang dilakukan.
Simons menyebutkan unsur-unsur tindak pidana (Strafbaar feit) adalah[9]:
- Perbuatan manusia bersifat melakukan atau membiarkan
- dijatuhi dengan pidana (strafbaar gesfeld)
- Melawan hukum (on reechmatig)
- Dilakukan dengan pelanggaran hukum (met schuld in verband staand)
- Oleh orang dijatuhi hukuman atau pelaku (toerekeningstrafbaar person
Simons juga merumuskan adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari tindak pidana.
- Unsur objektif
- Perilaku seseorang
- Akibat yang terlihat dari perilaku tersebut
- Mengenal peristiwa tertentu yang menyertai, contohnya tercantum dalam Pasal 21 KUHP yang bersifat global
- Unsur Subjektif
- seseorang yang dijatuhi hukuman
- Adanya kesalahan (dollus)
Sementara pendapat Moeijatno, unsur-unsur objektif dan subjektif tindak pidana yaitu:
- Unsur objektif
- Mengenai keadaan di luar si pelaku, contohnya penghasutan orang lain untuk mengerjakan perilaku melawan hukum. Penghasutan inilah kemudian menjadikan berat atau ringannya hukuman pidana yang diberikan.
- Unsur subjektif
- Mengenai diri seseorang yang mengerjakan suatu perbuatan, contohnya ASN yang melakukan tindak pidana diperberat dalam tindak pidana korupsi.
- Perumusan Sanksi Tindak Pidana
- Sebelum mendefinisikan pada tindak pidana atau delik dalam sebuah peraturan perundang-undangan perlu dimengerti sebelumnya tentang bentuk pemidanaan. Secara umum bentuk pemidanaan menganut pada KUHP atau doktrin yang sudah digolongkan bentuk tindak pidananya. Menurut Wirjono Prodjodikoro yang digolongkan delik yang telah dijelaskan dalam kitab undang-undang hukum pidana secara kulitatif, serta memperhatikan kesalahan berbagai kebutuhan yang dinaungi, meliputi kebutuhan oknum atau pribadi, kebutuhan masyarakat, dan kebutuhan negara[10].
- Cara menginterpretasikan delik di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, didalamnya dijelaskan juga kepastian pidana yang mengandung rumusan, serta menyatakan penjatuhan hukuman atas pelanggaran norma yang berisi larangan dan perintah. Mencetuskan kepastian pidana juga harus memperhatikan prinsip secara global tentang kepastian pidana yang tercantum dalam buku 1 KUHP, mengatur perbuatan yang dikenai ancaman pidana menurut peraturan perundang-undangan[11]. Selanjutnya cara menentukan waktu dan tempat dilakukannya tindak pidana, sedikit atau banyaknya akan berpengaruh terhadap jenis, keberlakuan, dan kompetensi penegakan hukum pidana[12].
- Ketika menentukan lama tidaknya hukuman pidana yang diterima oleh pelaku mempertimbangkan mengenai dampak yang diakibatkan dalam masyarakat serta faktor kesalahan pelaku. Hal tersebut diatur dalam bab ketentuan pidana yang terdapat sesudah materi pokok atau letaknya setelah materi pokok. Jika dalam peraturan perundang-undangan tidak terdapat pemisahan per bab, maka ketentuan pidana menganut dalam pasal yang berisi ketentuan peralihan. Rumusan kepastian pidana harus menyebutkan secara norma larangan atau norma perintah yang dilanggar serta menyebutkan pasal yang memuat hal tersebut. Hal-hal yang dihindari dalam perumusannya seperti unsur-unsur dan norma yang dianut tidak sama[13].
Penutup
Tindak pidana adalah perbuata manusia yang melanggar hukum perundang-undangan pidana yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja. Tindak pidana juga biasa disebut dengan delik (pelanggaran hukum). Secara umum unsur-unsur yang terdapat pada tindak pidana ada dua yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku dilihat dari sebab akibatnya. Sedangkan unsur subjektif adalah unsur yang berkaitan dengan pelaku.
Setelah pelaku melakukan tindak pidana maka akan dilakukan perumusan sanksi pidana. Hal ini dilakukan untuk memberikan hukuman atas apa yang dilakukan oleh si pelaku. Dalam perumusannya haruslah menganut peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. jadi tidak boleh dilakukan penjatuhan hukuman pidana menggunakan perasaan manusia, selain itu juga haruslah memperhatikan asas praduga tak bersalah.
- Daftar Pustaka
Fitri Wahyuni. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Tanggerang Selatan: PT. Nusantara Persada Utama, 2017.
Hasanah Mulkam. Buku Ajar Selekta Hukum Pidana. Palembang: Noer Fikri, 2022.
Imron Rosyadi. Hukum Pidana. Surabaya: Revka Prima Media, 2022.
Suhariyono. “Perumusan Sanksi Pidana Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan” 17, no. 1 (2012).
Suyanto. Pengantar Hukum Pidana. Sleman: Deepublish, 2012.
Tofik Yanuar Chandra. Hukum Pidana. Jakarta: PT. Sangir Multi Usaha, 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H