Saya sering berfoto diri. Baik berfoto sendiri, maupun difoto oleh orang lain. Sesekali saya memperhatikan hasil foto yang menggambarkan diri sendiri. Memperhatikan sekadarnya, atau dengan saksama. Terkadang memuji diri sendiri karena merasa secara visual tubuh, apalagi wajah, masih terlihat gagah dan tampan - secara subjektif. Terkadang merasa malu karena melihat tubuh di foto sudah ringkih dan wajah takkaruan.
Benarkan kondisi fisik tubuh seseorang menggambarkan seberapa usia yang bersangkutan. Atau, kondisi fisik garis lurus dengan usia. Namun, bisa saja dibantah. Jika fisik, baik tubuh maupun wajah terpelihara secara baik dan benar, maka bisa saja penampilan lebih muda dari usianya. Sampai sampai orang orang tidak bisa menebak usianya.
Kita memang sering terpana melihat orang orang yang terlihat masih bugar dan gagah, padahal usianya mungkin sudah berumur - untuk tidak disebut tua. Orang orang tersebut kebanyakan publik figur, seperti pejabat, artis, dan pengusaha. Akan tetapi, kita juga harus maklum karena tentu publik figur itu punya anggaran tersendiri untuk perawatan, Entahlah.
Ada hal yang menarik. Walaupun tubuhnya masih bugar dan wajahnya masih segar, tetapi ada satu kondisi pada bagian tubuh tertentu yang tampaknya bisa berlaku sama pada semua orang. Baik kaya atau miskin, terpelihara atau tidak, sehat atau pun sakit-sakitan. Bagian tubuh ada di kepala bagian atas tempat bertumbuh rambut.
Ya, sesungguhnya bagian atas kepala atau yang sering disebut mahkota adalah bagian tubuh yang harus mengikuti kodrat dari Tuhan. Ini persoalan rambut. Ada dua hal yang terkait dengan rambut di kepala manusia, yaitu uban dan kebotakan. Untuk uban, masih bisa ditutupi dengan cat rambut. Namun, untuk kebotakan, tampaknya banyak menerima apa adanya.
Botak adalah kondisi saat rambut mengalami kerontokan. Kondisi tersebut umumnya terjadi secara permanen, dan dipicu oleh berbagai hal. Sebenarnya, kebotakan terjadi seiring berjalannya waktu dan merupakan bagian proses penuaan. Kata 'penuaan' perlu digarisbawahi. Artinya bisa menimpa pria atau wanita. Hanya wanita tak'ganas; pria kebotakannya.
***
Terkait dengan persoalan kebotakan, siang tadi, Kamis (10/8), staf saya, Pak Sosanto Erwin memfoto saya dan teman teman di Bidang Kebudayaan Disbudporapar. Ini biasa dilakukannya. Juga dilakukan teman teman di bidang. Saling memfoto, terutama di saat santai, walau tetap dalam suasana bekerja. Foto foto itu biasanya dipasang di grup WA Bidang. Dan kami menikmati saja.
Salah satu foto menggambarkan saya yang sedang bercakap dengan Edo, salah satu staf lainnya. Foto diambil menyamping. Awalnya saya takmenggubris. Setelah memperhatikan seksama, saya fokus pada mahkota di kepala. Sebenarnya sering saja melihat rambut di kepala saya, baik melalui cermin, maupun foto. Namun, sekali ini saya harus tersenyum karena tampaknya kebotakan di kepala saya mulai meluas.
Saya mendiskusikannya dengan teman. Menurutnya, kepala saya takbotak-botak amat. Hanya basulah sedikit. Dia menyebut sulah. Mungkin sekadar menghibur saya, tapi bisa juga karena menurut penglihatannya botak saya takterlalu banyak. Saya sadar saja bahwa saya mulai mengalami kebotakan karena memang sudah menua. Sudah 55 tahun.
Kata sulah dalam bahasa Banjar bermakna 'botak'. Jadi takada beda. Sebutan itu untuk menggambarkan kebotakan. Namun, tampaknya bagi sebagian orang Banjar, sulah menggambarkan kebotakan yang merayap dari kiri dan kanan depan. Bukan dari depan, apalagi di tengah. Kalau kebotakan di tengah, dalam istilah Banjar disebut longor.