Langit Ibaraki pagi itu hening. Di tengah kawasan perumahan yang tengah terlelap, Daryl menggoes sepedanya melewati sungai dan hamparan pohon. Mendekati tempat tujuan, ia mulai melihat kerumunan orang di depan bangunan sederhana dengan papan nama bertuliskan, "Masjid Al-Ikhlas Kandatsu".
Pada bagian bawahnya tertoreh kaligrafi bahasa Arab berbunyi "Wa aqīmus shalāta wa ātuz zakāta warka'ū ma'ar rāki'īna (Laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku')".
Di depan bangunan masjid itu juga sudah digelar sajadah untuk warga Muslim di wilayah Ibaraki menunaikan ibadah salat Idulfitri pada Sabtu (22/04) tahun 2023 silam.
Daryl Aziz Alifio, akrab disapa Daryl, merupakan alumnus Fakultas Pertanian (Faperta) Universitas Padjadjaran (Unpad) yang kini tengah bekerja di Jepang. Ia mengenang pengalamannya ketika merayakan Idulfitri di Ibaraki tahun lalu dan membandingkannya dengan perayaan di Tokyo tahun ini. Meskipun sama-sama berlokasi di Jepang, suasana lebaran yang dirasakan berbeda jauh.
Ibaraki berjarak 2 jam perjalanan dari Tokyo. Sebagai prefektur yang dekat dengan kota besar, Ibaraki identik dengan kawasan pedesaan dan pemandangan yang memanjakan mata, terutama ketika musim semi. Berbeda dengan tokyo yang langitnya dihiasi gedung-gedung dan bangunan pencakar langit, langit Ibaraki lebih tenang.
Menurut Daryl sebab itu lah Idulfiti di Ibaraki tahun kemarin tidak memberikan euforia yang sama seperti di Tokyo tahun ini.
"Kalau di Tokyo kemarin, pas kita nyampe stasiun terdekat banyak banget orang Indonesia yang kumpul. Nah, kalau kemarin di Ibaraki ramenya cuma pas di deket masjidnya aja," tutur Daryl.
Idulfitri di Indonesia berarti gaung takbir yang menggetarkan langit malam dan fajar dari segala penjuru mata angin, dari toa surau hingga masjid bertingkat. Namun, di Jepang tidak ditemukan nuansa yang sama.
"Kalau pun pakai toa nggak akan mungkin bakal kedengeran sampe ke luar, sampai mengganggu publik, sih. Soalnya kan samping-sampingnya itu perumahan ya, ada apartemen, ada rumah. Kita tetap harus menjalankan syariat, tapi tetap harus moderat, being considerate ke sekitarnya," cerita Ismi Fakhriya, mahasiswa Indonesia yang saat ini menempuh pendidikan S2 di Graduate School of Agriculture and Life Science, Universitas Tokyo.
War Tiket Salat Id dan Halal Bihalal di Rumah Dubes
Jepang merupakan negara dengan komunitas Muslim yang minoritas, yakni berada di kisaran angka 200.000 orang dari 120 juta penduduk (BBC News Indonesia, 2024). Jika di Indonesia jemaah salat Id dapat melaksanakan ibadah sampai menggelar sajadah dan terpal ke sepanjang jalan di luar masjid, di Jepang hal tersebut tidak mungkin dilakukan.
Oleh karena itu, masjid-masjid di Jepang menerapkan sistem pembagian jemaah per kloter agar tetap bisa menjalankan ibadah Idulfitri tanpa mengganggu kenyamanan publik.
"Kalau tahun kemarin itu aku lebarannya di daerah Ibaraki. Kalau di Ibaraki bisa dibilang nggak serame di Tokyo, cuma kayak melingkup 3 wilayah gitu, Ibaraki, Mito, Tsukuba. Semua jadi satu di sana," papar Daryl.
Karena bangunan masjid yang tidak dapat menampung semua jemaah salat Id, jemaah dibagi menjadi 2 kloter.
Berbeda dengan di Tokyo, terutama di Masjid Indonesia-Tokyo (MIT), Meguro, jemaah yang mendaftar untuk melaksanakan salat Id menyentuh angka 3.500 sehingga harus dibagi menjadi 4 kloter. Kloter pertama dimulai pukul 7.00, kloter kedua dimulai satu jam setelahnya, begitu seterusnya hingga ditutup dengan kloter terakhir di pukul 10.00 pagi.
Akan tetapi, pembagian kloter itu tidak didapatkan oleh jemaah secara cuma-cuma. Ada usaha yang harus dilakukan, yakni war tiket salat Id.
Jemaah harus mengunjungi media sosial KBRI Tokyo, mengakses tautan yang disediakan oleh pihak KBRI, dan memilih urutan kloter yang diinginkan. Kemudian, sesampainya di lokasi jemaah harus mengantri dengan tertib untuk memasuki area ibadah.
"Meski di Tokyo tuh udah Muslim-friendly ya, udah banyak masjid dan lain-lain, cuma tetep aja di sini ada prosedurnya tersendiri," ujar Ismi.
Untuk mendukung suasana hari raya, masjid-masjid juga biasanya menyajikan makanan dan minuman yang dapat dinikmati oleh jemaah secara gratis.
Tahun ini Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tokyo mengadakan acara open house bertajuk Silaturahmi Idulfitri 1445 H untuk warga Muslim Indonesia yang menetap di Tokyo dan sekitarnya.
Ismi yang juga mengambil peran menjadi panitia acara silaturahmi mengungkapkan bahwa Idulfitri di Jepang tahun ini sangat berkesan. Saat itu alam seolah-olah sedang ikut merayakan kebahagiaan umat Muslim di Jepang dengan merekahnya bunga sakura di banyak titik.
Bahkan, jejeran pohon sakura yang menari karena tertiup angin juga mengiringi langkah para jemaah yang berjalan dari masjid menuju KBRI setelah menuntaskan ibadah salat Id-nya.
Sama halnya dengan salat Id, peserta acara silaturahmi dibagi menjadi 4 gelombang, dimulai dari pukul 08.30 sampai dengan 11.30, dan harus melakukan registrasi terlebih dahulu. Melalui acara ini KBRI Tokyo memberikan ruang bagi warga Muslim Indonesia untuk bercengkerama dengan satu sama lain di hari Idulfitri dan bertemu-sapa dengan Dubes RI.
Ismi sambil tersenyum menambahkan, "Walaupun jauh dari tanah air, bisa ketemu sama orang Indonesia dan dapat makan gratis juga. Vibes lebarannya dapet gitu."
Lebaran Sunyi di Hokkaido dan Belajar Salat Id Mandiri
Tokyo yang ramai akan komunitas Muslim dan restoran makanan khas Nusantara setidaknya dapat mengobati rasa rindu Warga Negara Indonesia (WNI) dan diaspora Indonesia akan suasana Idulfitri di tanah air.
Namun, tidak dengan Shaharani atau akrab disapa Shaha, mahasiswa Indonesia yang melanjutkan college di Hokkaido bagian Utara.
Tahun ini merupakan tahun keduanya merayakan Idulfitri di Jepang. Tahun lalu ia berkesempatan merayakan di Tokyo, tetapi tahun ini ia harus mencicipi hampanya merayakan Idulfitri seorang diri tanpa keluarga, teman, dan komunitas.
Ibukota Hokkaido, yakni Sapporo menjadi rumah bagi komunitas Muslim dan banyak Muslim Indonesia. Sayangnya, Shaha menetap di kota Asahikawa yang berjarak 3 jam dari Sapporo dengan menggunakan kereta.
"Sebenarnya nggak masalah, ya, itu kayak Jakarta-Bogor, cuma ongkosnya aja itu pulang-pergi 600 ribu rupiah. Makanya aku nggak pergi ke sana," ungkap Shaha, tersenyum pahit.
Shaha melewati hari lebaran dengan rutinitas biasa, tanpa gema takbir di waktu fajar yang menjadi pertanda hari raya telah tiba, opor ayam, atau tradisi bersalam-salaman dengan keluarga. Rutinitas Shaha dimulai dengan bangun tidur, salat, belajar, kemudian berangkat sekolah. Shaha tidak sempat menyiapkan makanan untuk merayakan lebaran atau melakukan hal spesial apa pun.
Namun, Shaha tetap berusaha untuk menunaikan ibadah salat Id meski seorang diri. Ia mengandalkan bantuan Google untuk belajar tata cara salat Id mandiri.
"Ya Allah, sedih banget," lontar Shaha seraya tertawa. "Sedih karena itu (lebaran) kan suatu perayaan yang besar ya, tapi aku ga merayakan sama sekali. Menjalankan hari seperti biasanya. Malah lebih fokus belajar, lebih fokus ujian, padahal kan di hari raya banyak keberkahan yang ada gitu. Lebih ke sedih sih karena ga ada teman, jadi benar hari raya tuh emang butuh teman, butuh keluarga, butuh orang lain lah gitu."
Harapan Shaha, tahun depan ia bisa merayakan Idulfitri di Sapporo agar tidak perlu menjalani lebaran sunyi seorang diri seperti tahun ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H