Penyair Kalimantan Selatan, alm. Rifani Djamhari (1959-2009) pernah menulis puisi yang indah sekali tentang kota. Judulnya “Membayangkan Sebuah Kota”. Saya kutipkan empat bait yang pertama:
//berilah kami sebuah plaza/bangku-bangku dan pohon-pohon palma// //sebuah jalan raya setiap hari minggu/biarlah diliburkan/sehingga anak-anak kami leluasa/bermain dan berlari./ di sana, para remaja kami/ dapat mempertunjukkan/kesenian mereka// //di taman kota, setiap sore/ biarlah kami leluasa/ mendorong kereta bayi, ngobrol atau berkencan/ - berbekal sebungkus kacang/ dan sebuah novel baru.// // di kota kami harus ada kafe/ tempat penyair berdebat/ membaca puisi dan memperbarui janji/ untuk kemanusiaan/ tempat para cendekiawan kami/ membulatkan tekad/ untuk tidak berkhianat/ - untuk tidak sama sekali berkhianat// …
Puisi ini ditulis penyair sederhana itu antara tahun 1990-1992. Saat itu, profil kota- kabupaten di Kalimantan Selatan, belum seperti yang digambarkan dalam puisi tersebut. Sekali pun sudah ada plaza di Banjarmasin, tetapi takada jalan raya yang bebas kendaraan bermotor (car free day), taman kota yang leluasa dengan bangku dan pohon palma, bahkan kafe kafe yang nyaman untuk berkumpul dan berdebat.
Apa yang dulu masih dibayangkan oleh penyair tersebut sudah berwujud sepuluh tahun terakhir ini. Plaza atau Mal sudah membekap denyut nadi kehidupan warga kota. Jalan-jalan utama di kota/kabupaten di banua setiap hari Minggu sudah bebas kendaraan bermotor hingga warga leluasa bermain dan berlari. Begitu juga taman-taman kota dan kafe sudah menjadi tempat warga saling bertemu dan santai.
Kota dan penyair memang dua sisi yang saling bersinggungan. Sebagai sebuah wilayah berpenduduk, kota menjadi wadah tumbuh kembangnya warga dengan segala aktivitasnya, termasuk penyair. Kota juga sebagai tempat ekpresi dan eksplorasi penyair dalam bereksistensi. Dan kota juga sumber inspirasi sekaligus objek puji dan kritik bagi penyair.
Bagi kota sendiri, penyair bisa jadi apa saja. Penyair bisa dianggap sebagai salah satu potensi seni sehingga kehadirannya dibutuhkan dalam membangun iklim berkesenian kota yang lebih baik. Penyair juga bisa dianggap mitra dalam membangun kota melalui sumbangan pemikirannya yang tertuang dalam larik dan bait puisinya.
Namun, bisa jadi bagi kota penyair hanya taklebih dari pelengkap acara hiburan saja atau penyumbang kata-kata untuk kembang teks pidato atau spanduk dan baliho. Bahkan, lebih miris, penyair juga bisa dianggap sebagai musuh jika kata kata yang dituliskannya dianggap pedas atau membahayakan.
Sebuah kota memang dibangun untuk kepentingan setiap warga, apa dan siapa pun. Tentu takbisa memuaskan sepenuhnya keinginan warganya. Namun, kota yang berbudaya, tentu sudah menyiapkan segalanya untuk tempat tumbuh kembangnya kebudayaan, salah satunya taman-taman kota.
Bersyukurlah, Banjarmasin punya Siring Sudirman, Siring Tendean, dan Taman Kamboja; Banjarbaru punya Minggu Raya. Barabai punya Dwi Warna, Amuntai punya Taman Itik, atau Tanjung punya Taman Kotanya. Di sanalah para penyair dan seniman berkumpul dan saling unjuk kreativitas sambil menikmati udara kotanya yang semakin takjelas. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H