Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penjara Itu Bernama Sekolah

19 Juni 2017   18:52 Diperbarui: 19 Juni 2017   23:50 864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sangat beruntung pernah menjadi guru di negeri ini. Hampir 21 tahun 9 bulan saya menjalani profesi sebagai pendidik, yang menurut banyak orang sangat mulia. Tiga buah SMA di Banjarmasin pernah menjadi tempat saya mengabdi sejak pertama diangkat Maret 1993 sampai Januari 2015. Takterhitung ribuan anak bangsa pernah menjadi siswa mitra saya di kelas. Tentu ini sebuah pengalaman hidup yang paling mengesankan dan takterlupakan.

Sebagai guru di sekolah di Indonesia, saya dan guru-guru lainnya wajib menjalankan program kurikulum buatan pemerintah. Ada enam kurikulum sempat saya gunakan. Pertama, Kurikulum 1984 yang mengusung CBSA 'Cara Belajar Siswa Aktif'; Kedua, Kurikulum 1994 yang super padat; Ketiga Kurikulum 2004 atau sering disebut KBK 'Kurikulum Berbasis Kompetensi'; Keempat, Kurikulum 2016 sebagai KTSP 'Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Kelima, Kurikulum 2013; dan terakhir Keenam, Kurikulum 2015, walau baru tahap awal.

Terus terang, saya termasuk yang takpernah usil dengan perubahan kurikulum. Saya yakin dan percaya, penyusun kurikulum di pusat sana, untuk menyebut Kementerian Pendidikan Nasional, adalah orang-orang pintar yang terpilih. Gelarnya saja banyak profesor. Apalagi pengalaman di bidang pendidikan, pasti sudah kenyang. Maka, apa pun kurikulum olahan mereka pasti bertujuan baik dan luhur, untuk memajukan pendidikan di Indonesia.

Banyak anggapan ganti menteri ganti kurikulum, saya pikir sah-sah saja. Setiap pejabat pasti akan membuat monumen bagi hidupnya. Jika setiap menteri pendidikan yang baru berpikir dan akhirnya mengubah kurikulum dengan segala kebijakan yang mengikutinya, pastilah dilandasi pikiran ingin dunia pendidikan Indonesia di tangannya bisa lebih baik. Dan sebagai guru ujung tombak di lapangan, ya tinggal melaksanakan.

Yang terjadi kemudian, mulailah sekolah dan paraguru dengan kesibukan rutinnya. Mengajar? Pasti. Tapi yang lebih asyik, secara bergiliran, per mata pelajaran, mereka meninggalkan sekolah dan siswanya, untuk mengikuti penataran, atau diklat, atau bimtek kurikulum baru di mana-mana. Dan itu bisa berlangsung berkali-kali karena selalu ada program penyegaran.

Sementara siswa yang menjadi sasaran kebijakan kurikulum harus menikmati situasi pendidikan penuh ketidakpastian. Siswa menjadi sasaran ujicoba proyek kurikulum. Mereka seakan kelinci yang siap untuk diperlakukan apa pun. Ditambah jumlah mata pelajaran, ok. Dikurangi jumlahnya, juga ok. Disuapi mata pelajaran sisipan pesanan lembaga apa pun, siap. Disuruh sekolah seminggu penuh, siap. Diminta sekolah sampai 8 jam, siapa takut!

Siswa-siswa sekolah di negeri ini takpunya pilihan. Mereka pasrah. Nasib mereka sungguh sangat tergantung kebijakan pemerintah. Dan lebih lagi, hidup mereka di sekolah sangat tergantung perlakuan kepala sekolah dan guru yang mengaplikasi kebijakan itu. Siswa yang dikelola di sekolah yang berbudaya dan manusiawi, tentu beruntung. Namun, tidak bagi siswa yang hidup di sekolah yang dikelola dengan kaku yang hanya mengejar target kurikulum, pasti sangat tidak nyaman.

Siswa bukanlah robot yang digerakkan dengan remote control untuk dibentuk menjadi apa keinginan sekolah, kepala sekolah, kepala dinas, dan menteri. Siswa diminta menjadi orang yang berkarakter, tetapi ironisnya mereka dijejali semua mata pelajaran -- yang belum tentu dibutuhkan, diminta les tambahan, disuruh try out ujian nasional berkali-kali, dijaga superketat ketika ujian, dan nilainya suka didongkrak agar mencapai standar untuk menyelamatkan muka sekolah di masyarakat.

Orang tua memang takbisa tahu bagaimana persis manajemen sekolah karena mereka hanya bisa melihat dari balik pagar. Mereka menyerahkan sepenuhnya pengelolaan pendidikan anak-anaknya. Yang ada di kepala mereka adalah anaknya harus naik dan lulus dengan nilai terbaik. Bagaimana prosesnya, itu urusan sekolah. Orang tua terima hasil jadi. Maka, bisa dibayangkan bagaimana proses pendidikan 'kejar target' berlangsung.

Setelah menjalani profesi guru sekian lama, saya jadi berpikir 'kok sekolah jadi seperti penjara'. Siswa-siswa itu bak tahanan yang harus menyelesaikan 'hukuman' 3 sampai 6 tahun. Guru-guru seperti layaknya sipir. Kurikulum itu makanan yang harus mereka asup. Semua penghuninya harus menikmati keseragaman berpuluh-puluh tahun. Ah, saya seperti berhalusinasi. Apa karena esai ini aku tulis saat berpuasa? Quo vadis pendidikan Indonesia. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun