Ita menyaksikan dari balik dinding, darah mengalir dengan hening dari leher yang menganga. Ita tidak tahu dendam apa yang majikannya simpan... rahasia apa yang majikannya sembunyikan. Ita memilih diam. Abdi yang setia tidak pernah melawan.
*
Aneh. Ita berdiri lagi di tempat yang sama. Di depan panggung. Menjadi saksi. Hanya saja, Bona tidak ada di atas sana. Yang ada adalah kepala dengan rambut hitam panjang menjuntai. Sebilah pedang diletakkan di atas lehernya. Menunggu pengadilan.
"Kesempatan terakhir untuk membela diri, penyihir," perintah suara serak dari seorang pria tua. Ita tahu, itu ayah si wanita cantik yang menuntut haknya. Namun, Sabiha hanya tersenyum simpul. Matanya berpapasan dengan mata Ita.
"Gadis itu... pelayanku... akan bersaksi untukku."
Semua orang menatap Ita. Tangannya basah. Gemetar. Pupil mata gadis kecil itu bergerak ke sana kemari. Perasaan asing yang tak pernah ia miliki sebelumnya. Tapi, apa ini? Adrenalin yang mengalir di balik kulitnya. Ledakan kesenangan yang tidak ia kenali.Â
Sabiha masih tersenyum.
Ita menatap lurus majikannya. "Sabiha. Sabiha yang melakukannya."
Senyum itu melebar, hampir tertawa. Kepalanya menggelinding ke bawah kaki si gadis kecil. Darahnya mengaliri kedua telapak kaki si gadis yang telanjang. Gadis kecil itu terdiam. Senyap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H