Mohon tunggu...
Zulfa Widowati
Zulfa Widowati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa yang sedang berpikir

Man Jadda Wa Jadda

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Diskusi Kecil Berbuah Berita

21 Juli 2021   17:36 Diperbarui: 21 Juli 2021   17:51 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DISKUSI KECIL BERBUAH BERITA

Oleh: Zulfa Nur Widowati

Pemimpin redaksi Radar Madiun, Tommy Cahyo Gutomo mengadakan diskusi kecil  setelah pembekalan dasar jurnalis yang diberikan sekretaris Redaksi untuk calon-calon wartawan.  

Dimulai dengan pertanyaan materi apa saja yang sudah didapatkan oleh calon wartawan setelah pembekalan. Tak hanya itu, banyak pertanyaan-pertanyaan yang diberikan seputar permasalahan dunia pers seperti peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi di Indonesia dan bagaimana problem solvingnya tersendiri. Lalu, sempat bertanya kepada calon wartawan perihal apakah tulisan yang ada di media online bisa dikatakan berita seperti media cetak?

“Tergantung. Bisa dikatakan sebuah berita ketika iya memiliki struktur 5W+1H seperti media cetak. Namun, ketika sebuah tulisan yang beredar di media sosial tidak memiliki struktur 5W+1H tidak bisa disebut berita. 

Berita di media online yang beredar pun terkadang tidak se faktual berita media cetak. Banyak berita hoax yang terjadi di media sosial, tutur salah satu calon wartawan.

Hoax merupakan kepalsuan yang sengaja dibuat yang tidak sengaja sebagai kebenaran. Kepalsuan tersebut umumnya menggunakan data, foto, dan kutipan orang sehingga dianggap orang yang membacanya sebagai sebuah kebenaran. Berita hoax biasanya diciptakan oleh orang pintar tapi jahat dan disebarluaskan oleh orang baik tapi bodoh.

Di sisi lain, ketika mendiskusikan topik perihal 10 tahun yang akan datang yang ditakutkan ketika wabah corona masih merajalela dan ppkm darurat terus dilakukan di Indonesia memiliki jawaban yang sangat bervariasi dari calon para wartawan. 

Dimulai dari Sosialisasi antar warga masyarakat yang berkurang ditambah anak-anak usia dini yang kurang pengenalan sopan santun terhadap lingkungan sekitar karena efek jarang bersosialisasi. 

Selain itu, kualitas pendidikan yang menurun terhadap anak-anak karena pembelajaran hanya via daring saja yang tentunya memiliki keterbatasan khususnya bagi kembang tumbuh maupun psikologi anak sekolah. 

Para guru pun harun memiliki konsep pembelajaran daring yang menarik sehingga anak sekolah tidak bosan dan paham saat pembelajaran daring berlangsung.

Sama halnya seperti yang dirasakan oleh Ula, calon wartawan asal IAIN Ponorogo yang pernah melakukan liputan tentang kondisi pendidikan yang sangat miris di Kecamatan Badegan, Desa Curangsempu Dusun Ogal Agil. 

Pasalnya, untuk mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) Paralel harus melalui jalan setapak dan jarak yang cukup jauh dari permukiman sekitar 4 kilo meter untuk tempat pembelajaran kelas 1,2, dan 3. 

Untuk tempat pembelajaran kelas 4,5, dan 6 memiliki jarak tempuh 6 kilometer turun gunung. Guru-guru yang mengajar pun bukan ASN (Asisten Sipil Negara) melainkan honorer dengan gaji yang tak seberapa. Seperti kata guru-guru di sana, Guru itu kewajiban bukan pekerjaan.

Ada juga Risma, calon wartawan asal UNAIR yang menceritakan pengalaman liputannya perihal permasalahan perbedaan fasilitas yang ada di kampus Universitas Airlangga (UNAIR) utama dengan kampus Universitas Airlangga (UNAIR) PSDKU (Program Studi Di Luar Kampus Utama). Program PSDKU ini merupakan bagian kampus Universitas Airlangga (UNAIR) yang menyelenggarakan pendidikan sarjana di Banyuwangi, Gresik dan Lamongan. 

Terdapat empat program studi (prodi) di sana, S1 Akutansi, S1Kedokteran Hewan, S1 Kesehatan Masyarakat, S1 Budidaya Perairan. Namun, kapasitas mahasiswa paling banyak berada di Kampus PSDKU Banyuwangi. Beberapa kali kerap mendengar keluh kesah mahasiswa di sana perihal fasilitas yang kurang memadai tidak seperti kampus utama.

Keresahan mahasiswa tersebut sudah di inisiasi oleh Ketua PSDKU namun tidak mendapat respon dari rektorat. Alhasil, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kentingan pun turun tangan mengadakan jejak pendapat melalui kuisioner tentang sarana prasarana kampus via daring kepada mahasiswa kampus PSDKU Banyuwangi, Gresik, dan Lamongan. 

Hasilnya pun banyak yang mengeluhkan perihal sarana prasarana kampus PSDKU yang kurang memadai. Lalu, hasil tersebut disampaikan ke direktur PSDKU Banyuwangi, Gresik, dan Lamongan serta ke wakil direktur lalu dikomparasi dengan berbagai bukti dari beberapa mahasiswa. 

Beberapa waktu kemudian, wakil rektor memanggil salah satu anggota lembaga pers mahasiswa Mercusuar, Risma untuk membahas mengenai persoalan tersebut.

“Kamu ini masih di bawah naungan kampus, kamu dapat anggaran juga dari kampus, hanya karena begitu mau membeberkan masalah kampus,”imbuh wakil rektor.

Beliau menyampaikan kepada lembaga pers mahasiswa (lpm) Mercusuar untuk diam karena bukan ranah mahasiswa pers ikut campur atas masalah tersebut.

Dari berbagai keluhan mahasiswa di luar kampus utama menjadi pengingat bahwa masih ada hak-hak mahasiswa yang harus dipenuhi. Pemerataan fasilias sarana dan prasarana seharusnya dilakukan untuk kebutuhan mahasiswa baik mahasiswa kampus utama ataupun PSDKU.

Risma pun juga menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh pemimpin redaksi tentang topik demo yang terjadi dua kali yaitu demo RKUHP dan Omnibus Law. Lalu, Omnibus Law sendiri dijelaskan oleh Elit, calon wartawan asal UNESA.

“Omnibus Law merupakan sebuah konsep pembentukan undnag-undang utama untuk mengatur masalah yang sebelumnya diatur sejumlah UU atau satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU,” tutur Elit.

Dari diskusi seputar pertanyaan topik di atas itu dapat menjadi bahan untuk menulis berita dengan menggali info lebih dari narasumber lebih rinci. Dari kita saling bertanya lalu menjawab itu sudah termasuk wawancara karena wawancara yang baik itu adalah mengobrol satu sama lain bukan dengan merekam kecuali mewawancarai presiden. 

Kegiatan merekam dapat membekukan otak kita sehingga hanya berpatok pada isi rekam tersebut yang nyatanya hanya 30 persen yang masuk keitimbang mendengarakan baik-baik secara langsung dan mencatatnya. 

Gunakanlah otak kita saat membuat berita tanpa harus mengandalakan alat perekam karena otak kita memorinya tidak terbatas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun