Adalah seorang Profesor Dr. Mohamed Saleh bin Lamry, urang Banjar yang lama bermukim di Malaysia, sengaja kembali datang ke banua untuk melacak keberadaan kampung kakeknya. Setelah bertahun tahun mencoba mengurai asal usulnya, mantan Guru Besar Universitas Kebangsaan Malaysia ini akhirnya mendapat titik terang bahwa tanah leluhurnya diperkirakan berada di desa Pajukungan, Hulu Sungai Tengah. Menurutnya, kakeknya meninggalkan kampung halaman dan merantau ke Malaysia sekitar tahun 1920-an.
Profesor Mohamed Saleh hanyalah satu dari ribuan urang Banjar yang diam dan beranak pinak di daerah perantauan. Di daerah, seperti Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Riau, Jambi, Sumatera Utara, Malaysia, Singapura, dan Brunei, bahkan sampai Mekkah dan Madinah, terdapat koloni keturunan suku Banjar dalam jumlah yang cukup signifikan. Koloni itu sudah terbentuk ratusan tahun sejak orang Banjar mulai melakukan aktivitas migrasi.
Aktivitas migrasi inilah yang disebut dengan istilah ‘madam’. Madam merupakan bentuk migrasi orang Banjar seperti ‘merantau’ bagi orang Minangkabau, pergi dan menetap di suatu tempat yang baru dan tidak pulang. Aktivitas madam ini konon sudah dilakukan sejak akhir abad ke-18, baik sendiri-sendiri, bersama keluarga, maupun kelompoknya, dengan berbagai sebab.
Ramli Nawawi (2010), menyebutkan madam-nya orang Banjar pada zaman Kerajaan Banjar bermula karena berdagang dan terdampar atau sengaja singgah sepulang ibadah haji. Pada zaman penjajahan, untuk menghindar dari tuntutan penguasa, mencari pesantren untuk menuntut ilmu agama, dan mencari penghidupan lebih baik. Pada masa revolusi, untuk menghindar dari penangkapan Belanda. Sementara zaman kemerdekaan, madam karena tugas kedinasan, melanjutkan pendidikan, dan perdagangan.
Semua alasan madam orang Banjar bermuara pada keinginan hidup lebih baik, di bidang ekonomi, sosial, politik, bahkan pendidikan. Dan itu terbukti, walau pun taksemua, orang-orang Banjar di perantauan berhasil membangun komunitasnya dengan kehidupan yang lebih baik di dari daerah asalnya. Bahkan di antara mereka menguasai jalur pendidikan, ekonomi, atau duduk di pemerintahan tempat perantauannya.
Satu hal yang menarik, di tempat perantauan, orang Banjar masih memelihara adat istiadatnya. Mereka masih fasih bercakap dengan bahasa Banjar. Begitu juga semua tata daur hidup orang Banjar masih tetap dipelihara dan dipakai. Tidak heran jika kita berkunjung ke tempat mereka, kita seperti berada di kampung sendiri. Walau pun begitu, orang Banjar di perantauan tetap menghormati dan menjunjung tinggi adat istiadat tempat madam-nya.
Kita perlu belajar banyak dari peristiwa madam-nya orang Banjar yaitu semangat untuk berubah. Dalam kehidupan sekarang yang sengit berkompetisi, orang Banjar di banua yang hidupnya sudah berakulturasi dengan suku-suku lain, sudah saatnya mampu melakukan ‘madam’ secara ideologis. Bukan hanya puas menjadi pemilik tanah banyu yang subur, tetapi juga pengelola. Bukan hanya puas sebagai penonton, tetapi juga pioner. Oleh karena itu diperlukan bekal yang cukup sebagai orang Banjar, persis seperti pepatah orang madam bahari “jangan babaju salambar mun handak madam”. ***