Mohon tunggu...
Zulfan Fauzi
Zulfan Fauzi Mohon Tunggu... Novelis - Prosais, penulis

Penulis asal Gambut, daerah yang terjebak di antara Banjarmasin dan Banjarbaru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gambut dari Waktu ke Waktu

6 Januari 2024   11:37 Diperbarui: 11 Januari 2024   13:50 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya mendengus, menarik napas perlahan, mencoba menenangkan pikiran di sela-sela mengayuh sepeda saat melintasi rentetan ruko dan perumahan di sepanjang jalan Pemajatan. Perlahan amarah saya mereda, otak saya bisa berpikir lebih jernih lagi. Lalu, timbul lagi pertanyaan.

Lah, kenapa saya sedih? Atas dasar apa saya sok marah? Toh, bukan sawah saya juga yang diambil dan dijadikan perumahan atau dijadikan ruko.

Ketika tanah atau sawah diputuskan untuk dijual lalu dijadikan perumahan atau ruko pastilah sudah dipirkan secara matang oleh si empunya. Tidak mungkin, empunya sawah alias petani menjual aset yang menghidupi dirinya dan keluarga tanpa alasan. Dan saya pikir salah satu alasan kenapa sawah akhirnya dijual adalah tidak adanya regenerasi petani.

img-20220726-182650-659b3bc8de948f545e76d778.jpg
img-20220726-182650-659b3bc8de948f545e76d778.jpg

Dokumentasi Zulfan Fauzi, komplek persawahan yang menjelma perumahan.

Sejauh yang bisa saya ingat, hal paling utama yang menyebabkan tidak adanya regenerasi petani, bahkan di keluarga petani itu sendiri adalah para orangtua yang dulunya petani itu tidak menginginkan anak keturunannya menjadi seperti mereka. Teman-teman saya yang berasal dari keluarga petani pun dikuliahkan oleh orang tua mereka di kampus-kampus yang tidak mencetak kelahiran petani muda yang intelek.

Kawan-kawan saya hampir semuanya kuliah di kampus yang melahirkan guru, perawat, bidan, dan juga polisi. Tentu saja bisa dimaklumi, orang tua mereka tidak ingin anak mereka berlelah-berpeluh keringat di sawah sepanjang hari, dengan penghasilan yang tidak menentu, dan tidak memiliki uang pensiun yang kelak menjamin hari tua mereka.

Mungkin saja orangtua mereka berpikir, bahwa anak mereka bisa saja menjadi seperti seorang Soeharto yang awalnya cuma anak seorang petani dan dengan sedikit keajaiban bisa menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Di Gambut, di tempat yang saya tinggali ini, dan mungkin saja di sudut manapun di Indonesia ini, menjadi pegawai pemerintah alias ASN masih merupakan primadona, dan memiliki anak yang berhasil menjadi ASN adalah bukti keberhasilan orangtua dalam mendidik.

Memiliki anak yang berhasil menjadi pegawai pemerintah menjadi semacam piala kemenangan yang bisa mereka banggakan kepada kawan-kawan senasib. Kemenangan para petani atas kerasnya hidup yang mereka jalani, setelah sekian tahun berakrab-akrab dengan panas matahari dan hujan, serta penghasilan yang tidak menentu.

Jadi alih-alih menjadi petani seperti mereka lalu disekolahkan ke kampus pertanian dan kelak mampu mengembangkan padi agar lebih produktif lagi dengan teknik yang lebih mutakhir, para petani ini lebih menginginkan anaknya untuk bekerja duduk di belakang meja dengan seragam dan penghasilan yang stabill serta jaminan uang pensiun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun