Mohon tunggu...
Aminatuz Zulfa
Aminatuz Zulfa Mohon Tunggu... Pelajar -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Merintih, Kasih Pendidikan

29 Desember 2016   15:17 Diperbarui: 29 Desember 2016   15:31 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ekhem.....deheman pak Umar membuyarkan gebrakan hati Sarah. “eh pak Umar, maaf pak saya datang kesini mau minta gaji saya satu minggu” tangannya menyodorkan beberapa puluh ribu uang kepada Sarah, sambil berucap, “besok kerja lagi ya, yang rajin”. “iya, orang seperti saya ini, tiada hari tanpa kerja pak, terima kasih ya pak, saya pamit pulang”. “ iya sama-sama”.

***

Cahaya terang menyelimuti hati warga seberang sungai, hari ini ada salah seorang yang mengunjungi desa tersebut. Mereka mendengar kisah hidup warga desa seberang sungai dari beberapa orang yang merantau di kota metropolitan. Orang tersebut bernama Nisa. Berhubung kuliah sedang libur ia mau menyaksikan keadaan di desa tersebut, yang kelihatanya sangat primitif dan jauh dari ketertinggalannya, ternyata benar. Tak hanya primitif namun suasana yang Nisa rasa seakan kembali ke zaman penjajahan.

Di balai desa ia tinggal. Ia berencana berkontribusi ilmu yang ia dapat dengan penduduk desa seberang sungai. Ia pun di izinkan untuk melanjutkan misinya. Sarah yang dari dulu ingin sekolah merasa senang, ada orang dermawan membagikan ilmu secara gratis. Ia bagai musim kemarau yang terguyur rintiknya hujan. Ia pun membagi waktunya agar ia bisa belajar dan bekerja. Aktivitas belajar dilakukan setelah asar, dimana para penduduk sudah kembali bekerja.

Sarah dengan beberapa temannya berbondong-bondong datang ke balai desa. Dengan tangis haru Nisa menyaksikan wajah riang dari anak-anak desa. Nisa yang berperawakan tinggi semampai, berkulit sawo matang, berwajah manis dengan kecantikan khas jawa ia memperkenalkan diri dengan ramah. Sarah dan kawan-kawan tak kalah mau juga. Mereka bergiliran menyebutkan nama-namanya. Dengan jerih payah Nisa memperkenalkan balok-balok abjad dan angka. Mereka sama sekali tak kenal biji-biji huruf. Teringat pepatah mengatakan “Belajar diwaktu kecil bagai mengukir diatas batu, Belajar diwaktu tua bagai menguir di atas air”. Begitulah gambaran susahnya mengajari mereka, yang seharunya di usia tersebut sudah mengenal logaritma, aritmatika, hukum Newton, Grafitasi,dan lain sebagainya. Meskipun begitu, ia tetap sabar menuangkan ilmu-ilmunya sedikit demi sedikit, perlahan ia masukkan dalam memori otak mereka.

Hari berganti hari, dua bulan berlalu Nisa berbagi ilmu. Mungkin sebatas embun pagi yang bergegas pergi begitu mentari datang. Tidak bongkahan emas ataupun lipatan uang yang ia berikan. Setidaknya langkah Nisa dapat membebaskan mereka dari korban ketertinggalan dan kengkangan ekonomi. Islam mewajibkan umatnya berzakat bagi yang mempunyai harta lebih. Saat ini, bukan harta saja yang wajib kita zakati, melainkan semua karunia dari Tuhan wajib kita zakatkan (bagikan) kepada sesama bagi yang membutuhkan. Bukan harta saja yang wajib kita zakati, ilmupun demikian.

Sarah sedikit demi sedikit semakin mahir membaca, dan mengetahui banyak hal, ia pun mengikuti jejak Nisa, mengamalkan apa yang telah ia ketahui. Sepulang dari sawah ia bersama anak-anak kecil di pinggir sungai belajar bersama. semangat belajar dalam dirinya mampu membakar rasa dendam akan ibunya dulu. Ia sadar bahwa pendidikan sangat dibutuhkan manusia untuk hidup di bumi, baik formal ataupun non formal. Sarah kehilangan sinaran cahaya dalam dirinya. Yakni ibu dan pendidikan, dua hal yang paling dominan dalam membentuk kepribadian. Meski demikian, Sarah tetap berjuang melawan kerasnya hidup dalam kegelapan, menunggu sinaran rembulan kian datang mendekapnya dalam kasih sayang setelah senja meninggalkannya.

Ibu dan pendidikan suatu mesin yang dapat mencetak prodak yang unggul untuk membuka kunci kebahagiaan. Ketika keberadaanya tak dapat dirasa maka tak dapat buahkan prodak unggul itu, seperti yang  tergambar dari ilustrasi sosok Sarah, namun ia berhasil bangkit dari ketiadaan mesin urgen itu (ibu dan pendidikan). Jangan risaukan penderitaan hari ini, jalani dan lihatlah apa yang akan terjadi di depan. Ketidakadilan dan segala cobaan hadapi itu dengan keikhlasan, kesabaran, kerja keras dan do’a, proses tak akan pernah menghiantai hasil. Man shabara zhafira“barang siapa yang sabar akan beruntung”. Tak penting dari mana dan berapa banayak ilmu yang kita dapatkan yang terpenting bagaimana kita bisa memanfaatkan dari ilmu yang kita dapat.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun