Saya sebenarnya takbegitu hirau dengan soal ikan asin yang viral dari kasus perseteruan paraselebritas  di media sosial sejak bulan Juni lalu. Soal saling menghina dan saling membuka aib antarpesohor secara terbuka di media sosial sudah menjadi makanan sehari-hari. Ujung-ujungnya menjadi masalah hukum. Ujung-ujungnya minta maaf. Akhirnya jalan damai, dan selesai.
Namun, lepas dari persoalan hukum selebritas tersangka yang masih berjalan, isu ikan asin ternyata masih menjadi pembicaraan sebagian masyarakat, khususnya netizen. Seorang teman bahkan menanyakan kepada saya apakah juga mengikuti. Tersebab di grup WA-nya berseliweran soal ikan asin dalam berbagai bentuk, dari meme, cerita lucu, sampai video parodi.
Orang Indonesia memang kreatif. Apa saja yang lagi menjadi isu populer bisa diolah menjadi bahan yang laku 'dijual' di media sosial. Simbiose mutualisme terjadi antara netizen, baik sebagai pengolah bahan maupun penikmat, dengan pemilik laman. Sementara, objek yang dijadikan bahan, yaitu selebritas menjadi lebih popular lagi, termasuk ikan asin.
Bicara ikan asin, terus terang, sebagai lauk, ini termasuk favorit saya. Lauk lain bisa lewat begitu disuguhkan ikan asin. Apalagi dalam olahan masakan Banjar, seperti garih batanak, iwak telang goreng, dan iwak sapat dengan cacapan paduan limau kuit, bawang, dan lombok rawit. Kalau istilah urang Banjar, mintuha lewat gin kada diherani saking nyamannya makan dengan ikan asin.
Oleh sebab itu, menyalin kembali ucapan Galih Ginanjar di akun Youtube-nya "Kalau yang onoh (mantan istrinya) lu tau kan? Buka tudung saji, ah ikan asin, tutup lagi," menimbulkan kesan bahwa ikan asin itu makanan takberkelas dan punya bau yang paling tidak nyaman. Saya pikir, lelaki semacam Galih itu perlu diajak kembali ke jalan yang benar. Â
Ikan mana sih yang tidak bau. Aroma amis dari ikan mulai tercium setelah beberapa jam ikan berada di atas air dan bereaksi dengan udara. Dan dibanding daging dari jenis binatang lain, ikan termasuk yang mudah busuk karena kandungan protein, reaksi enzim, dan bakterinya. Itu sebabnya penjual ikan sering mengeluarkan dahulu bagian dalam ikan sebelum diserahkan ke pembeli.
Sebenarnya ikan asin, justru tidak bau amis, seperti ikan lainnya. Ikan seperti Gabus, Teri, Tenggiri, Sepat, Peda, dan beberapa lagi, yang biasa dijadikan ikan asin, harus melalui proses perendaman di air garam terlebih dahulu, sehingga amisnya hilang. Apalagi kemudian ikan asin itu dijemur, makin takmenganggu baunya.
Yang menarik, sejak abad VIII Masehi, orang-orang di Jawa sudah menggemari ikan asin, Bahkan, menurut Titi Surti Nastiti, dalam bukunya Pasar di Jawa: Masa Mataram Kuno Abad VII-XI Masehi (Dunia Pustaka Jaya: 2003), masyarakat Mataram Kuno menjadikan ikan asin salah satu komoditi yang kerap diperdagangkan di pasar-pasar di Jawa sejak 13 abad silam.
Ada dua prasasti yang menunjukkan sejarah ikan asin. Pertama, Prasasti Pangumulan A yang berangka tahun 824 saka atau 902 Masehi. Kedua, Prasasti Rukam yang berangka tahun 829 saka atau 907 Masehi. "Jenis ikan yang diasinkan atau dendeng ikan, terutama jenis-jenis ikan laut seperti ikan kembung, ikan kakap, ikan tenggiri," demikian salah satu bunyinya.
Kedua prasasti menjelaskan istilah ikan asin yang dikeringkan disebut Grih atau Dendain. Dalam bahasa Jawa disebut Gereh atau bahasa Banjar Garih, sedangkan ikan yang dikeringkan disebut Dendeng. Dan yang membanggakan dalam Prasasti Rukam, Grih atau Dendain dijadikan sebagai hidangan yang dalam upacara penetapan sima (tanah suci).
Kita memang tinggal dan hidup di negeri ikan asin. Negeri yang kaya dengan laut yang mempunyai kandungan ikan dan garam yang takhabis-habisnya. Keduanya bersinergi di tangan manusia dengan segala tujuannya. Persis seperti kita, yang baru dianggap menjadi manusia sempurna ketika sudah "banyak makan asam garam". Sebuah ungkapan yang lahir dari proses ikan asin.