Kampung kami punya jawara, bukan pendekar silat atau dukun mantra guna-guna seperti kampung sebelah itu. Sabiha namanya, pendatang dari desa di peradaban lembah Sungai Nil yang berkilau, konon katanya sungai itu adalah tempat pemandian Dewa-Dewi kuno. Setengah abad yang lalu dia datang, mencari ilham hingga ke pelosok Jawa. Kawanan awan dan rasi bintanglah yang membawa kakinya hingga memijak kampung kami, Yang Dibumi.
Sabiha, wanita berwajah seribu, kata orang. Suatu malam ia mengetuk pintu demi pintu, pondok demi pondok, sebagai pendongeng, Sang Penutur Kisah. Di lain purnama ia menari kesetanan, Sang Pengantar Kematian. Lalu menjelma menjadi pendeta, Pembawa Ilham. Namun, semua tahu, wajahnya yang abadi... Sang Pengadu.
Sabiha, orang-orang memujanya... juga takut pada murkanya. Ia diagung-agungkan, ia juga dibuang. Diasingkan.
Sabiha...
"Ita, Ita!"Â
Lamunan Ita pecah berkeping-keping. Ia menyeka keringatnya yang telah bercampur daki dan abu. Dengan jubah katun kusamnya yang tadinya berwarna putih, Ita menenteng ketel yang baru saja mendidih. Menuangkan isinya ke dalam gelas tembaga berisi rempah dan bunga.
"Ita!!!" Suara melengking itu kian menjadi, mendesak yang dipanggil untuk bergegas. Ita mengaduh, mengangkat gelas yang sudah dialasi pisin. Gelembung-gelembung masih beriak di dalam gelas. Uap mengepul hingga menutupi wajahnya. Wajahnya yang sudah lembap kian basah karena dikukus uap teh.
"ITA!"
"Iya!" Dengan langkah kecil-kecil ia terbirit menuju asal suara.
"Lelet," tukas si wanita yang tadi meneriakinya. Dengan kasar merebut pisin itu dari Ita. Sambil mengaduk-aduk tehnya dengan sendok kayu, wanita itu mendumel. "Bau. Kecil. Hitam. Jelek. Pergi kau ke pasar, Ita. Carikan anjing kampung paling buluk. Kau cukur bulunya. Kau cari kutunya. Bawa cermin. Kalau kau pintar, kau ngerti, bagus. Setidaknya otakmu ada se-emprit."