Ketika AI Menggantikan Peran Manusia, Efektifkah?
Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI), komunikasi krisis telah memasuki era baru. Di masa lalu, komunikasi krisis selalu menjadi domain manusia, terutama oleh juru bicara terlatih yang mampu merespons dengan cepat . Namun, dengan munculnya chatbot berbasis AI seperti ChatGPT, pertanyaan mendasar muncul: Bisakah teknologi ini menggantikan manusia dalam peran krusial seperti komunikasi krisis? Penelitian oleh Yi Xiao dan Shubin Yu (2024), yang diterbitkan dalam International Journal of Information Management, mencoba menjawab pertanyaan ini. Studi ini menunjukkan bahwa chatbot AI mampu memberikan informasi instruksional selama krisis dengan cepat dan efektif, yang menghasilkan tingkat kepuasan tinggi di antara para pemangku kepentingan.
Dalam eksperimen yang melibatkan 399 partisipan, chatbot menunjukkan kompetensi yang diakui oleh publik, terutama dalam menyampaikan informasi yang jelas dan terstruktur (Xiao & Yu, 2024). Namun, saat situasi krisis memerlukan pendekatan emosional dan empatik, agen manusia tetap lebih unggul, terutama dalam memberikan dukungan psikologis yang lebih mendalam kepada korban krisis. Meskipun AI mampu memproses data lebih cepat dan tanpa lelah, manusia masih menjadi kunci dalam situasi krisis yang memerlukan interaksi emosional.
Dengan demikian, artikel ini membuka diskusi penting tentang bagaimana teknologi dapat dan tidak dapat menggantikan peran manusia dalam situasi kritis. Meskipun data menunjukkan bahwa chatbot efektif dalam mengurangi atribusi tanggung jawab dan meningkatkan kepuasan (rata-rata skor kompetensi chatbot adalah 3,84 dari 5), kita tidak boleh melupakan kebutuhan akan respons empatik yang hanya bisa diberikan oleh manusia.
Dalam konteks komunikasi krisis, kecepatan dan ketepatan penyampaian informasi sangat penting. Penelitian Xiao dan Yu (2024) menemukan bahwa chatbot AI, khususnya ChatGPT, unggul dalam memberikan instruksi selama krisis. Dalam eksperimen pertama mereka, chatbot yang memberikan informasi instruksional menghasilkan tingkat kepuasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan agen manusia, terutama ketika permintaan krisis tidak dapat diselesaikan. Hasil ini diperoleh dari partisipan yang secara konsisten menilai chatbot lebih kompeten dalam memberikan informasi instruksional dengan skor rata-rata 3,84 dari 5, dibandingkan agen manusia yang hanya memperoleh 3,68 (Xiao & Yu, 2024). Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa chatbot tidak memiliki keterbatasan manusia, seperti kelelahan atau bias emosi, sehingga mampu memberikan informasi yang konsisten.
Namun, tantangan muncul ketika chatbot harus berperan dalam situasi yang memerlukan empati. Berdasarkan temuan penelitian tersebut, chatbot yang menyampaikan informasi "adjusting" atau emosional, hanya menunjukkan keunggulan ketika permintaan pemangku kepentingan terpenuhi. Dalam kondisi ini, chatbot yang "berempati" terlihat mampu meningkatkan persepsi kepuasan karena ekspektasi publik terhadap kompetensi chatbot relatif rendah (sekitar 5,58 dari 7, saat chatbot dianggap berhasil menangani situasi). Namun, dalam situasi di mana permintaan tidak terpenuhi, chatbot gagal meniru respons empati manusia. Ini menunjukkan bahwa meskipun chatbot dapat menangani krisis secara teknis, mereka masih kekurangan dalam hal interaksi yang membutuhkan emosi.
Penelitian ini mengusulkan bahwa strategi optimal dalam komunikasi krisis adalah mengintegrasikan chatbot dengan agen manusia. Dalam eksperimen kedua yang melibatkan 189 partisipan, chatbot dengan tingkat kompetensi rendah lebih cenderung memperburuk situasi, terutama dalam memberikan informasi emosional (Xiao & Yu, 2024). Dalam situasi di mana empati sangat penting, chatbot hanya efektif ketika permintaan terpenuhi. Oleh karena itu, respons manusia tetap diperlukan untuk memberikan konteks emosional dan dukungan psikologis yang tidak dapat diberikan oleh chatbot secara otentik.
Sebagai contoh, selama pandemi COVID-19, banyak organisasi menggunakan chatbot untuk memberikan informasi dasar, namun tetap menggunakan staf manusia untuk menangani interaksi emosional yang lebih kompleks. Berdasarkan penelitian ini, sekitar 61% partisipan lebih puas dengan chatbot dalam situasi krisis yang memerlukan informasi langsung, tetapi hanya 42% yang merasa puas saat chatbot mencoba memberikan dukungan emosional. Oleh karena itu, ada kebutuhan mendesak bagi organisasi untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan chatbot dalam strategi komunikasi krisis mereka.
Oleh karena itu, penelitian oleh Yi Xiao dan Shubin Yu (2024) telah memberikan wawasan berharga tentang penggunaan AI dalam komunikasi krisis. Chatbot, seperti ChatGPT, terbukti unggul dalam memberikan informasi instruksional yang cepat dan efisien, meningkatkan kepuasan pemangku kepentingan hingga 61% dalam situasi tertentu. Namun, mereka masih tertinggal dalam hal memberikan dukungan emosional yang autentik, dengan hanya 42% partisipan yang puas. Maka dari itu, organisasi perlu memikirkan dengan hati-hati kapan harus menggunakan chatbot dan kapan harus melibatkan agen manusia.
Inti dari penelitian ini adalah bahwa chatbot dapat memainkan peran penting dalam komunikasi krisis, tetapi mereka sebaiknya digunakan sebagai alat pendukung daripada pengganti penuh. Integrasi yang seimbang antara kecerdasan buatan dan empati manusia akan menjadi kunci dalam menjaga kepercayaan dan reputasi organisasi selama masa krisis. Ke depan, pengembangan chatbot yang lebih "manusiawi" tetap menjadi tantangan yang harus dihadapi.
Referensi:
Xiao, Y., & Yu, S. (2024). Can ChatGPT replace humans in crisis communication? The effects of AI-mediated crisis communication on stakeholder satisfaction and responsibility attribution. International Journal of Information Management, 80, 102835. https://doi.org/10.1016/j.ijinfomgt.2024.102835
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H