Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ije Jela

28 Maret 2017   21:13 Diperbarui: 28 Maret 2017   21:25 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : http://fotopurwoko.blogspot.co.id

Rini Intama, penyair wanita dari Tangerang, yang bersama beberapa penyair lainnya ingin mengikuti kegiatan Tifa Penyair Nusantara 3 di Marabahan, mengirim pesan WA kepada saya begitu sampai Marabahan,  “Udah tiba di batola....  duuuhh  jauhnya”. Saya timpali, “jauhan mana, Jakarta – Banjarmasin?”. Ya, jauh atau dekat jarak tempuh ke suatu tempat memang tergantung dari mana menghitungnya. Bisa waktu tempuh, bisa jaraknya.

Saya mencoba memahami, mengapa menuju Marabahan di Kabupaten Barito Kuala terasa jauh. Siapa pun yang baru sekali atau jarang pergi ke Marabahan, seperti Intama atau saya, misalnya, maka melewati jalan sepanjang 2, 13 KM dari Bandara Syamsuddin Noor, Banjarbaru, melewati Jalan Gubernur Syarkawi, atau sepanjang 1,47 KM dari Banjarmasin, pasti merasakan itu karena memang pemandangan kiri-kanan jalan biasa saja, seperti suasana desa di mana pun.

Saya yang juga akan menghadiri kegiatan temu kangen dan tema sastra di ibu kota Kabupaten Barito Kuala itu ingin sekali menikmati keindahan kota di tepian Sungai Barito itu. Maka saya pilih perjalanan malam dengan motor. Yang ada dalam pikiran saya adalah akan menemukan sensasi keindahan pada malam hari Jembatan Rumpiang yang dikatakan mirip jembatan Sydney Harbour di Australia.

Maka, sambil memasuki jalan Moh. Yunus, Rantau Badauh, sepanjang  11 km lebih itu, mata saya takberkedip berharap bertemu cahaya terang yang menandakan bakal adanya jembatan yang diresmikan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 25 April 2008 itu. Namun, sampai kaki jembatan di depan mata, saya tak menemukan keindahan apa pun selain konstruksi bangunan besi jembatan sepanjang 753 m. Remang hampir gelap dan dingin.

Jembatan Rumpiang pasti monumen kebanggaan orang Marabahan dan Barito Kuala. Jembatan yang dibangun selama hampir 5 tahun dan menghabiskan dana 174, 5 m itu juga menjadi ikon kota Bahalap ini. Di laman internet dan brosur promosi pemerintah kota dan kabupaten ini, Jembatan Rumpiang menjadi jualan promosi wisata. Bahkan, di map, buku, termasuk Antologi Puisi Tifa Nusantara 3, jembatan ini menjadi gambar sampul. Sangat menarik.

Delapan tahun sudah jembatan ini menjadi pintu gerbang kota yang dulu disebut Muara Bahan karena menjadi bandar perdagangan Kerajaan Negara Daha. Keluhan terlambat dan terhambatnya kemajuan pembangunan kota ini karena saat itu harus melalui sungai teratasi sudah. Tentu, seharusnya, berdampak pula kepada peningkatan pembangunan infrastruktur dan ekonomi masyarakatnya.

Itu pulalah tentu yang menjadikan para sastrawan dan Dinas Porbudpar setempat berani menyelenggarakan kegiatan nasional semacam Tifa Penyair Nusantara 3, yang sebelumnya dua kali dilaksanakan di Tanggerang. Tersebab selain Barito Kuala dikenal mempunyai banyak tokoh sastrawan, juga karena para penggiat sastra di kota itu merasa sudah saatnya daerah mereka dikunjungi untuk dinikmati. Dan terbukti, 200-an sastrawan menghadiri perhelatan 28 s.d. 30 Oktober 2016 itu.

Semangat para sastrawan yang hadir di kota yang mempunyai moto Ije Jela atau Selidah itu  juga semangat saya. Berharap bisa menyaksikan kemajuan kota yang hampir setahun sekali saya kunjungi itu sepertinya belum menenuhi dahaga rasa dan mata saya selaku pemerhati budaya dan masalah perkotaan. Ada beberapa yang bisa memiliki nilai jual sebuah kota, tampaknya belum didandani secara serius. Contohnya, mengapa Jembatan Rumpiang yang indah itu takdipasangi lampu di sepanjangnya.

Pagi itu, setelah menyeruput segelas kopi, saya dan beberapa teman menikmati suasana Pasar Wangkang di sebelah kanan Perkantoran Bupati. Sebuah bangunan seperti dermaga di depannya, miring hampir roboh. Beberapa meter di sebelah kanan ada jembatan kecil yang sungai di bawahnya tertutup sampah padat. Saya mencoba memaklumi karena bagaimana pun membangun, apalagi memelihara sebuah kota di Kabupaten itu tak gampang. Seperti Ije Jela saja tak cukup! ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun