"Nyamanlah balalah tarus!"  Demikian sentilan teman kepada saya yang menurutnya sering terlihat balalah atau bepergian. Saya tersenyum sambil memikirkan kontruksi kalimat apa yang pas untuk menjawabnya. Jadi tersenyum tersebab pertanyaan seperti ini juga pernah saya ajukan kepada teman lainnya, beberapa tahun lewat.
Takbisa ditampik kesan kebanyakan orang bahwa sering bepergian keluar daerah, apalagi keluar negeri, itu nyaman. Nyaman karena dianggap semacam rekreasi, walau alasan bepergiannya karena tugas dinas. "Sambil ai!", lanjutnya. "Tugas dinaskan kada bahari-hari, kada bararianan. Imbah tuntung, sawat ja bajalanan balalihat kota!" Â tukasnya dengan dialek Banjar yang kental.
Saya punya tetangga yang pekerjaannya jualan baju di pasar Ujung Murung. Sekali sebulan, minimal, dia pergi ke Jakarta. Hanya Jakarta. Tujuannya ke ibukota hanya satu, belanja baju di Tanah Abang. Menginapnya pun takjauh dan takganti-ganti, seputaran Kebon Kacang. "Nyamannyalah!" komentar saya saat itu.
Berceritalah dia bahwa kalau bukan karena pekerjaan, dia malas untuk bepergian ke Jakarta sekali sebulan. Urusannya memang sederhana, membeli baju. Yang taksederhana, harus memilih model dan ukuran serta bertransaksi dengan saling berjejal dengan pembeli lain. Yang paling merepotkan, lamanya proses di bandara sebelum naik pesawat dan perjalanan menuju Jakarta.
Saya mangamini argumentasinya itu. Apapun alasan dan tujuan berpergian ke luar daerah, yang paling tidak nyaman adalah soal transportasi. Dulu waktu masih naik kapal laut, harus rela berjejal, naik dan turun tangga kapal saat berangkat dan sampai. Â Ditambah harus mabuk laut dan masuk angin karena waktu tempuh 24 jam lebih.
Setelah harga tiket pesawat terjangkau, moda transportasi ini ternyata juga tidak membuat lebih mudah. Walau waktu tempuh lebih cepat pesawat, misalnya 1,5 jam, tetapi proses awal dan akhirnya bikin tua di bandara dan di jalan. Dari mulai antre pemeriksaan di pintu x-ray, yang harus copot ikat pinggang segala, cek in, masuk pesawat. Belum lagi ` dan nunggu bagasi keluar.
Siapa tahan berlama-lama di bandara, padahal kebutuhannya hanya naik pesawat. Jika terpuruk karena transit berjam jam, atau delay yang menyiksa, maka daripada menggerutu, ya dibawa main gadget, mengobrol, nonton tv atau melihat orang lalu lalang, atau tidur di kursi. Kebanyakan bandara di Indonesia masih bergaya terminal hingga belum bisa membuat orang nyaman dan betah.
Ada beberapa bandara di negeri ini sudah bergaya airport city dan airport mall, bandara yang juga berperan sebagai lokasi wisata dan belanja. Sebutlah Bandara Sepinggan Balikpapan yang eco-futuristic dan fasilitas bioskop terbuka, Bandara Ngurah Rai Denpasar yang memilik akses wi-fi tercepat ke-6 di dunia, atau Bandara Kualanamu Medan yang memiliki akses Kereta Api.
Bandara Changi Singapura bukan hanya bikin betah karena ada fasilitas kolam renang dan bioskop 24 jam, tetapi juga arena edukasi karena ada konsevatorium taman bar kaktus, bunga bakung, anggrek dan kupu-kupu. Begitu pula Bandara Hongkong International Airport yang menyediakan "Dream Come True Education Park" dan teropong besar.
"Semuakan pakai duit, Bang!" lanjut temanku. "Untuk belanja di dalam bandara semua mahal, termasuk makan minum!" Benar, memang. Sewa tempat untuk jualan dengan segala fasilitasnya di Bandara, seperti juga mall, tentu mahal per meter perseginya. Maka, biaya sewa itu dibebankan kepada pembeli. Tidak heran teh segelas kecil saja sampai 15 ribu.
Teman-teman yang melakukan perjalanan gaya backpaper, sering tahu tempat di sekitar bandara yang murah meriah untuk makan minum. Di bandara Soekarno-Hatta, misalnya, ada kantin yang letaknya di halaman parkir terminal 1a. Di Juanda Surabaya, letaknya di paling pojok kanan bangunan bandara. Sementara di Sepinggan, ada di bawah area parkir terminal kedatangan.