Saya punya atasan yang galak sekali. Ia adalah kepala humas yang bertugas untuk mengatur komunikasi dengan klien dan tamu penting agar terjalin kerja sama yang baik dengan perusahaan. Sebelum cerita saya terlalu jauh, mungkin perlu saya tekankan bahwa ia adalah pria berumur hampir tiga puluh tahun dan belum menikah.
Saya adalah salah satu karyawan yang bekerja langsung di bawah perintahnya. Tugas saya adalah menelepon klien-klien yang pernah membeli produk di perusahaan ini dalam jumlah besar dan menawarkan agar membeli produk itu lagi. Bisa juga menawarkan produk yang baru saja dikeluarkan oleh perusahaan.Â
Ada titik di mana saya sudah muak dengan sikap atasan saya. Entah mengapa hanya saya yang dijadikan sasarannya. Dibilang beginilah, begitulah. Dan belum  cukup sampai di situ, saya sering dibentak olehnya di depan karyawan yang lain. Padahal saya merasa sudah melakukan pekerjaan saya dengan baik dan berusaha mengevaluasi diri setiap hari. Tapi mengapa hal itu belum cukup?
Pernah terpikir untuk resign tetapi saya masih butuh uang untuk hidup sehari-hari. Gaji di perusahaan ini cukup besar bagi saya. Lagi pula, mencari kerja itu tidak mudah.
Saya berusaha menahan diri sampai akhirnya ada saat di mana saya benar-benar lelah. Akhirnya saya jatuh sakit akibat stresskarena selalu berusaha memaksimalkan kinerja di bawah tekanan. Apa lagi saya juga jarang makan teratur. Tiba-tiba kepala saya terasa berat dan telinga saya berdengung. Saya meraba kening saya dan merasa demam. Hari itu juga, saya izin pulang lebih cepat. Untungnya, atasan saya tidak membentak saya saat mengajukan izin. Karena jika ia melakukannya, saya pasti merasa semakin sakit. Bahkan mungkin ia terlihat sedikit khawatir. Tetapi saya tidak terlalu memedulikannya waktu itu dan yang saya inginkan hanyalah berbaring di kasur dengan selimut tebal.
Setelah beristirahat penuh, ternyata demam itu tidak turun-turun juga. Mungkin saya butuh istirahat lebih lama. Akhirnya saya mengajukan izin tidak masuk kerja selama seminggu. Saya mulai khawatir ketika demam ini tidak kunjung turun selama tiga hari.
Karena saya tinggal sendiri di kota ini tanpa kerabat, jadi saya berangkat ke rumah sakit menggunakan taksi sambil terus menggigil karena demam. Saat itu hampir tengah malam, dan saya tidak ingin merepotkan teman-teman saya. Saya bahkan lupa apakah saya mengunci pintu apartemen atau tidak. Pokoknya saya harus ke rumah sakit dan harus sembuh. Saat di rumah sakit itulah saya tahu bahwa saya terkena tifus.
Hari pertama di rumah sakit, teman-teman kantor menjenguk saya dan membawakan berbagai macam makanan. Mereka datang saat jam kerja selesai dan bahkan ada yang menawari untuk menginap menemani saya tetapi saya tolak. Saya bilang bahwa saya pasti sembuh jika minum obat dan makan secara teratur. Lagi pula, mau tidur di mana teman saya? Saya toh hanya mampu membayar ruang rawat inap bersama yang berisi sekitar lima pasien lainnya.
Hari kedua, saya berusaha menghibur diri sambil menyantap makanan yang dibawakan oleh teman-teman saya kemarin. Lalu ada suara seorang perawat yang berkata sambil mengintip lewat tirai di bed saya, "Ada tamu ini mbak..".
Saya yang sedang dalam kondisi seadanya dan belum bersiap-siap (mulut saya penuh dengan camilan) pun kaget. Siapa yang datang saat jam kerja begini?
Lalu tamu itu membuka tirai dan masuk. Saya langsung bengong karena ternyata tamu itu adalah atasan saya yang terkenal galaknya! Ia masih memakai pakaian kerja dan ditangannya penuh berbagai macam bawaan. Sesaat saya tidak tahu harus berkata apa.