Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibunya Kota

16 Juli 2017   23:08 Diperbarui: 22 Juli 2019   22:23 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya yakin yang bakal dipindahkan dari Jakarta ke salah satu kota di Kalimantan sebagai ibukota adalah pusat pemerintahan dan Jakarta tetap menjadi pusat bisnis. Namun, sebagai pusat pemerintahan, kota terpilih nanti pada akhirnya tetap akan menanggung beban seperti Jakarta sekarang. Yang paling tampak, urbanisasi besar-besaran, baik yang terstruktur seperti pegawai negeri dan BUMN, maupun masyarakat biasa.

Persoalan pemindahan ibukota tidaklah gampang. Bukan sekadar memindahkan dokumen kenegaraan hingga menambah catatan sejarah tentang ibukota baru, juga bukan hanya memindahkan pembangunan struktur dan infrastruktur layaknya sebuah ibukota, melainkan sekaligus memboyong ruh dan jiwa sebuah 'makhluk' bernama ibukota. Proses ini jauh lebih riskan.

Seorang kawan yang sehari-harinya artis penyanyi THM di Banjarmasin berseloroh, kalau salah satu kota di Kalsel menjadi ibukota, maka saya sudah menjadi penyanyi ibukota. Seloroh itu terasa ringan, tetapi dari sana bisa ditemukan adanya lebel yang juga ikut berpindah. Lebel ibukota itu menempel pada setiap aktivitas dan manusianya. Pengaruhnya pada pola budaya berprilaku, bisa positif dan lebih banyak negatif.

Persoalan banjir dan terbatasnya lahan Jakarta tentu akan tetap ditinggal di Jakarta jika ibukota dipindahkan. Namun, persoalan gaya hidup, moral, individualistis ibukota akan menyertai kepindahan itu. Di mana pun ibukota itu diletakkan, maka hal itu akan menjadi persoalan baru bagi daerah tempatan. Akan ada pembekapan nilai-nilai kearifan lokal daerah tempatan oleh nilai-nilai bawaan ibukota.

Ingatlah bagaimana rakyat Betawi berteriak karena lahan bersejarah mereka berubah fungsi menjadi gedung komersial dan nilai  tradisi mereka mulai menipis tergerus kehidupan modern dan hedonisme. Orang Betawi takbanyak lagi melahirkan anak-anak yang suka sembahyang dan mengaji, tetapi anak-anak mal dan jalanan. Pastilah orang di Kalimantan yang akan menjadi tempatan ibukota akan mengalami hal yang sama.

Selayaknyalah, petinggi di Banua mempertimbangan dengan matang untuk menjadi ibunya kota. Biarlah kota di provinsi lain Kalimantan yang menjadi ibunya kota. Banua cukup menjadi acil dan pamannya kota saja, cukup menjadi daerah penyangga. Pasti akan meningkatkan pendapatan masyarakat karena menyediakan segala kebutuhan rakyat ibukota. Banua jadi lebih bebas bergerak untuk menyejahterakan rakyatnya. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun