Mohon tunggu...
Zulfadli Kawom
Zulfadli Kawom Mohon Tunggu... -

Ada banyak penyair yang senang berkutat dikamar; berakrobat dengan kata-kata dengan berpatokan pada pada referensi ribuan buku yang dibacanya. Aku lebih memilih berpetualang; menceburkan diri kedalam kehidupan yang keras dengan melihat langsung, merasakan, mengalami, menemukan dan menuliskannya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hikayat Orang Kebiri

25 Januari 2014   15:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:28 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku bersujud. Sultan melanjutkan,”Sultan Aceh memang sedang membutuhkan seorang  kasim yang bisa dipercaya untuk mengawal putranya.”

“Apakah orang ini menjadi pilihanmu Sultan?” Suleyman si pemimpin orang kasim bertanya pada Sultan.

“Terserah padamu Pemimpin Orang Kasim. Aku mempercayaimu. Tentu engkau lebih mengenalnya. Malam ini aku hanya ingin memastikan saja bahwa orang seperti yang kau ceritakan memang benar-benar ada. Kamu tentu tahu Suleyman, Turki bersahabat dengan Aceh dan saat ini Sultan Aceh butuh bantuanku. Dan aku mohon agar orang  yang kamu percaya ini tidak salah, karena tugasnya menjaga putra sultan bukan main-main dan harus kamu ingat bahwa Sultan Aceh hanya punya seorang putra. Jadi harus benar-benar dijaga oleh orang yang tepat dan kamu mesti ingat, bahwa Sultan Aceh ingin putranya itu sebagai penggantinya kelak.”

Pada hari itu juga sultan memerintahkan pengawalnya untuk mempersiapkan keberangkatan sebuah rombongan ke negeri Aceh.

Malam hari aku sudah berada di pelabuhan. Terlihat sekitar lima puluh awak kapal. Selama di kapal aku jarang bicara, aku hanya  tidur di sebuah bilik di lambung kapal, dan hanya sesekali keluar dan melihat hamparan samudra luas. Setelah tiga bulan berlayar kami mendarat di Teluk Aceh. Pagi-pagi kami sudah berlabuh di pantai Aceh. Tidak mudah mendarat di pelabuhanan ini. Nakhoda kapal berkali-kali harus bersabar melawan arah angin. Saat mendarat beberapa orang, tampaknya orang kiriman Sultan, mendekati kapal yang kami tumpangi. Mereka memeriksa kami dan barang barang bawaan, setelah menghitung jumlah anggota kami, baru diperbolehkan turun.

Aku melihat beberapa tongkang  yang ditumpangi orang Arab, Cina, dan Pegu yang sedang  memuat lada.

Kami menumpang sebuah perahu kecil saat hendak masuk ke kota melalui sungai, angin bertiup sepoi-sepoi. Kulihat sekeliling seperti benteng alam. Kota  yang terletak di dataran rendah di lembah yang luas seperti ruang terbuka oleh bukit-bukit yang tinggi, di lereng-lereng perbukitan terdapat perkampungan  penduduk. Di pelabuhan kecil di pinggir sungai kami disambut oleh beberapa orang berpakaian hitam-hitam. Kami dipandu ke sebuah tempat, sesampai di sana baru kuketahui bahwa tempat ini adalah istana Sultan Aceh. Aku diinapkan di sebuah barak.

Setelah seminggu beristirahat, aku dibawa oleh seorang pengawal dan mengahdap Sultan Aceh. Pengawal berpakaian hitam-hitam, kepala mereka dibalut kain berwarna merah,  sebilah senjata terselip di pinggang. Adapun yang tampak hanya gagangnya yang bengkok berwarna merah tembaga. Pengawal itu juga memegang sebilah pedang.

Di hadapan kami duduk seorang laki-laki gagah. Kulitnya kuning langsat, berkumis tipis. Dialah Sultan Aceh. Di sana juga terlihat beberapa orang berjubah putih-putih. Sultan sendiri berjubah kuning yang terbuat dari satin yang diikat ke leher membalut bajunya yang berwarna hitam. Bedanya dengan Sultan Turki, Sultan Aceh menggunakan surban berwarna kuning membalut kopiah berwarna hitam. Tak ada kursi. Saat akan bicara seseorang harus berdiri kemudian duduk di permadani. Sultan sendiri duduk di atas tilam berwarna kuning. Dia diapit sebuah benda berbentuk kuali yang telungkup,  yang ditutup dengan kain kuning pula.

Lalu seorang prajurit maju agak ke depan dan berkata.

“Paduka, orang ini kiriman Sultan Turki. Dia sudah bepengalaman di istana Sultan Turki,” kata sang serdadu. “Benarkah demikian”? tanyanya kepadaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun