Sejak kecil, saya dididik orang tua saya tentang adab yang diajarkan Rasulullah, terutama terkait dengan makanan. Orang tua saya selalu mengingatkan tentang pentingnya berbagai makanan dengan tetangga kiri kanan. Jika ada makanan berlebih, maka dianjurkan untuk mengantarkan sedikit ke tetangga sebelah dan depan rumah. Ini terbawa dalam kehidupan saya sampai sekarang.
Namun, orang tua saya juga mengingatkan, jika memang makanan yang dibeli dari luar, misalnya sedikit, maka dibungkus dengan baik agar takterlihat dan aromanya taktercium. Maka itu, saya sering mengingatkan penjual yang mengemas makanan untuk memberi kantong plastik hitam agar taktembus pandang. Saya pikir ini bukan karena pelit, melainkan jaga jaga kalau takcukup untuk dibagi.
Memang agak susah menyembunyikan aroma apa makanan kita dalam rumah, Apalagi di rumah rumah bedakan, atau komplek perumahan yang jarak antara dinding rumah sendiri dengan tetangga setengah meter atau malam menempel. Bunyi desir dan aroma makanan yang digoreng akan jelas terdengar dan tercium. Di sinilah kepekaan kita sebagai makhluk sosial diuji.
Rasulullah memang sangat tegas soal makanan dan tetangga. Dalam hadist yang diriwayatkan Al-Bukhari, At-Thabrani, diingatnya bahwa "Tidaklah mukmin orang yang kenyang sementara tetangganya lapar sampai ke lambungnya". Membagi makanan kepada tetangga tidak harus sewaktu memiliki banyak makanan. Dalam jumlah makanan sedikit pun tidak masalah.
Bahkan, ada solusi dari Rasulullah apabila memasak makanan yang berkuah, agar diperbanyak kuahnya supaya bisa dibagikan kepada tetangganya. Ini ada dalam hadist riwayat Imam Muslim, bahwa "Jika kamu memasak kuah, maka perbanyaklah airnya dan berikan sebagian pada para tetanggamu".
***
Nasihat orang tua tentang adab makanan ini, tentu menjadi perhatian khusus saya dalam bertingkah laku terhadap makanan. Hal ini mungkin juga sama diperhatikan oleh kita semua sebagai makhluk sosial. Oleh karena itu, salah satu yang saya hindari adalah mempublikasi kegiatan makan pribadi di media sosial, walau terkadang bisa lupa juga untuk tidak mempublikasi.
Pernah dapat dari kawan sekantor, ketika saya mengirimkan foto beberapa makanan dan minuman kepadanya. Objek makanan itu saya foto secara estetik - karena memang hobi fotografi, dan saya kirimkan kepadanya. Saya langsung mendapat dalam bahasa Banjar, " , !". ini dilanjutkan dengan kalimat, " !"
Saya pikir, walaupun konteksnya bercanda - mungkin, kalimat tanggapan itu cukup mengingatkan kembali saya agar takasal publikasi foto makanan dan minuman. Memang bukan maksud untuk memamerkan - kata '' itu bermakna 'memamerkan', dari kata '' yaitu 'pamer', tapi paling tidak membuat orang tersebut atau siapa pun tertarik berselera.
Tidak bisa dipungkiri, sejak media sosial menjadi media pribadi siapa pun, foto makanan atau foto sedang makan sudah menjadi hal biasa. Mungkin tujuannya menginfokan kegiatan makan bersama dan membagikan kebahagiaan karena mampu makan enak. Ini tentu berbeda dengan video promosi tempat makan yang dilakukan oleh para .
Memang takbisa disalahkan sepenuhnya makanan dan kegiatan makan di medsos tersebut oleh siapa pun. Namun, terkadang terpikir juga, bagaimana kalau foto atau video itu terlihat oleh orang orang yang kurang secara ekonomi, yang hanya mampu makan sekali sehari, atau makanan dengan menu yang itu itu saja. Bisa jadi mata dan pikirannya berkata kata sedih. Namun, siapa yang peduli.