Pencatatan perkawinan dalam konteks hukum perdata Islam memainkan peran penting dalam menegakkan kejelasan status pernikahan. Karena Pencatatan Perkawinan adalah sebagai simbol identitas atau kejelasan suatu Perkawinan yang sah. Namun, proses pencatatan ini tidak lepas dari berbagai problematika tertentu. Yang dapat menghalangi untuk dilakukannya pencatatan perkawinan.
Sejarah Pencatatan Perkawinan
Undang-undang pertama pencatatan perkawinan adalah undang- undang nomor 22 tahun 1946 tentang pencatatan perkawinan. Undang- undang ini berlaku hanya di pulau Jawa. Setelah Indonesia merdeka, lahirlah undang-undang nomor 32 tahun 1945 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.
UU No. 22 Tahun 1946 disusul dengan lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU No. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1975 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975 merupakan undang-undang pertama yang mencakup seluruh unsur perkawinan dan perceraian.
Kehadiran Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ini disusul dengan lahirnya Peraturan Pelaksanaannya dengan PP No. 9 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yang kemudian disusul dengan keluarnya PMA dan Mendagri. Bagi Umat Islam diatur dalam PMA No. 3 Tahun 1975 tentang kewajiban pegawai-pegawai nikah dan tata kerja pengadilan agama dalam melaksanakan peraturan perundang- undangan perkawinan yang beragama islam, kemudian diganti dengan PMA No. 2 Tahun 1990 tentang kewajiban PPN. Bagi yang beragama selain islam diatur dalam Keputusan Mendagri No. 221 a Tahun 1975, tanggal 01 Oktober 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil.
Pada bulan juli 1973, Pemerintah Republik Indonesia kembali mengajukan sebuah RUU yang terkenal dengan Rancangan Undang- undang Perkawinan kepada DPR-RI dan setelah mendapat banyak sekali tanggapan pro dan kontra mengenai beberapa bagian penting Materi RUUP tersebut baik di dalam DPR maupun di dalam masyarakat, namun akhirnya dicapailah suatu konsensus yang membawa pengaruh pada sidang-sidang selanjutnya, sehingga tercapai juga kata mufakat di antara para anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah mengundangkan Undang-undang Perkawinan pada tanggal 2 Januari 1974 dalam Lembaran Negara yang kebetulan nomor dan tahunnya sama dengan nomor dan tahun Undang-undang perkawinan tersebut yakni Nomor 1 Tahun 1974. Pada tanggal 1 April 1975, setelah 1 tahun 3 bulan undang-undang perkawinan ini diundangkan, lahir Peraturan Pemerintah Nomor 1975 undang-undang nomor 1 Tahun 1974 itu telah dapat berjalan secara efektif.
Mengapa Pencatan Perkawinan diperlukan
pencatatan perkawinan ini diperlukan dengan tujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan bagi para pihak yang melangsungkan perkawinan, sehingga memberikan kekuatan bukti autentik tentang telah terjadinya perkawinan dan para pihak dapat mempertahankan perkawinan tersebut kepada siapapun di hadapan hukum.
Menurut Gerung Inmas, Kepedulian Pemerintah untuk memberikan kepastian hukum kepada setiap orang yang melakukan pernikahan dengan memberikan Buku Kutipan Akta Nikah. Dengan memiliki Buku Kutipan Akta Nikah berarti bahwa seseorang yang telah melaksanakan pernikahan telah mencatatkan pernikahannya di Kantot Urusan Agama Kecamatan, sehingga memiliki legalitas formal yang diakui oleh Undang-undang Negara kita. Di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) dan (2) menegaskan bahwa perkawinan dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan dicatat menurut perudang-undangan yang berlaku.
Perkawinan yang tidak dicatat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah perkawinhan yang tidak sah, maka tidak memiliki legalitas di mata hukum sehingga hak-hak suami dan isteri serta anak-anak yang dilahirkan tidak memiliki jaminan perlindungan scara hukum. Di sini perlunya pencatatan nikah agar semua orang yang telah melakukan perkawinan tidak hanya memiliki keabsahan secra syar'i tetapi juga memiliki legalitas formal yang dilindungi oleh Undang-undang Negara kita.
Konteks Filosofi, Sosiologis, Religius, Yuridis Dalam Pencatatan Perkawinan
- Filosofis
Adanya pencatatan pernikahan akan terjamin nya perlindungan terhadap status hukum suami, istri maupun anak dan perlindungan Hak hak tertentu yang timbul dari pernikahan seperti hak waris, hak akte kelahiran dan lain lain, sehingga dengan pencatatan pernikahan keluarga tersebut juga akan terjamin dari segi apapun agar terciptanya keluarga bahagia damai secara lahir maupun batin
- Religious
Perkawinan yang tidak tercatat ini menimbulkan problema hukum yang barangkali tidak terpikirkan oleh orang-orang islam pada waktu menikahkan anak perempuan yang di lakukan di bawah tangan, aspek religious islam mungkin sah namun secara yuridis tidak sah.
- Sosiologis
Disini pihak yang melakukan perkawinan nikah siri sering kali dianggap perzinahan tanpa perikatan pernikahan, sehingga berdampak pada istri yang sulit bersosialisasi dimasyarakat, begitu halnya seperti anak yang lahir pada perkawinan yang tidak dicatat maka dianggap tidak sah secara yuridis, tetapi secara agama dianggap sah maka pentingnya pencatatan perkawinan agar tercipta nya kemaslahatan dalam masyarakat dan keluarga.
- Yuridis
Secara yuridis fungsi pencatatan perkawinan ini merupakan syarat perkawinan agar mendapatkan perlindungan dan pengakuan hukum dari negara ,seperti didasarkan UU 1/1974 pencatatan perkawinan merupakan syarat formal yang harus dilaksankan agar suatu perkawinan diakui keabsahan nya sebagai perbuatan hukum yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara Pendapat Mengenai Pencatatan Perkawinan Dan Dampaknya Pencatatan perkawinan adalah hal yang sangat penting bagi masyarakat, untuk mendapatkan kepastian hukum atas perkawinan dan kelahiran anak-anaknya walaupun tidak berkaitan dengan syarat sah suatu perkawinan, karena perkawinan yang sah bukan hanya menurut ketentuan agama saja, tetapi juga harus sah menurut hukum dan buku nikah juga dapat membuktikan keturunan sah dari perkawinan tersebut. Kesadaran masyarakat untuk mengurus akta perkawinan atau mencatatkannya masih rendah, rendahnya kesadaran tersebut dapat dilihat dengan seringnya terjadi keterlambatan dalam mengurusnya. Mereka cenderung baru mengurusnya apabila saat memerlukannya, karena pada saat pengurusan administrasi kependudukan mempersyaratkan akta perkawinan, misalnya itu untuk membuat akta kelahiran sang anak. Seharusnya hal yang kek gini disetiap daerah diperlukan adanya sosialisasi untuk menyadarkan masyarakat bahwa pencatatan perkawinan adalah hal yang sangat penting. Dampak perkawinan yang tidak dicatatkan secara sosiologis, Jika status perkawinan yang tidak dicatatkan, maka istri tidak bisa menggugat suami dan apabila ditinggalkan oleh suami, istri tidak memperoleh tunjangan perkawinan serta tunjangan pensiun dari seorang suami, ketika mengurus akta kelahiran juga akan mengalami kesulitan.Dampak perkawinan yang tidak dicatatkan secara yuridis, Perkawinan yang dicatatkan pada negara dan Perkawinan yang tidak dicatatkan mempunyai konsekuensi yuridis yang berbeda. Salah satu konsekuensi yuridis yang paling menonjol yaitu anak. Konsekuensi yuridis lain yang mungkin timbul terkait dengan hak waris. Bukan hanya hak waris anak yang mungkin timbul masalah, tetapi juga hak waris pasangan tidak akan muncul secara hukum apabila perkawinan mereka tidak dicatatkan. Dampak perkawinan yang tidak dicatatkan secara religious, Akibat hukum perkawinan yang tidak dicatatkan, walaupun secara agama dianggap sah, tetapi perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum, dianggap tidak sah karena tidak mencatatkan perkawinan tersebut. Perkawinan yang tidak dicatatkan, yang telah memenuhi rukun dan syarat yang telah ditetapkan dalam hukum Islam, namun tanpa pencatatan resmi di Instansi berwenang sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tuntutan pemenuhan hak-hak tersebut seringkali menimbulkan sengketa. Oleh sebab itu tuntutan akan sulit dipenuhi karena tidak adanya bukti catatan resmi perkawinan yang sah. Anak sebagai hasil dari suatu perkawinan merupakan bagian yang sangat penting kedudukannya dalam suatu keluarga, karena seorang anak yang sah ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah diantara ayah dan ibunya.
Dampak Pencatatan Perkawinan di Indonesia
- Sosiologis supaya ketika bersosialisasi itu tidak terdapat fitnah di lingkungan tersebut dan agar menjaga dari tindakan yang dimana tidak diperbolehkan di lingkungan masyarakat. pentingnya catatan perkawinan secara sosiologis juga bisa membantu orang tersebut untuk malakukan kegiatan bersosial dengan masyarakat lainnya.
- Religious : didalam agama sangat penting bukti perkawinan dikarenakan nantinya akan diberikan tanggung jawab didalam rumah tangga tersebut. Dalam Agama sudah diatur ketentuannya agar kelak bisa selamat dunia dan akhirat.
- Yuridis : untuk memberikan kepastian hukum kepada setiap orang yang melakukan pernikahan dengan memberikan Buku Kutipan Akta Nikah. Dengan memiliki Buku Kutipan Akta Nikah berarti bahwa seseorang yang telah melaksanakan pernikahan telah mencatatkan pernikahannya di Kantot Urusan Agama Kecamatan, sehingga memiliki legalitas formal yang diakui oleh Undang-undang Negara kita. Di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) dan (2) menegaskan bahwa perkawinan dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan dicatat menurut perudang-undangan yang berlaku.
Penulis :
Ananda Maida Septiana
Rizqotun Wasyi'ah
Vito Zahria Ardiansyah
Zulfan Aldy Husaini
Risdan Handoko
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H