"Yang pertama Mbak, niat. Kita harus ada niat. Kalau saya, karena memang basic Bapak dan Ibu mengajari ngaji, ya saya tergugah. Lalu yang kedua, sabar. Tidak ada orang yang tidak bisa ngaji, Mbak. Adanya hanya orang yang belum lancar. Saya selalu dapat laporan bahwa anak murid ini ndak mau ngaji karena takut, ini karena belum lancar, dan sebagainya. Saya maklumi, saya akan berbicara baik-baik, dan menuntun kembali sang anak agar dapat belajar seperti sebelumnya."
Saya tatap Bu Soh yang kini mulai terkikis usia. "Susah sekali, nggih Bu??"
"Kalau Mbak nanya susah, ya susah. Tetapi orang-orang sekitar saya, alhamdulillah sangat suportif. Mereka mau berkonstribusi walau gajinya tidak seberapa. Betul Mbak, Ibu-ibu sekitar ini semangat sekali kalau saya minta untuk bantu mengajar ngaji."
Saya takjub. Memang lingkungan yang baik, yang menebarkan kebaikan memiliki hawa yang berbeda. Saya terus dengarkan bagaimana Bu Soh menceritakan jatuh bangun menyukseskan madin hingga ternama seperti sekarang.
Saya juga teringat pada masa itu secara tiba-tiba. Ketika saya tidak memiliki teman sebab saya berasal dari desa sebelah yang jauh, pun begitu saya juga berasal dari sekolah dasar di mana notabene anak-anak yang mengaji di masjid An-Nur bersekolah di madrasah ibtidaiyah. Saya insecure, saya malu, teman-teman semua saling kenal.
Tetapi Bu Soh selalu menyelipkan banyak pesan agar tidak memilih-milih teman. Apabila benar ia membawa kebaikan, maka ajaklah, maka berbaurlah. Bu Soh juga sering mendisiplinkan murid yang melanggar aturan, tetapi kalimatnya selalu realistis. Ia selalu katakan bahwa Allah tidak suka apabila umatnya berbuat buruk kepada sesama. Bu Soh tanamkan sifat saling menghargai kepada anak-anak yang baru beranjak mengenal islam. Beliau adalah sosok yang begitu hebat. Tak heran ia tersohor di seluruh penjuru desa.
"Sebenarnya kalau mengajari anak-anak mengaji itu susahnya ketika mereka tidak percaya diri, Mbak. Seperti takut untuk mengucapkan ayat dalam Al-Quran. Katanya takut diejek kalau tidak lancar, dan sebagainya. Nah di sini peran saya beserta Ibu guru lain yaitu memberikan motivasi. Kami berikan apresiasi disetiap tanda baca yang mereka pahami. Kami berikan sanjungan yang akan membawa mereka lebih percaya diri. Sebagai seorang guru, memahami murid itu sangat perlu."
Bu Soh memberikan kiat-kiat untuk menjadi tenaga pendidik yang baik. Ia berikan banyak saran, juga nasihat apabila saya atau siapapun ingin menjadi guru. Katanya jadilah seseorang yang hendak menyebarkan ilmu karena Allah, bukan karena uang. Uang, gaji, sanjungan, itu semua adalah bonus. Sebab menyebarkan ilmu itu pahalanya besar, tidak semua orang yang berilmu mampu, tidak semua orang dapatkan stok sabar yang banyak, tidak.
"Jangan malu ketika Mbak salah. Malulah ketika Mbak salah dan tidak ada usaha untuk memperbaikinya."
Saya akhiri wawancara dengan bincang santai, lantas saya berpamit pulang. Bahkan hanya dengan niatan mewawancarai, saya dapatkan ilmu lagi. Sungguh, Bu Soh memang berjasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H