Aku pernah menjadi guru les privat untuk anak-anak SD-SMP. Memang impianku dari dulu adalah mengajar anak-anak. Jadi aku menikmati pekerjaan ini di samping kegiatan kuliahku yang padat.
Biasanya aku mengajar murid perempuan karena, yah aku kan perempuan. Anak perempuan biasanya minta mentor perempuan, begitu pula sebaliknya. Tapi tidak juga. Nyatanya aku punya dua murid lelaki. Salah satu murid lelakiku itu bernama Aria.
Pertama kali mendapat panggilan tugas ke rumah Aria, aku berpikir bahwa anak ini pastilah perempuan. Dilihat dari namanya saja sudah ketahuan.
Tetapi ia adalah seorang anak lelaki.
Ya. Anak lelaki kelas 4 SD bertubuh agak kurus, tidak terlalu tinggi dengan wajah yang selalu dibayangi kegelisahan. Aku langsung menangkap kesan pertama dari raut wajah Aria bahwa ia tidak suka bimbingan belajar. Aku tahu ia membenci les. Ia merasa terpaksa untuk mengikuti kursus ini. Aku tahu karena aku pernah menjadi dia. Aku pernah menjadi seorang murid yang merasa tertekan karena harus mengikuti bimbingan tambahan setelah lelah mengikuti kegiatan belajar di sekolah. Semua muridku---tanpa terkecuali---selalu memasang wajah masam saat pertama kali melihatku.Â
Aku pikir mereka akan berkata begini dalam hati, "Oh astaga, guru les. Aku harap cara mengajarnya tidak menyebalkan seperti guru-guru di sekolah," pikir aku. Setiap kali melihat wajah masam mereka, aku selalu berpikir seperti itu. Lucu juga. Mereka akan tahu bahwa aku bisa menjadi guru yang asyik dan menyebalkan dalam satu waktu. Ya, tergantung muridku juga sih. Apakah ia mau bekerja sama denganku untuk menciptakan suasana belajar yang santai dan kondusif atau ia memutuskan untuk menjadi murid menjengkelkan yang selalu mendorongku untuk bersikap tegas dan keras.
I am a human too, kids. Don't be selfish. You all know that your parents spent a lot of money to help your school tasks. Play me and you'll know the effects.
Jadi aku berusaha memasang senyum semanis mungkin sambil mengulurkan tanganku. "Hei Arel, kenalin. Aku Zulfa. Kalau manggil boleh pakai 'mbak' atau 'kak'. Dibawa santai saja ya belajar sama mbak. Yang penting tetap fokus, oke?"
Aria membalas uluran tanganku tapi tanpa berkata apa pun. Ia hanya memaksakan segaris senyum tipis yang membuatku merasa agak kasihan. Aku tahu, ia pasti merasa malas dan tidak berselera untuk mengikuti kursus hari ini. Rasanya aku seperti melihat diriku sepuluh tahun yang lalu saat aku berumur persis seperti dirinya saat dipaksa untuk kursus privat.
Pertemuan pertama dengan murid-murid les baru selalu aku usahakan sesantai mungkin. Jika mereka ada tugas sekolah, maka aku mengutamakan tugas tersebut untuk diselesaikan terlebih dahulu, lalu aku berusaha mengakrabkan diri dengan mereka. Hal ini bertujuan agar tidak ada rasa canggung yang menyebalkan antara diriku dengan murid les. Terbukti cara ini ampuh karena aku akrab sekali dengan beberapa murid lesku. Sebut saja Tasya, Danny, atau Iliana. Bahkan dua di antaranya sempat follow akun media sosial pribadiku. Ya, sedekat itu. Aku ingin menempatkan diriku sebagai teman bagi mereka dan bukannya mentor yang menjadi momok mereka.
Jadi di pertemuan pertama dengan Aria, aku tidak langsung masuk ke inti pelajaran. Aku memulai aksi basa-basi yang kuusahakan terdengar riang gembira bagi anak SD.