Presidensi G20 di Indonesia membuktikan bahwa Indonesia memiliki kemampuan yang baik dalam menangani krisis. Presidensi ini menjadi sejarah karena dilaksanakan ditengah-tengah pandemi yang mengindikasikan bahwa dunia percaya terhadap kemampuan Indonesia dalam menangani pandemi Covid 19.Â
Menjadi tuan rumah, memberikan peluang bagi Indonesia untuk menjalin kerjasama tingkat global dan dapat menginisiasi forum G20 agar dapat mendukung pemulihan aktivitas perekonomian Indonesia serta dapat menawarkan solusi kebijakan pemulihan ekonomi dunia yang mempunyai dampak positif yaitu pertumbuhan ekspor.Â
G20 juga menjadi momentum untuk menunjukkan hasil reformasi struktural diantaranya dengan UU Cipta Kerja, yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kepercayaan investor global.
Sosok yang Membuat Indonesia Menjadi Bagian G20
Indonesia menjadi perwakilan negara dari Asia Tenggara di KTT G20. Selain itu dalam KTT G20 Indonesia juga mewakili kelompok negara berkembang serta dunia Islam. Indonesia masuk G20 pada saat G20 baru didirikan pada tahun 1999.Â
Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki pengalaman dalam mengatasi krisis yang melanda pada tahun 1998 sehingga diharapkan dapat membagikan strategi dalam penanganan krisis kepada negara-negara berkembang lainnya. Tentu merupakan sebuah prestasi yang membanggakan bahwa kemampuan Indonesia dalam mengatasi krisis diakui oleh dunia.Â
Namun siapakah sosok yang berjasa dalam penanganan krisis pada tahun 1998 tersebut? Dia adalah Prof. Dr.ing. Ir. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, FREng. atau Pak Habibie, Presiden Republik Indonesia ke 3.Â
Pada masa transisi pemerintahan dari Presiden RI ke 2, Pak Suharto, ke Pak Habibie pada bulan Mei 1998, kondisi ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Krisis finansial Asia pada awalnya bermula dari Thailand yang lalu kemudian menerpa Korea Selatan, Hongkong, Laos, Malaysia, Filipina dan Indonesia.Â
Kemudian Dana Moneter Internasional (IMF) memberikan bantuan terhadap negara-negara tersebut, namun bantuan tersebut tak bisa membendung krisis moneter yang puncaknya terjadi pada pertengahan 1998.Â
Harga kebutuhan pokok meroket naik membuat daya beli masyarakat menurun, jumlah pengangguran bertambah, nilai tukar Rupiah terhadap USD merosot dari yang awalnya Rp 2.000,-/USD hingga menyentuh Rp. 17.000,-/USD. Dampaknya banyak industri yang bangkrut dan 16 Bank ditutup. Â
Dengan kondisi  krisis multidimensional seperti diatas, Pak Habibie membuat kebijakan-kebijakan strategis untuk reformasi ekonomi dengan tujuan mengendalikan krisis. Dalam konteks kebijakan moneter, Pak Habibie mengupayakan untuk mengendalikan jumlah uang beredar di masyarakat agar dapat mengontrol inflasi.Â