26 Desember 2004 dan 26 Desember 2016, duabelas tahun sudah berlalu. Rasanya masih segar dalam ingatan kita akan pekik takbir yang menggema di sudut Masjid Raya Baiturrahman. Semua orang panik, heran, bingung dan berusaha menyelamatkan diri dari kejaran air bah tsunami. Dua belas tahun sudah kejadian gempa bumi dengan magnitudo 9.0 yang menghentakkan daratan Aceh. Dan hanya berselang 25 menit setelah hentakan kuat itu, sebagaian besar daratan kota Banda Aceh dan beberapa kota lainnya tersapu oleh gelombang pasang yang tingginya mencapai belasan meter.
Tidak banyak yang mengetahui apalagi memahami bahwa air bah yang datang setelah gempa besar itu adalah tsunami. Maklum saja, kejadian gempa besar seperti itu sangat jarang terjadi apalagi disusul dengan gelombang tsunami. Ditambah lagi kondisi politik dan keamanan Aceh belum kondusif masa itu yang membuat semua orang lebih peduli pada kondisi politik dari pada pemahaman bencana khususnya tsunami.
Jika kita tilik kebelakang tepatnya 12 Desember 1992, tsunami pernah terjadi di wilayah Indonesia bagian timur. Berawal dari kejadian gempa bumi dengan magnituda 7.8 di lepas pantai Flores. Gempa tersebut tergolong kuat dan memicu gelombang pasang tsunami setinggi belasan meter. Korban yang tercatat sekitar 1200 orang meninggal, 500 orang hilang, 447 orang mengalami luka-luka dan lebih dari 5000 orang mengungsi. Gempa dan tsunami tersebut merusak dan menghancurkan sebagian besar bangunan di pesisir pantai Sikka, Ngada, Ende dan Flores Timur.
Dalam sebuah publikasi ilmiah yang berjudul Modeling the Seismic Source and Tsunami Generation of theDecember 12, 1992 Flores Island, Indonesia, Earthquake yang ditulis oleh Dannie H., dkk., (1995) menjelaskan mekanisme gempa sesar naik yang terjadi di Laut Flores. Posisi tepatnya berada di bagian utara laut Maumere dengan perkiraan kedalaman kurang dari 36 km. Gempa bumi bersumber pada zona tumbukan lempeng Indo-Australia di bawah lempeng Eurasia.
Dalam sumber lain, www.wikipedia.orgmenjelaskan bahwa Flores pernah dihantam gempabumi dan tsunami pada tahun 1982 tepatnya tanggal 25 Desember. Pusat Geologi Survey Amerika Serikat (USGS) mencatat magnituda gempanya 5,9 dan menimbulkan longsor di dasar laut yang membangkitkan gelombang tsunami. Posisi gempa bumi 1982 berdekatan dengan posisi pada tahun 1992. Dan mekanisnya sesar naik pada zona tumbukan lempeng Indo-Australia di bawah lempeng Eurasia.
Seiring dengan perjalanan waktu, lambat laun momentum dua kejadian gempa bumi dan tsunami di Flores terlupakan dalam pola dan tingkah laku masyarakat kita. Meskipun para ilmuan asing dan beberapa ilmuan Indonesia berbondong-bondong mempelajari fenomena Tsunami Flores. Dan beberapa hasil kajian mereka tersimpan dengan baik dalam beberapa publikasi ilmiah. Tidak banyak perubahan yang terjadi dalam proses mitigasi dan pengurangan risiko bencana paska tsunami Flores. Istilah tsunami hanya dipahami oleh beberapa orang saja yang notebene berlatar belakang geofisika atau geologi. Akan tetapi dikalangan masyarakat awam secara umum istilah tsunami masih asing terdengar apalagi memahami.
Berselang 12 tahun setelah tsunami Flores, kita dikejutkan dengan gempa bumi yang disusul dengan gelombang tsunami Aceh. Secara mekanisme Tsunami Aceh memiliki kemiripan dengan Tsunami Flores meskipun besaran kekuatan gempanya berbeda. Diawali dengan hentakan gempa bumi yang kuat pada kedalaman kurang dari 30 km. Lembaga Geologi Internasionl mencatat bahwa Gempa bumi 26 Desember 2004 merupakan yang terdahsyat dalam kurun waktu 40 tahun terakhir.
Sedikitnya pemahaman dan ketidaksiapan kita menghadapi bencana ini berdampak pada kepanikan yang bukan saja di level masyarakat biasa tetapi juga di pemerintah. Masa itu banyak masyarakat Aceh yang belum memiliki pengalaman merasakan goncangan gempa sebesar itu. Sehingga sudah barang tentu tidak ada upaya untuk menyelematkan diri dari acaman tsunami yang datangnya setelah gempa bumi. Kecuali masyarakat di Pulau Simeulu yang sudah sering merasakan gempa bumi. Ditambah lagi kearifan lokal mereka yang turun temurun untuk lari ke dataran tinggi jika ada gempa. Mereka menyebutnya dengan istilah SMONG.
Momentum kejadian gempa bumi dan tsunami Aceh menjadi penting dalam proses riset, edukasi dan mitigasi bencana. Bukan saja di Indonesia akan tetapi juga di dunia. Tahun-tahun awal setelah tsunami Aceh, berbagai macam lembaga penelitian dan edukasi mitigasi bencana muncul baik di universitas maupun lembaga swadaya masyarakat. Mereka melakukan penelitian bukan hanya dalam bidang ilmu kebumian akan tetapi juga dalam bidang sosial dan pendidikan.
Kesemuanya itu berperan untuk memberikan informasi kebencanaan dengan sebaik-baiknya kepada setiap lapisan masyarakat, baik itu orang tua, dewasa, kaum ibu, anak-anak bahkan orang-orang yang berkebutuhan khusus. Banyak dampak positif yang terlihat dalam proses edikuasi mitigasi bencana. Banyak masyarakat umum yang sudah memiliki pengetahuan akan fenomena tsunami atau paling tidak mereka paham tsunami itu apa. Akan tetapi seiring dengan perjalanan waktu satu persatu lembaga-lembaga tersebut redup karena alasan pendanaan.
Kejadian gempa bumi dan tsunami besar juga pernah menimpa beberapa negara lain. Sebut saja Jepang, setelah gempa Tokyo 1923 Jepang membuktikan semangat belajarnya dengan mendirikanEarthquake Research Institute (ERI) yang saat ini menjadi pusat riset gempa bumi kelas dunia. Dan pasca tsunami Tohuku 2011, Jepang langsung menjawabnya dengan International Research Institute of Disaster Science (IRIDeS).Setiap lembaga tersebut secara konsisten dan berkesinambungan melakukan penelitian dan pendidikan sebagai salah satu upaya mitigasi. Hal ini menjadi bukti bahwa semangat belajar sebagai upaya mitigasi bencana adalah sesuatu yang penting.