Beberapa tahun lalu, sebagai seorang penulis. Aku mulai menulis sebuah naskah buku dengan judul "Musafir Pintu Hukum". Sampai saat ini aku belum menyelesaikannya, belum kutuntaskan.Â
Naskah itu ada di antara puluhan naskah yang sedang kugarap. Buku ini berlatar belakang peristiwa G.30.S/PKI. Dalam buku ini aku tidak mengupas permasalahan politik, qausalitet peritsiwa itu, namun aku menitik beratkan tulisanku, untuk ekses dari peristiwanya.Â
Tujuanku ingin mengingatkan kembali, terutama buat kalangan muda, kaula muda saat ini. Jangan terlalu berani, jangan terlalu ceroboh beraksi dalam nuansa politik, dalam kancah politik. Konsekwensinya cukup besar.
Sejarah sudah membuktikan, bahwasanya permasalahan politik di negeri ini selalu diwarnai merahnya darah. Dan ketika peristiwa PKI itu terjadi, di kampung saya penulis, Udang Sungai dan Udang Laut, tidak laku dijual, karena Udang suka bergelantungan pada mayat.Â
Mayat-mayat manusia yang hanyut di Sungai, atau sengaja dihanyutkan bukanlah pemandangan yang luar biasa. Bahkan Mayat manusia dijadikan, alat mainan. Dihanyutkan di atas Rakit Batang Pisang, didudukan bersandar, dimulut mayat diselipkan rokok.Â
Iblis sekalipun tidak berbuat seperti itu, tapi mempengaruhi agar manusia mampu punya kekuatan menggoda manusia agar mampu melakukan perbuatan seperti itu. Seorang Abang Ipar terpaksa ikut berlari bersama-masa, untuk mengejar adik iparnya untuk digorok. Karena sang abang ipar takut akan dituduh terlibat PKI.
Kematian demi kematian, ekses dari peristiwa itu, memang sangat mengerikan untuk diingat. Akan tetapi terlalu berbahaya untuk dilupakan.Â
Ketika peristiwa itu berlangsung, penulis masih sangat muda. Masih duduk di Sekolah Dasar, penulis sangat mengingat. Tanpa sengaja ketika dilakukannya penangkapan terhadap gembong-gembong PKI di tempat itu, masih dalam bentuk penangkapan yang sopan dan beretika, penulis menyaksikannya. Dan sejak saat itu, keluarga mereka yang ditinggalkan, tidak tahu akan ke mana menjiarahi pusara mereka.Â
Keluarga penulis justru tinggal di kawasan, di mana kawasan tersebut dapat dikatakan basis warga PKI. Kantor PKI, maupun Kantor BTI. Hanya lebih kurang satu Kilometer dari rumah keluarga penulis.Â
Ayah penulis sempat dicurigai sebagai orang PKI. Tapi penulis sangat yakin, ayah penulis tidak pernah punya selera, baik sebagai simpatisan, jangankan sebagai stelsel aktif PKI, sejak Masyumi dibubarkan. Tiga bulan ayah saya terpaksa berbaur dengan orang-orang yang ditahan sebagai orang PKI. Demi mendapatkan selembar keterangan dari Tim Pemeriksa, yang disebut Tim Secring, bahwasanya dia bukan PKI.Â
Di masa lalunya, ayah saya sempat menjadi anggota Kepolisian, berhenti dan memilih profesi jadi Tukang Kaleng. Menurut ayah saya, ketika di scrining, ada pertanyaan pemeriksa.Â
Anda pernah beberapa kali terlihat di Kantor PKI, coba jelaskan? Ayah saya menjawab, katanya "Saya adalah Tukang, siapapun yang membutuhkan jasa saya, tetap akan saya layani, keberadaan saya beberapa kali di Kantor PKI itu. Tidak lebih dari pada hanya sebagai Tukang Talang, yang bekerja dan menerima upah."Â
Ayah saya dikeluarkan dari lokasi penahanan, dibekali surat ketarangan "Tidak Terlibat G.30.S/PKI". Tapi orang yang pernah melihat dia di tempat itu, tetap mencap dia terlibat PKI. Dan ketika saya melintasi waktu sebagai Jurnalis, orang-orang yang merasa terganggu aktivitas saya, pernah menuduh saya "Anak PKI " saya dilitsus di Sospol Labuhanbatu, atas perintah Bupati kepada Ka.Kan Sospol.Â
Bukan hanya sekedar itu, tahun 1980-an berkas pengajuan anggota PWI saya, dipulangkan ke redaksi, saya masih dituding "Anak PKI" padahal di sana sudah terlampir SKBB, yang dasarnya adalah SKBD.Â
Saya memahami itu, Pak Fauddin Daulay Pemred Koran saya menyarankan agar menggugat oknum yang mengganjal saya, saya katakan. Tak perlulah pak, dia bisa menghempang saya untuk menjadi Wartawan Anggota PWI, namun dia tidak akan pernah bisa menghempang saya menjadi seorang penulis yang kritisi.Â
Jawab penulis kepada Pak Fauddin Daulay almarhum, Masa sudah menyeret kami semua, semua sudah sama-sama tua, beberapa waktu yang akan datang, pasti berhitung di akhirat. Namun walaupun saya pernah diganjal, toh LKBN Antara Medan, pernah menggunakan kemampuan saya sebagai Jurnalis, selama enam tahun. Thaks For Pak Yazid Pimpinan LKBN Antara Medan. Saya yang berhenti sendiri, karena ada jalur lain.Â
Peristiwa G.30.SPKI itu sudah lama berlalu, walaupun riak-riak kecilnya masih terlihat, bahkan masih muncul seperti "Senapan Karatan yang Masih Digunakan".Â
Sewaktu Senapan itu (Tudingan ET/OT terlibat PKI) selalu dijadikan Senjata. Anak-anak eks terlibat sulit untuk bersekolah, ada frustasi, justru anak gadis cantik anak ET. Sulit mencari jodoh.Â
Jangan dulu mengkaji ketika peristiwa pasca PKI itu, ada orang yang katanya dibakar hidup-hidup, ada yang katanya digorok tidak mati, pulang kembali kerumahnya, kalau Mayat, Bangkai Manusia tidak usah lagi ditanya. Kampung penulis adalah Kabupaten Labuhanbatu Sumatera Utara, semua orang di masa itu tahu banyak jatuh korban, walaupun tidak tahu berapa jumlahnya. Bau Busuk PKI, lebih buruk dari Kusta,
Hal-hal seperti inilah yang penulis khawatirkan, jangan sampai terjadi lagi. Hal seperti itulah yang ingin penulis kemukakan lewat buku "Musafir Pintu Hukum", jangan sampai anak negeri ini lalai.Â
Peristiwa itu terjadi, akibat dari benturan rasa marah, rasa tidak lagi memandang sesama manusia, lantas membunuh adalah suatu hal yang biasa, bahkan menjadi hiburan.
Penulis tidak mengintervensi permasalahan politiknya. Sebelum ayah penulis meninggal dunia, dia pernah berpesan, agar kami anak-anaknya jangan lagi berkecimpung dalam Partai Politik. Tapi kenyataannya memang lain, penulis justru pernah menjadi pengurus pleno di Golkar Kabupaten Labuhanbatu, pernah menjadi Jurkam Golkar, pernah menjadi pemberi ceramah terhadap kader-kader Golkar.Â
Penulis ingat, menjelang terjadinya Reformasi, dan ketika itu penulis belum mengundurkan diri dari Golkar. Ketika di Tanjung Ledong, di hadapan puluhan para guru, penulis pernah katakan "Kita orang-orang Golkar sedang menjunjung Kuali berisikan minyak panas, kalau kita meleng sedikit, minyak itu akan membunuh kita sendiri".Â
Ketika itu penulis, mungkin teringat peristiwa politik peristiwa PKI tersebut. PKI sebelum hancur, adalah kekuatan Politik terbesar. Golkar juga adalah kekuatan sosial Politik terbesar ketika itu, penulis yakin banyak kebencian dari pihak lain, di masa itu, di masa Orde baru.Â
Ternyata kekuatan besar itu tetap dilumpuhkan, nasib saja Golkar tidak mengalami kehancuran yang fatal. Secara teori, Golkar itu baik, pada perakteknya, jelas ada warna orde baru, di sana ada nilai kesetiaan.Â
Untuk Golkar penulis tidak hanya jadi katak dalam tempurung. Penulis adalah kader, pernah ada di Anggrek Neli Murni, berkomunikasi dengan petinggi Golkar. Bertemu Pak Agung Laksono, membicarakan KPMI eks Bakopmi. Akan tetapi muara pembicaraan walaupun basic-nya Politik, arahnya tetap bertujuan membangun negeri ini secara baik.
Dimulai Lima belas tahun, sebelum dilengserkannya Pak Harto. Negeri ini mengalami kemajuan perekonomian yang baik. Pak Harto itu benci Korupsi, kalau yang dikorupsi itu langsung uang negara. Uang APBN. Versi pemikirannya, uang negara itu titipannya untuk Rakyat negeri ini.Â
Siklus Politik di negeri ini, berputar seperti pusaran roda. Ingatlah sesuatu bisa saja terjadi, dan arogansi kekuasan adalah pemicu terjadinya peristiwa-peristiwa yang sangat tidak menguntungkan untuk negeri ini, bahkan bisa membahayakan bangsa ini.Â
Sebaik-baiknya, adalah pengendalian yang baik bagi siapapun. Baik itu individu-invidu yang berkuasa, maupun penggerak institusinya, berhati-hatilah. Kita bisa lari, namun tidak bisa berpisah dengan bayang-bayang, dan bayang-bayang itu selalu mengejar kemanapun kita lari. (Zulfan Ajhari Siregar-Rantauprapat).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H