Ramadan sudah berlalu beberapa hari. Lebaran baru saja usai, walau masih sangat terasa suasananya. Hari ini Minggu (9/6), seakan titik  irisan antara libur lebaran dengan persiapan kembali kerja. Tersebab, esok Senin, para pekerja, swasta, apalagi ASN, harus masuk kembali. Takada toleransi lagi untuk menambah waktu leha. Yang ada, siap kembali beraktivitas.
Tentu, nilai Ramadan dan Lebaran ini takbegitu saja hilang setelahnya. Selalu ada pengalaman dan kesan yang kuat muncul dan membekas dalam diri. Puasa yang sudah dijalani sebulan penuh diharapkan dapat membentuk watak sabar dan rendah hati. Lebaran, walau cuma dua hari sejatinya membuat diri lebih sosial. Intinya, kedua momen itu membentuk diri lebih saleh.
Bagi umat Islam dan mungkin juga umat agama lainnya, walau dalam bahasa berbeda, menjadi manusia dengan predikat saleh adalah idaman. Dan kalau bicara soal saleh, tidak bisa sekadar memaknai sebagai manusia yang taat dan sungguh-sungguh menjalankan ibadah, atau manusia suci dan beriman. "Menjadi saleh itu, berat!" kata temanku yang ustaz.
Secara etimologis, saleh yang berasal dari bahasa Arab shli, berarti terhindar dari kerusakan atau keburukan. Sederhana sekali. Kalau amal saleh, sudah menyangkut aksi, yaitu perbuatan yang tidak merusak atau tidak mengakibatkan menjadi buruk. Ini yang tidak sederhana karena terkait kepribadian, yang mencakup perasaan, pikiran, kata, dan perbuatan.
Syekh Mutawalli Sya'rawi (1911-1998) dalam Tafsr asy-Sya'rw (1991), orang saleh itu ada dua macam, saleh duniawi dan saleh ukhrawi. Saleh duniawi, orang yang berkepribadian baik sehingga di mana pun berada ia tidak merugikan tapi justru banyak memberi manfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Kesalehannya ini berdimensi etis. Jadi, bisa berlaku bagi manusia agama apa pun.
Sementara, saleh ukhrawi adalah kebaikan yang dilakukan sebagai ekspresi dari ketaatan kepada Tuhan. Artinya, seseorang melakukan kebaikan tidak sekedar karena tuntutan etika, tapi juga atas kesadaran penuh sebagai seorang hamba Allah untuk berbuat baik kepada sesama hamba dan ciptaan-Nya. Kesalehan ini berdimensi keimanan.
Bagi kita sebagai hamba pembelajar, untuk mendeteksi hadirnya kesalehan dalam diri, pasca-Ramadan dan lebaran ini tentu bisa melihat dari ukuran-ukuran itu. Semua ini agar bagaimana tumbang tumbalik-nya berpuasa dan peribadatan lain selama Ramadan dan menebar silaturahmi sambil menikmati kebebasan makan minum saat lebaran terbalaskan dan membuahkan hasil.
Seorang pembaca setia esai mingguan saya mempersoalkan kalimat penutup esai Minggu (2/6) lalu yang berjudul "Lebaran : End Game". Pengutipan ucapan petugas SPBU 'mulai dari 0' itu, menurutnya seakan menganjurkan bahwa sebagai manusia kita akan mulai lagi maulah idabul macam-macam setelah Ramadan dan Lebaran. Komentar saya, siapa yang bisa menjamin!
Saya, bisa juga Anda, atau bolehlah saya menyebut kita, (semoga tidak) menjalani hidup menjadi semacam rutinitas. Bak sebuah siklus, semua berputar, berawal -- berakhir - dan berawal lagi. Begitu seterusnya. Akibatnya, Ramadan dan Lebaran jadi semacam peristiwa rutin tahunan. Kedua peristiwa itu hadir karena memang sudah jadwalnya hadir dan harus dijalani.
Sah saja memang kalau  manusia menampakkan kesalehannya ketika Ramadan dan Lebaran. Tampak terlihat ciri fisiknya, seperti berbaju koko (disebut baju takwa -- padahal tidak gampang menjadi takwa), berkopiah, rajin ke masjid, sering duduk di majelis taklim, royal menyumbang, dan rajin memasang foto bersama tokoh agama di media sosial.
Justru pembuktian kesalehan itu adalah ketika kita sudah keluar dari Ramadan dan Lebaran. Berapa banyak yang memulai dari 0 dan mampu mengelola bilangan 1, 2, 3, dan seterusnya dengan lebih baik. Apakah berlaku peribahasa 'ngalih mambuang batu ka palatar' sehingga tetap suka bersangka buruk, dengki, memfitnah, menghujat, mencuri, Â memalsu, pelit, rakus, dan sebagainya.