Tulisan lawas yang sedikit disempurnakan di sana-sini.
Jendela & Hujan
Di suatu waktu nanti yang akan datang. Ketika hujan, jendela yang basah karena tempias dan sederetan lagu-lagu lawas yang kau simpan dan terus-terusan kau mainkan itu takkan sanggup lagi membuat kau meneteskan air mata lagiÂ
Semua kesedihan itu telah mengering seperti musim kemarau di negeri yang jauh. Hatimu, palung terdalam itu telah menumpahkan segalanya. Tangisan yang kau samarkan sebagai tetesan hujan, ratapan doa-doa atas segala yang terambil di kala gemuruh itu dan kisah-kisah di tahun lalu.
Di antara isakan dan gugur hujan, hingga namanya yang terus-terusan kau sebutkan selaiknya mantra itu akhirnya berlalu. Kenangan itu hanya akan menjelma jadi sekadar menjadi ingatan, tak lebih dari seperti sabtu yang basah dan kau enggan menarik selimut.
Lalu, katamu "Bagaimana mungkin setelah tahunan berlalu hatimu masih merasa sakit jika mendengar namanya disebutkan."
Di tahun-tahun yang panjang itu. Di antara tiap-tiap musim yang berganti itu. Ternyata waktu telah menjelma jadi antibodi, dulu hanya dengan mendengar lagu yang pernah menjadi saksi cinta kalian, kau akan meratap, sesungukan, dan dengan kurang ajarnya memaki keadaan, takdir, atau apa pun itu.
Kini, kau masih orang yang sama. Namun, kau telah lahir baru. Kini atas virus yang bernama kenangan itu kau telah memiliki antibodi.
Air matamu tak pernah mengering. Namun, kesedihan sudah kehabisan stoknya. Tangismu masih telaga, tapi kesadaran jiwamu adalah samudera. Jendela yang basah karena tempias hujan masih mengingatkanmu tentang orang yang sama. Namun, kini kau sanggup menertawakannya.
Kelak di negeri jauh, di tahun-tahun yang akan datang dan hatimu sepenuhnya tersembuhkan. Kau akan menulis ulang ceritamu.
~Zulfan Fauzi