Jika Anda penggemar berat karya Rhoma Irama, pasti masih ingat dengan filmnya yang berjudul ‘Berkelana’. Dalam salah satu adegan, orang tua tokoh Ani melarang anaknya bergaul dekat dengan tokoh Rhoma yang seniman pemusik karena seniman dianggap takada pekerjaan dan takpunya masa depan. Padahal secara fisik tokoh Rhoma ganteng dan penampilan rapi.
Seniman atau orang yang bergelut di bidang seni (apa pun) memang makhluk yang unik. Unik dari segi tampilan keseharian, dalam prilaku, dan dalam hasil karya. Baju dan celana yang sekenanya, rambut semau tumbuh, pakai sandal, takpunya jam tidur tetap, dan punya karya yang individualistis. Walaupun taksemua seniman sama, tetapi gambaran umumnya seperti itu.
“Itu bahari”, kata teman saya yang seniman masa kini. Memang jika kita lihat sosok seniman tahun 70 - 80, seperti Afandi (pelukis), Bagong Kusudiardjo (penari), W.S. Rendra (teater), Gombloh (penyanyi), dan Sutardji Coulzum Bahri (penyair) menggambar sosok seniman demikian. Contoh nyata, lihatlah Chairil Anwar, seniman miskin, tidurnya di mana saja, bergaul dengan gelandangan dan pelacur, perokok berat, serta mati muda.
“Sekarang sudah tidak lagi”, sahut teman lagi. Iya, seniman sekarang memang lebih wangi. Pakaian sudah disetrika, rambut sudah rapi dan trendi, pakai sepatu – minimal sepatu sandal, bawa tas kecil sampai ransel, dan pegang gatget android – minimail hape konvensional. Ya, sudah sangat manusiawi. Ada banyak contoh seniman demikian. Mereka sudah nyaman dipandang mata.
Namun, mana seniman perduli soal itu. Penampilan takpenting, katanya. Yang penting hasil karyanya. Sependapat. Seniman memang harus menghasilkan karya sesuai kapasitasnya. Karya yang besar, bermanfaat, dan diakui. Sekali pun yang disebut terakhir kadang juga dianggap takpenting. Yang penting berkarya dan puas. Inilah yang saya sebut karya seniman itu individualistis.
Lepas dari soal penampilan, bagaimana cara seniman menghadapi kehidupan juga ternyata apa adanya. Seniman cenderung ‘sangat santai’ menghadapi berbagai persoalan, seperti politik, sosial, ekonomi, atau apa pun persoalan bangsa sampai di sekitar rumah tinggalnya. Begitu juga ketika seniman tidak punya uang untuk hidup, tetap optimis. Seniman memang paling pe de.
Sejak dulu, seniman makhluk kreatif. Taksekadar berandal pada pemasukan hasil karyanya. Apalagi penyair, dapat duitnya kalau buku puisinya dibeli atau dibayar ketika baca puisi. Pelukis lebih beruntung kalau lukisannya laku jutaan. Aktris dan aktor film lebih lagi, bisa mapan hidupnya. Makanya, hampir semua seniman punya kerjaan lain. Bahkan jadi takjelas, seniman itu pekerjaan utama atau sampingan.
Sifat kebersamaan seniman juga luar biasa. Ketika pihak lain, terutama pemerintah, mulai takmemerhatikan nasib mereka, terkait dengan ‘pembinaan berkeseniman’, maka mereka kompak ‘menyapa’. Begitulah yang terjadi pada Selasa (25/8) lalu ketika seniman menghadirkan para Cagub Cawagub Kalsel untuk dialog soal seni dan budaya di Taman Budaya.
Yang saya lihat betapa seniman apa adanya ketika mereka harus memperjuangkan ‘nasib’nya di hadapan calon penguasa Banua itu. Ketika para calon raja itu tampil kenes, bahkan dengan tim sukses dan ajudan berlebih, seniman tampil seperti biasa. Sedikit orang, ruangan tanpa hiasan, takada konsumsi walau air mineral segelas, bahkan ketika aliran listrik padam. Padahal yang didialogkan persoalan besar dengan orang yang (bakal) besar. Dasar seniman. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H