Desa Balun atau yang sering disebut sebagai Desa Pancasila merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, tepatnya tidak jauh dari poros jalur Pantura Lamongan atau sekitar 1 kilometer dari jalan raya Surabaya-Tuban. Jalan menuju desa ini berada tepat di sebelah Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan.
Desa Balun yang memiliki julukan tersendiri yaitu "Desa Pancasila" tidak secara tiba-tiba diberikan, melainkan memang sangat menggambarkan kebhinekaan dan tingginya toleransi antarumat beragama. Itulah yang membuat Desa Balun dijadikan sebagai contoh nyata dalam penerapan nilai-nilai Pancasila. Desa ini juga menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang di luar sana bahwa kerukunan dan kedamaian dalam perbedaan merupakan pilar penting terciptanya kehidupan yang harmonis.
Desa Balun memiliki penduduk yang menganut tiga agama berbeda yaitu Islam, Hindu, dan Kristen. Walaupun Islam menjadi mayoritas, tetapi umat Hindu dan Kristen diterima dengan baik. Bahkan tidak hanya hidup berdampingan, tetapi mereka juga menjalin hubungan sosialyang harmonis baik dalam acara keagamaan ataupun kemasyarakatan. Â MasyarakatDesa Balun selalu bergotong royong untuk saling membantu sesama, tidak peduli apa agamanya. Budaya "guyub rukun" yang telah menjadi identitas masyarakat Jawa, sangat terasa di Desa Balun. Nilai ini yang mendorong masyarakat untuk selalu menyelesaikan perbedaan melalui musyawarah serta menjaga komunikasi antarsesama dengan baik.
Keharmonisan Desa Balun juga dapat dilihat dari simbol yang sangat mempresentasikan kerukunan dalam perbedaan agama yaitu tiga tempat ibadah dengan jarak yang berdekatan antara satu dengan lainnya. Adanya Masjid Miftahul Huda diatara Pura Sweta Maha Suci yang berada di sebelah selatan dan Gereja Kristen Jawi Wetan yang berhadapan langsung dengan masjid dengan dipisahkan oleh lapangan. Tempat-tempat ini berada sekitar 200 meter dari Balai Desa Balun tepatnya di dekat sebuah lapangan.
Menariknya, toleransi di desa ini berlangsung secara alami tanpa adanya suatu deklarasi. Seperti contohnya jika umat Islam akan melaksanakan Sholat Idul Fitri maka warga non-Islam akan bergotong royong untuk mengamankan keadaan ketika pelaksanaan ibadah tersebut. Bahkan ketika lebaran, tidak hanya umat Islam saja yang merayakannya tetapi seluruh umat baik Hindu maupun Kristen juga ikut serta dalam perayaan hari besar tersebut. Begitu juga pada saat perayaan Ogoh-ogoh, umat Islam maupun Kristen juga ikut serta dalam mengamankan situasi dan meramaikan perayaan tersebut.Â
Menurut Ustadz Titis Sutarno yang merupakan salah satu Takmir Masjid Miftahul Huda bahwa toleransi antarumat beragama terjalin sangat baik dan harmonis, penduduk Muslim yang merupakan mayoritas selalu menghargai penduduk minoritas seperti Kristen dan Hindu. Diantara tiga agama tidak ada yang merasa paling besar maupun paling kecil karena penduduk hidup dengan saling berdampingan. Bahkan adapula yang dalam satu rumah berbeda-beda agama seperti orang tuanya menganut agama Kristen sedangkan anaknya sendiri menganut agama Islam tetapi mereka menjalani dengan keharmonisan, kerukunan, serta kedamaian dengan jiwa toleransi yang sangat kuat.
Desa Balun membuktikan bahwa keberagaman bukanlah penghalang bagi persatuan. Justru sebaliknya, dengan komitmen untuk saling menghormati, keberagaman dapat menjadi kekuatan yang mempererat persaudaraan. Desa Balun memang sangat menginspirasi dan layak dijadikan sebuah contoh dalam menerapkan toleransi antarumat beragama dengan nilai-nilai yang selalu dipegang teguh bahwa sebagai Bangsa Indonesia kita harus tetap bersatu meski banyaknya perbedaan dan keberagaman diantara kita seperti semboyan Bangsa Indonesia yaitu "Bhineka Tunggal Ika".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI