Barangkali ketika mendengar kata Gambut, yang terlintas di ingatan banyak orang hanyalah tragedi rubuhnya Alfamart di Km. 14, Gambut yang sempat menghebohkan satu Indonesia di tahun 2022.
Pula, barangkali ketika mendengar kata Gambut, kebanyakan orang hanya mengingatnya sebagai barisan ruko yang berderet-deret sepanjang jalan, laiknya warga antri sembako murah. Dan itu adalah pemandangan biasa-biasa saja, tidak yang luar biasa. Tidak yang pantas untuk sekadar dikenang.
Sebagai sebuah kecamatan kecil yang terimpit dua buah ibu kota, yaitu Banjarmasin sebagai ibu kota lama dan ibu kota baru yaitu Banjarbaru. Gambut sesungguhnya. setidaknya bagi saya pribadi, menyimpan banyak kisah.Â
Dan melalui catatan kecil ini saya akan berkisah, tentang Gambut dari waktu ke waktu, serta segala perubahan yang dialami entah itu lansekap dan orang-orangnya.
***
"Ini dari siapa, di mana?"
"Ini dari Rizwan di Kapein."
"Kapein dimana tuh?"
"Kota Padi Keren kak,"
"Oh...dari Gambut ya, mau request lagu en titip salam ga? "Mau request lagunya Padi yang judulnya 'Begitu Indah, lagunya dikirimkan buat Riska si Bidadari Kesunyian di PangKoPad alias Pangkalan Kota Padi, salam sayang selalu dari Rizwan si Pangeran Terluka
Saat asyik-asyiknya bersepeda di sore hari sembari menikmati hamparan persawahan yang tak lagi permai, di sepanjang jalan Pemajatan menuju ke Pematang Panjang, entah kenapa di dalam kepala saya tetiba saja terlintas sebuah kenangan, saat-saat saya masih suka mendengar radio di kisaran tahun awal 2000-an hingga pertengahan tahun 2000. Suatu masa ketika saling berkirim salam dan request lagu-lagu terkini di radio adalah hal yang keren.
PangKopad (Pangkalan Kota Padi) atau Kapein (Kota Padi Keren) pernah menjadi nama keren untuk tempat lahir saya ini, yaitu Gambut. Suatu kecamatan yang merupakan bagian dari Kabupaten Banjar dan dulunya terkenal sebagai salah satu lumbung padi di Kalsel.
Sawah yang luas dan membentang dulu sekali pernah menjadi trademark Gambut. Dari Kertak Hanyar menuju Liang Anggang di sisi kiri dan kanan jalan akan ada pemandangan berupa hamparan sawah yang memanjakan mata dan juga menjanjikan ketersediaan pangan yang melimpah. Tapi, itu dulu. Keping-keping ingatan yang saling menjalin dan memilin di dalam kepala saya hanya menghadirkan kenangan, sesuatu yang lampau, dan tak lagi faktual.
Semakin saya kayuh sepeda saya melintasi jalan pemajatan menuju pematang panjang, semakin saya sadari sebutan kota padi sudah tidak relevan lagi untuk gambut.
Misalnya saja, kalau dulu dari arah Kertak Hanyar menuju ke Liang Anggang di kiri dan kanan jalan terdapat hamparan sawah. Maka, sekarang di pinggir jalan hanya ada jejeran ruko dan komplek perumahan yang semakin tahun semakin banyak. Pun, dengan jalan Pemajatan tempat saya tinggal saat ini, setidaknya ada sekitar dua calon komplek perumahan baru yang akan segera dibangun di atas bekas sawah.
Jauh di dalam hati saya sebenarnya membatin, "Lah...ini kok bisa seenaknya bangun perumahan di atas persawahan," atau kadang juga berucap seperti ini di dalam hati, "Kalau semuanya jadi perumahan dan sawah-sawah dijual hingga tak ada lagi padi yang bisa dipanen, kita semua nanti mau makan apa?"