Mohon tunggu...
Zulfata Alghazali
Zulfata Alghazali Mohon Tunggu... -

"Kehidupan adalah pengetahuan"

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Aceh Serba Syariat

11 Oktober 2014   03:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:31 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Aceh Serba Syari’at

Perbincangan terhadap persoalan syari’at Islam selalu menyusupi sejarah daerah Aceh, sehingga  Aceh dikenal dengan sebutan daerah Seramo Mekah. namun dibalik itu semua masih banyak tersimpan sejuta tanda tanya mengenai seperti apakah masyarakat Aceh yang bersyari’at Islam tersebut? Tidak hanya dari kalangan masyarakat yang menuntut untuk diterapkannya hukum syari’at namun para birokrat-birokratpun sangat antusias untuk menerapkanya dalam kehidupan bersosial sehingga hukum-hukum syari’at islam terjewantahkan dalam bentuk qanun-qanun seperti Qanun Pendidikan, Qanun Jinayah,Qanun Ketenaga Kerjaan, Qanun Bank Syari’at, Qanun Pajak, Qanun Pengelolaan Keuangan Aceh dan Qanun Syari’at Islam yang disahkan (26/9/2014).

Alangkah gembiranya jika semua qanun-qanun yang subtansinya bersyari’ah ini dapat teraplikasikan dan mengkristal di dalam tubuh masyarakat sehingga terciptanya karakter masyarkat yang bersyari’ah. Ulasan ini sangat menarik jika hikmah dari syari’at islam tersebut dapat dihindari dari perilaku simbolik saja tanpa memaknai makna yang sebenarnya. Faktanya, apakah masyarakat Aceh secara umum benar bersyari’ah, Apakah Masyarakat Aceh paham memaknai subtansi syari’ah? Atau masyarakat  yang hanya berlebelkan syari’ah, jawaban- jawaban ini semua hanya pembacalah yang berhak memberi penilaian berdasarkan persepsi dan pengalaman pembaca sendiri.

Sejatinya syari’at secara Etimologi berasal dari bahasa Arab yang artinya “jalan” dan terminologi dari syari’at islam adalah konsep perilaku yang mengandung ibadah menuju keridhaan Allah swt. seorang Ulama kotemporer yang berasal dari Maroko dikenal dengan sebutan Anna’im menjelaskan bahwa syari’at islam memiliki tujuan (maqasyid syari’ah) yang terdiri dari lima unsur pokok, yang terdiri dari:

Pertama: Terpeliharanya agama Islam, konsep syari’at islam mampu menciptakan manusia yang menjaga kemaslahatan dan kelestarian agama Islam yang dipeluk oleh pemeluknya yang disebut sebagai muslim, artinya kaum muslim harus cerdas dalam memprediksi, menganalisa, serta memberi solusi untuk menjaga kesucian agama Islam dari tantangan yang dihadapi. Tantangan tersebut datang dari semua lini kehidupan yang diciptakan oleh manusia, baik itu tantangan yang bersifat tersurat maupun yang tersirat. Dan yang paling sulit dihadapi adalah tantangan yang berasal dari simbul-simbul bahasa agama Islam yang disalah pahami oleh kaum muslim bahkan rentan terjadi, seperti hal yang mengenai persoalan furu’iah, syi’ar dan ria, salafi dan khalafi, surga dan dunia, mazhab, sekte, pluralime, tafsir dan pemahaman individual serta sikap prematur dalam menetapkan kategori kafir. Semua persoalan ini tanpa disadari, manusialah yang menciptakan persoalan tersebut, karena manusia tidak dapat diukur secara kuantitatif atau manusia memiliki sifat yang khas, artinya manusia hanya dapat dipahami melalui simbul-simbul yang diinterpretasikannya melaui akhlak, ideologi, karakter, budaya dan sebagainya, dengan itu syari’at islam itu dikaitkan untuk menjaga kemaslahatan agama Islam di alam raya ini.

Kedua: Terpeliharanya akal, dalam artian bahwa dengan adanya syari’at islam dapat memacu kreatifitas daya berfikir manusia dalam menjalani aktivitas sosial, tidak terhenti dari situ, penafsiran tentang akal dalam hal ini juga memiliki makna bahwa manusia diberikan kebebasan mengemukakan pendapat serta  pengembangan keilmuannya.

Ketiga: Terpeliharnya jiwa, mengandung makna bahwa syari’at islam sangat serius untuk membina dan menjaga kebersihan jiwa manusia sehingga dalam menjaga jiwa tersebut manusia sangat berhati-hati terhadap apa yang ia lakukan dalam menjalani aktivitas sosial termasuk menjaga pola bicara dan bertingkah laku yang santun, mawas diri dari yang haram dan riba, dan yang pastinya akan menhindari dari segala perbuatan maksiat yang menyamar dalam bentuk persoalan-persoalan yang dihapi manusia.

Keempat: Terpeliharanya nasab (keturunan), hal ini ingin menjelaskan bahwa syari’at islam sangat peduli mengenai kelestarian dan kemaslahatan anak manusia di permukaan bumi ini, sehingga memberi konsep tentang pengaturan terhadap garis keturunan manusia serta mengatur segala kebijakan-kebijakan tentang diskriminasi terhadap persoalan yang tidak memiliki rasa perikemanusiaan, seperti membunuh, memperkosa dan lain sebagainya, sehingga garis-garis keuturunan masing-masing kelompok umat manusia ini tertata dengan rapi dan indah.

Kelima: Terpeliharanya harta kekayaan, maksudnya adalah hadirnya syari’at islam ini memberikan konsep pengaturan tentang pengelolaan tentang harta generasi adam di permukaan bumi, pengeturan tersebut berbicara mengenai bagaimana aturan pembagian harta kepada sesama manusia yang masih hidup, pembagian harta kepada manusia yang ditinggal melalui warisan, serta memberikan aturan yang jelas dalam hal berbisnis ataupun sistem laba dan rugi yang penuh dengan kebaikan dari semua pihak yang menjalaninya.

Dari pemaparan lima hal yang sangat urgen terhadap konsep syari’at yang dijabarkan tersebut sangat menarik jika dihubungkan dengan pola dan perkembangan syari’at islam yang dihadapi maupun yang belum dihadapi, artinya ingin menjelaskan bahwa subtansi dari syari’at islam tersebut pada dasarnya sudah menjadi kebutuhan primer bagi umat manusia.

Syari’at yang disimbolkan

Sangat menyedihakan memahami dan melihat realita perkembangan penerapan syari’at islam yang belum menemukan strategi yang jitu untuk dipahami oleh seluruh masyarakat Aceh, hal ini didukung oleh keseriusan para petugas mewakili masyarakat yang bertugas tersebut tidak berwawasan luas terhadap subtansi dari hukum syari’at islam tersebut. seolah-olah syari’at islam di Aceh hanya terpusat pada persoalan pakaian ketat, judi dan cenderung pemberlakuannya hanya kepada masyarakat kelas menengah kebawah, padahal kerusakan etika dan moral para golongan elit birokrasi Aceh jauh lebih besar berpeluang bahkan melanggar langsung mengenai hukum yang direfleksikan oleh syari’at islam, seperti aset atau tempat yang terindikasi perbuatan maksiat difasilitasi oleh para elit birokrat, dan seakan-akan isu-isu koropsipun luput dari penerapan syari’at islam tersebut.

Fakta sosiogis ini memberi pesan kepada kita bahwa betapa sempitnya wawasan tentang syari’at islam, yang sejtinya syari’at islam mengandung unsur solusi yang dihadapi oleh umat manusia termasuk solusi untuk membrantas para koruptor yang meninggalkan bom waktu kepada generasi Aceh di masa yang akan datang dan yang harus digaris bahwahi adalah pengaplikasian hukum syari’at ini bersifat win-win solusion sehingga hukum ini selalu dinamis mengiringi kehidupan umat manusia.

Harapan-harapan para cendikiawan dan tokoh-tokoh masyarakat Aceh untuk menjadikan sikap yang bersyari’at menjadi karakter masyarakat Aceh masih jauh panggang dari api, selama penerapan syari’at islam dimainkan oleh manusia-manusia yang “disyari’atkan” yang memiliki mental apologis yang tinggi dalam melakukan penerapan yang sesuai dengan tujuan syari’at islam (maqasyid syaria’ah) tersebut. walaupun semangat stage holder di Aceh masih memiliki semangat untuk menciptakan penerapan syari’at islam yang tidak terjebak dengan simbul-simbul sakral syari’at yang sempit dengan berpegang teguh pada kalimat bahwa Aceh membutuhkan waktu yang lama untuk mengaplikasikan hukum syari’at islam secara kredibel dan profesional.

Butuh waktu sampai kapan?

Waktu sangat penting bagi stage holder Aceh dalam mengefesiensikan penerapan syari’at islam agar hukum syari’at tersebut tidak hanya terhenti dalam lembaran-lembaran Qanun saja. Artinya keseriusan menangani waktu dapat dilihat dari proses perencanaan terhadap pemberlakuan syari’at islam dengan matang serta  sikap kreasi dan inovasi dalam melibatkan semua lembaga di Aceh secara interkoneksi maka keefektifan waktu tersebut akan dapat dicapai.

Pengaturan waktu atau frame (kerangaka) program yang tidak terarah dapat mengakibatkan pemborosan anggaran, pada dasarnya setiap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwewenang tidak jarang bahwa kucuran dana tersebut sangat besar jika dibandingkan dari sisi pendapatan masyarkat. Ketika keseriusan tranparansi mengenai gambaran waktu yang dibutuhkan untuk rencana straetgis penerapan syari’at islam ini dapat memacu sikap kepedulian rakyat untuk membantu sekaligus mengontrol para petugas dalam membuat kebijakan tentang syari’at tanpa unsur pemborosan anggaran dengan modus pemberlakuan syari’at islam yang tiada berujung dan tiada sasaran yang jitu.

Jika hal ini tidak dilakukan, maka jangan heran untuk tahap selanjutnya syari’at islam yang salah kaprah akan menjadi bahan bakar pemicu konflik internal di tengah msyarakat Aceh sehingga faktor-faktor tersebut harus diwaspadai. Dibalik persoalan ini semua dapat memberi pelajaran bagi semua elemen masyarakat Aceh bahwa betapa luasnya pemaknaan Islam yang diberkahi Allah Swt kepada umat nabi muhammad saw sehingga hukum Islam dapat selalu menyinari bentuk kehidupan-kehidupan yang selalu dinamis dalam perubahannya, seiring dengan itu hukum syari’at islam di Aceh bukan hanya sekedar hukum formal yang kaku yang hanya melirik dari sisi-sisi materil semata, namun hukum syari’at islam mencakupi semua dimensi pengetahuan yang ada, seperti hukum, tauhid, tasawuf, siyasah, muamalah, munakahat, jinayah serta pengembangan informasi dan teknologi yang perkembangannya sangat pesat.

Wacana-wacana yang disampaikan di atas jika diaplikasikan dalam aktivitas sosial dapat mengembalikan citra Aceh sebagai daerah Serambi Mekah tidak lagi sebagai simbol apologis bagi masyarakat, namun sudah mendarah daging bagi semua lapisan masyarakat Aceh dan senantiasa menciptakan masyarakat yang benar-benar memaknai bagaimana yang sebenarnya mental daerah Serambi Mekah tersebut dan secara tidak langsung menciptakan suasana kondusif untuk peradaban Aceh pada masa yang akan datang.

Oleh

Zulfata, Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan filsafat UIN Ar-Raniry, aktif sebagai pengurus Sekolah Anti Korupsi Aceh. ( hp. 085297440856 – email: fatazul@gamil.com )

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun