Pagi-pagi sekali aku telah bangun. Semalaman aku tidak bisa tidur membayangkan kerja menjaga seorang anak Sultan. Tiba-tiba aku merasa terbebani. Memang menjadi pengawal Putra Sultan ada kesitimewaan tersendiri dibanding tugasku di sini dari pagi sampai sore hanya duduk di gudang menjadi pemegang kunci. Aku bisa bersama Putra Sultan ke mana-mana; berkeliling negeri dan seluruh istana.
Pagi itu aku dan Sulaeyman pergi meghadap Sultan di balairung. Baru kali ini aku melihat Sultan dari dekat, berjubah merah. Di pinggangnya terselip senjata berhulu emas. Sedangkan turbannya berwarna dasar merah yang membalut kopiah berwarna merah. Kami memberinya penghormatan.
“Paduka yang Mulia, izinkan hamba menyampaikan sesuatu,” sembah Suleyman.
Sultan mempersilakan kami duduk ke posisi semula. Aku dan Suleyman perlahan-lahan mundur sambil jongkok ke belakang.
“Silakan duduk kembali. Apa yang hendak kau laporkan Pemimpin Orang Kasim Hitam?”
Sambil menunduk memberi hormat Suleyman berkata, “Paduka Yang Mulia, seperti titah Paduka pada hamba untuk mencari seseorang yang bisa dipercaya sebagai pengawal Putra Sultan Aceh, saat ini orang yang Sultan maksudkan telah pun hamba temui. Inilah orangnya, di sebelah hamba.”
Aku pun bergerak kembali, menunduk, mengenalkan diri.
“Paduka Yang Mulia, saya bersedia menjadi pengawal Putra Sultan Aceh. Saya menjamin keamanannya dan saya berjanji untuk tidak membuka rahasia dan aib keluarganya ke luar istana.”
Sultan Turki mempersilakanku duduk kembali.
“Aku suka orang yang biasa saja , tanpa berlebihan dalam menyembahku, aku tidak suka kepura-puraan,” katanya dengan mimik muka sungguh-sungguh.
“Apakah engkau dari negeri Abesenia?”